Ulama, seks, dan milkul Yamin
Aku baru saja dipertemukan dengan ulama-ulama muda, yang fasih kajian Islam, Arab, dan juga dekat dengan masyarakat. Di sela-sela obrolan, baik yang “syar’i maupun non-syar’i”, selalu saja keluar ger-geran tentang seks dan perempuan.
Ketika sampai pada isu “milkul yamin” buru-buru dengan tegas mayoritas menolak disertasi UIN Yogya dan mendukung penuh Surat MUI yang mengecam. Tetapi, diakhiri, dengan mempersilahkan saya memberi tanggapan.
“Ini adalah kajian akademik yang harusnya ditanggapi dengan kajian akademik, atau minimal diundang penulisnya dalam sebuah diskusi ilmiah, bukan dengan komentar kebencian yang didasarkan pada berita-berita media sosial,” kataku mengawali.
“Saya belum membaca disertasi ini, sama sekali. Jadi, tidak elok memberi tanggapan. Hanya di samping berita yang heboh, ada yang jarang diungkap: bahwa para penguji sendiri, juga sudah memperingatkan penulis, soal kontroversi ini, dan secara norma agama dan sosial Islam, mengesahkan seks di luar nikah itu sangat problematis”.
“Saya menduga (husnuzzon), penulis sedang mengejar tanggung jawab dari perilaku seks ini, agar, jika terjadi, ada perlindungan bagi perempuan dan anak. Karena praktik seks di luar nikah ini, seringkali meninggalkan perempuan dan anak yang dilahirkan tidak terlindungi hak-haknya, bahkan cenderung di “sampah” kan, sementara lelakinya melenggang kangkung tanpa beban”.
“Karena seks di luar nikah itu terang benderang zina dan haram, tetapi dalam sesuatu yang haram pun, harus ada tanggung jawab, sehingga tidak lagi, selalu perempuan yang menjadi korban, baik dalam seks yang halal maupun haram”.
“Mungkin konsep milkul yamin bisa digunakan untuk mengejar tanggung jawab ini. Mungkin. Ya ini bukan kajian akademik juga, apalagi fatwa. Sekadar husnuzzon pada disertasi, agar ada diskusi ilmiah yang lebih baik, daripada emosi, dan marah marah”.
Ini juga yang aku sampaikan kepada seorang ulama perempuan di NTB waktu itu.
Wallahu a’lam.