Money, money, money
Must be funny
In the rich man’s world
Sepenggal senandung di atas, saya kutip dari lagu berjudul “money, money, money ” yang didendangkan grup legendaris ABBA.
Uang, dalam imajinasi ABBA, merupakan madu yang dituju dan dirindu tiap manusia. Waktu habis untuk memungut uang di tiap jejaknya. Di awal lagu, ABBA berdendang :”I work all night, I work all day, to pay the bills, I have to pay “.
Ideologi uang yang dinyanyikan oleh ABBA ini menjadikan status dan prestasi manusia ditentukan oleh seberapa banyak uang yang mereka miliki. Uang menjadi barang berharga yang harus direbut dan dikumpulkan. Adalah menyedihkan orang yang tidak mempunyai uang sepeserpun.
Atas dasar itu, teriakan memaksa “show me the money..! ” yang diucap Cuba Gooding Jr dalam film Jerry Maguire kerap kita dengar dengan diksi dan intonasi berbeda. Sule, dalam opera van Java, mereplikasikannya dengan “Wani piro? “, Setya Novanto dengan meminta saham, Angelina Sondakh menyebutnya apel malang dan apel Washington, dan sebagainya dan seterusnya.
Artinya, “show me the money..! ” merujuk pada mentalitas materialis, yang menjadikan uang sebagai sumber kultus. The Police, dengan sangat manis, bernyanyi :”we are spirits in the material worlds “.
Ketika uang menjadi kultus, dengan sendirinya, uang menjadi patokan etika dan moralitas. Uang menjadi sumber kebenaran. Atas alasan itu, anak Hatta Radjasa bisa diputus bebas. Atas alasan itu, Gayus Timbunan bisa tetap keluyuran, meski menjadi pesakitan.
Georg Simmel, sosiolog asal Berlin mencandra bahwa uang mempunyai posisi unik dalam masyarakat. Uang sanggup mencipta jarak antara individu dengan objek sekaligus alat mengatasi jarak itu.
Orang yang tak punya uang, posisi sosialnya akan berjarak dengan televisi karena tak sanggup membelinya, tetapi tidak bagi orang yang punya uang, dia sangat dekat dengan televisi.
Posisi unik ini menjadi berbahaya ketika manusia gagal mengelola. Uang dapat membeli kecantikan, popularitas, dan bahkan kebenaran.
Namun, bagi Simmel, hal paling berbahaya dari uang adalah mencipta relasi antar manusia yang impersonal, tidak manusiawi, dan penuh penindasan.
Seseorang dihargai bukan karena karakter, karya, dan kejujuran ; tetapi dalam posisi apa di masyarakat. Posisi dan status merujuk pada kapasitas seseorang dalam mengakses uang. Seseorang dihargai bukan sebagai manusia, tetapi karena ia dekat dengan uang.
Uang bisa membeli banyak hal, tetapi di saat bersamaan, uang juga sanggup menghancurkan banyak hal. Uang mempunyai wajah janus bukan karena watak uang itu sendiri ; tetapi karena cara pandang manusia dalam menilai uang.
Di tangan seorang nabi, uang menjadi berkah bagi kehidupan, tetapi di tangan seorang tirani, uang menjadi kutukan.