Puasa Ramadhan dan Reformasi Birokrasi

Puasa Ramadhan dan Reformasi Birokrasi

Puasa Ramadhan mengajarkan kita untuk melakukan reformasi birokrasi.

Puasa Ramadhan dan Reformasi Birokrasi

Salah satu problem besar bangsa saat ini adalah tidak berjalannya reformasi birokrasi sebagaimana yang dikehendaki. Sejak Pemerintahan Yudoyono pun Indonesia sering disebut sudah kembali ke model birokrasi Orde Baru. Kini korupsi bahkan menggurita, karena terjadi  juga di kelembagaan legislatif dan yudikatif, selain di eksekutif.

Birokrasi kita juga hingga kini masih bersemangat untuk dilayani, meski di sebagian tempat sudah berubah. Data corruption perception index (indeks persepsi korupsi [IPK]) Indonesia memperlihatkan asumsi itu. Skor IPK Indonesia pada tahun 2022 yang lalu adalah 34 dan berada di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. IPK itu turun dari satu tahun sebelumnya yang IPK-nya 38, jauh dari angka 100. Transaksi aneh sejumlah 300 triliun yang diungkap Mahfuz MD belum lama ini yang melibatkan sekian ratus pegawai Kemenkeu yang diduga sebagai pencucian uang memperlihatkan asumsi itu juga.

Ada sebagian kalangan yang agak setengah frustasi bahkan menyalahkan para pelopor dan pegiat Reformasi pasca runtuhnya Orde Baru. Mereka dinilai terlalu soft berhadapan dengan kekuatan lama yang koruptif. Harusnya dilakukan pemotongan satu generasi.

 

Madrasah Ruhaniah Ramadhan

Bulan Ramadhan, ketika umat Islam berpuasa sebulan penuh, dikenal sebagai bulan bagi Muslimin untuk mengalami proses pembelajaran. Dalam Q.S al-Baqarah disebut bahwa  tujuan diberlakukannya puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan adalah terciptanya kaum Muslimin yang berintegritas (bertakwa). Maka, sebelas bulan setelah Ramadhan adalah masa pembuktian, apakah pendidikan selama Ramadhan berhasil menciptakan kaum Muslimin yang tidak punya kepribadian terbelah, dimana antara hati, perkataan, dan perbuatannya padu, tidak berbohong dan bersikap akuntabel dalam bekerja.

Hal ini mengingat puasa merupakan kontrak antara dirinya dengan Tuhan. Puasa idealnya bisa menghadirkan Tuhan saat bekerja dan dalam kehidupan lainnya selama 11 bulan setelah Ramadhan. Dan itu harus dilakukan secara konsisten (istiqamah), meski harus berhadapan dengan ancaman pihak-pihak yang dirugikan oleh sikap integritasnya, sebagaimana puasa yang harus dilakukan secara terus menerus selama satu bulan, meski itu menyakitkan badannya.

Puasa dan Latihan Integritas

Dalam konteks penciptaan integritas di ruang kerja dan birokrasi, puasa juga menekankan integritas agar efektif menjadi corporate culture, bahkan sistem sosial, tidak hanya ingin menciptakan integritas personal semata. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan  puasa dilaksanakan bersama-sama, dan mereka yang tidak berpuasa akan mendapatkan hukuman sosial di lingkungannya, di samping ancaman api Neraka. Dalam hukum Islam, mereka bahkan layak diberi hukuman di dunia, sesuai ijtihad hakim. Terlebih terhadap mereka yang juga tidak melakukan zakat fitrah.

Puasa di bulan Ramdhan dilakukan oleh umat Islam sebagai sebuah kelompok/sistem sosial, karenanya, menekankan agar integritas menjadi sistem integritas nasional yang terkait dengan kelembagaan check and balance dan penegakkan hukum, termasuk punishment di lingkungan kerja sebagaimana ditekankan Jeremy Pop. Minimal prinsip-prisnip integritas seperti akuntabilitas, kejujuran, dan meritokrasi harus menjadi coporate culture/sistem manajemen kelembagaan. Sama seperti mereka yang berpuasa tetapi tidak jujur dan akuntabilitas dalam Islam pun hanya mendapat rasa lapar dan haus semata, tak bernilai ibadah ruhaniah.

Puasa dan Keberkahan Rejeki

Puasa di bulan Ramadhan juga menekankan keberkahan rejeki, bukan pada banyaknya rejeki sebagaimana doa yang dianjurkan Nabi Muhammad. Ramadhan dan sebelas bulan setelahnya adalah pembuktian atas kelulusan kaum Muslimin menjalani pendidikan di madrasah Ramadhan. Asumsi ini bisa dilihat dari bahwa nafsu jasmaniah yang senang pada material yang disimbolkan dengan makan, minum dan seks, dalam berpuasa, dilarang untuk dibiarkan liar dan rakus, juga pamer kekayaan, bukan untuk dimatikan, melainkan untuk ditundukkan.

Sebagai agama moderat, kecenderungan material pada manusia dengan memiliki rejeki material dalam puasa diakui, meski harus dikendalikan/dipimpin ruhani (sepanjang halal). Sebagaimana makan dan minum, hubungan seksual pada malam hari bulan Ramadhan diperkenankan. Sebaliknya, sikap yang menolak sama sekali material dalam puasa Ramadhan tidak diakui. Mati geni (puasa berturut-turut dengan tidak berbuka di saat magrib) dalam Islam dilarang. Puasa Ramadhan sebulan harus diakhiri berbuka pada saat Idul Fitri. Idul Fitri karenanya merupakan titik temu keharusan mendengarkan nurani (ruhani yang berpusat di hati) dan juga memenuhi kecenderungan material (badan yang jasmaniah).

Dalam puasa Ramadhan, setiap kaum Muslimin juga diberikan pengalaman bukan hanya kebahagiaan material dengan makan dan minum, melainkan terutama kebahagiaan batin. Pengalaman ini dirasakan saat setiap kaum Musim saat berbuka, baik pada saat Magrib maupun saat hari raya Idul Fitri, juga saat berbagi dengan memberikan sedekah berbuka, berbagi THR, dan zakat fitrah.

Puasa dan Qanaah

Dalam konteks birokrasi, Idul Fitri dan puasa menekankan hidup qana’ah dengan merasa cukup dengan gaji yang didapat, seraya tidak menolak jika ada insentif tambahan, jika itu halal. Namun, bukan berarti terus mencari, padahal gaji sudah diberikan setiap bulan dan sudah dianggap layak dalam ukuran umum.

Puasa Ramadhan menekankan rasa syukur –sebagai salah satu tujuan puasa yang disebut al-Qur’an– dengan merasa senang atas gaji yang didapat dengan mengalokasikannya secara baik, termasuk 30 persen untuk investasi, misalnya untuk pembelian rumah. Batasan ini menunjukkan bahwa terlalu banyak keinginan dipandang sebagai sumber ketidakbahagiaan dalam Islam. Rejeki yang diminta puasa pun bukan pada banyaknya, melainkan pada berkahnya. Jika yang didapat sedikit, cukup, dan jika yang didapat banyak, tersisa. Seolah puasa Ramdahan ingin mengatakan bahwa harta melimpah hasil cara-cara yang tidak baik, jika digunakan tidak akan melahirkan kebaikan.

Dalam kehidupan kontemporer, kenyataan yang dirujuk adalah orang-orang yang, meski hartanya tidak banyak, tetapi semua anaknya menjadi sarjana karena keberkahan rejekinya. Bukan orang-orang yang hartanya melimpah, tetapi semua anaknya terkena narkoba/criminal, akibat harta haram yang dimakannya.

Puasa Menanggalkan Mental Budak

Dalam konteks reformasi birokrasi, puasa Ramadhan juga menanggalkan mental budak, yang hanya bekerja saat ada bos yang mengawasi dan hanya bekerja jika diperintah. 11 bulan setelah proses madrasah ruhaniah Ramadhan adalah pembuktian apakah kaum Muslimin lulus atau tidak. Puasa yang berakhir dengan Idul Fitri menginginkan lahirnya manusia-manusia yang memiliki inisiatif dan tanggungjawab, mengingat puasa yang dilakukan karena terpaksa dan riya (ingin pamer/dilihat semata) tidak bermakna sama sekali. Puasa yang mendapat pahala adalah puasa karena kehendak sendiri dengan diawali tekad yang kuat (niat). Puasa juga harus dilakukan degan mengetahui syarat dan rukunnya sehingga mengetahui mana yang harus dilakukan, mana yang harus dijauhi.

Puasa dalam konteks reformasi birokrasi mementingkan sikap mengetahui aturan pekerjaan. Namun, ini bukan berarti yang penting berinisiatif bekerja dengan rajin saja. Dalam puasa, sebagaimana yang ditekankan dalam manajemen,  harus ada yang menjadi tujuan bersama/organisasi, yaitu untuk keseharian bisa menahan diri berpuasa sampai magrib, selama sebulan penuh dan berhenti pada hari raya Idul Fitri. Tujuan jangka panjangnya adalah  kebahagiaan bersama dan berintegritas. Bekerja harus dilakukan bersama-sama untuk mencapai satu titik tertentu sebagai tujuan organisasi.

Puasa dan Sikap Melayani, Bukan Dilayani

Dalam konteks reformasi birokrasi, puasa Ramadhan menekankan sikap melayani, bukan untuk dilayani. Yang dituju dalam puasa bukan hanya menjadi pengabdi Allah dengan banyak beribadah mahdhah (murni) seperti tadarrus, tarawih, i’tikaf, dan mengkaji agama,  melainkan juga pengabdi terhadap kemanusiaan (ibadah ghair mahdhah) sebagai dampaknya.

Dalam puasa Ramadhan, kesimpulan ini bisa dilihat dari adanya keharusan berbagi buka puasa (ifthar), berzakat fitrah, dan berbagi THR. Puasa Ramadhan pun menghendaki lahirnya manusia yang paling bermanfaat bagi sesama dan dalam kontek birokrasi itu berarti birokrat yang melayani, dimana keberadaan mereka diukur dengan seberapa banyak masyarakat terlayani, bukan sebaliknya. Seberapa banyak dan bermakna hasil kerjanya dalam melahirkan kesejahteraan sosial, terutama dalam keikutsertannya dalam menyelesaikan persoalan rakyat yang dilayani.

Puasa dan Inovasi

Terakhir, dalam puasa dan Idul Fitri terdapat pentingnya inovasi dan kreativitas dan ini bisa dilihat dari bahasa-bahasa yang terdapat dalam puasaRamadhan. Misalnya kata sahur, buka puasa, tidak makan dan minum, dan zakat fitrah pada malam takbir. Semuanya memperlihatan kata-kata penjungkirbalikan dari kebiasaan orang pada umumnya.

Dalam konteks reformasi birokrasi, ini artinya seorang birokrat hanya akan berhasil menjadi birokrat yang inovatif, yang punya distingsi, jika mampu berpikir tidak seperti umumnya orang. Bekerja pun tidak hanya sebagai kewajiban semata, melainkan sebagai passion. Dengan begitu, bekerja akan melewati batas umumnya orang bekerja, seperti sahur yang makan pagi di luar waktunya dan tarawih sebagai amalan salat yang lebih panjang dari biasanya. Puasa Ramdahan juga berarti bekerja harus dengan hati, tidak hanya dengan akal. Alasannya karena jika puasa didekati dengan akal semata, mungkin puasa tidak pernah akan bisa dilakukan. Wallah a’lam bis shawab. (AN)