Saya bisa berteman dengan siapapun, tanpa pandang agama dan latar belakangnya apa. Saya berteman dengan saudara-saudara kita yang non Muslim, yang Syiah, Ahmadiyah, dan aliran kepercayaan apapun, bahkan dengan yang tidak beragama sekalipun. Komitmen itu bisa saya lakukan dengan sebab berada dalam naungan NKRI. Di mana Pancasila menjadi ideologi Negara sebagai titik-temu (kalimatin sawa) perbedaan. Saya lebih menaruh hormat kepada siapapun, bukan Muslim (tidak beragama Islam), sepanjang ia komitmen pada Pancasila dan NKRI. Karena itulah saya menolak radikalisme Habib Rizieq Shibab dan ormasnya Front Pembela Islam (FPI). Habib Rizieq dan FPI mengaku Muslim tetapi akhlaknya bertentangan dengan Islam dan Pancasila.
Secara personal saya bisa hormat kepada siapapun, kepada Habib Rizieq dan para aktivis FPI. Tetapi secara komitmen kebangsaan saya, Habib Rizieq dan FPI bisa berlawanan. Maka radikalisme Habib Rizieq dan FPI akan saya lawan. Sebab Islam–dalam konteks kebangsaan–yang saya pahami tidak sejalan dengan apa yang dipedomani Habib Rizieq dan FPI.
Sebagaimana kita tahu, Habib Rizieq dan FPI mempunyai propaganda penegakan ‘khilafah’ atau sering kali menyebutnya NKRI bersyariah. Bagi saya, NKRI adalah konsep khilafah kebangsaan Indonesia dan Indonesia dengan sistem demokrasinya yang tengah berjalan ini adalah ikhtiar kebangsaan paling islami.
NKRI tetap NKRI tidak perlu ada embel-embel khilafah atau bersyariah. Kita konkritkan dulu duduk perkara dan perbedaan komitmen kebangsaan saya dengan Habib Rizieq dan FPI.
Saya ingin mengatakan bahwa Habib Rizieq dan FPI adalah salah satu pelaku dan ormas radikal di Indonesia. Rekam jejaknya sangat jelas, tidak bisa dibantah. Maka jelas saya dan NU menolak radikalisme Habib Rizieq dan FPI. Ya saya adalah santri yang tumbuh dari rahim dan kultur Nahdlatul Ulama. Para kiai dan ulama panutan saya adalah mereka yang berada dalam naungan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Saya dan NU memahami betul bahwa kami mempunyai tanggungjawab dakwah yakni berkaitan dengan amar makruf nahi munkar: menegakkan kebaikan, mencegah kemunkaran.
Hanya saja amar makruf nahi munkar harus diupayakan dengan cara-cara yang baik (bil makruf), bukan dengan bil munkar (dengan cara-cara yang munkar).
Nah, Habib Rizieq dan FPI telah menodai tuntunan dakwah amar makruf nahi munkar itu sendiri. Sebab Habib Rizieq dan FPI telah terbukti dengan jelas banyak melakukan dakwah dengan marah bukan ramah, dengan kekerasan bukan kelembutan, dengan pukulan bukan dengan rangkulan.
Kebaikan yang disampaikan dengan keburukan maka sama saja kita telah menumbuh keburukan yang baru. Itulah yang selama ini menjadi kesalahan terbesar Habib Rizieq dan FPI. Islam dipraktikkan menjadi agama yang radikal dan onar. Dakwah kekerasan menjadi andalan sehingga Islam menjadi sedemikian menyeramkan. Kalau FPI menolong pada tragedi bencana dalam dan kebaikan sosial yang lain itu jelas beda urusan.
Indonesia bukan Negara Islam (Negara-agama). Bukan Negara yang berdasarkan agama tertentu. Indonesia bukan hanya milik umat Islam. Indonesia adalah Negara-bangsa. Indonesia adalah milik semua umat beragama dan segenap warganya. Tidak boleh ada pemaksaan ideologi agama tertentu terhadap sistem pemerintahan.
Makanya para founding fathers kita meracik Pancasila sebagai titik-temu agama-agama dan semua perbedaan. Pancasila memang bukan agama, tetapi kelima butir Pancasila diambil dari nilai-nilai luhur agama. Kelima butir Pancasila adalah ajaran luhur semua agama-agama. Termasuk butir pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa” adalah ajaran semua agama. Konsep ketuhanan yang sesuai dengan konsep agamanya masing-masing.
Pancasila serupa Piagam Madinah zaman Nabi Muhammad saw. Pancasila berangkat dari kesamaan visi-misi bahwa agama lahir ke muka bumi untuk merahmati sekalian alam. Maka dari itu Pancasila sangat islami, sangat Kristen, sangat Katholik dan sesuai dengan agama-agama lain. Sebagaimana dahulu Nabi saw., mengakomodir semua umat beragama di bawah naungan Piagam Madinah. Itu artinya bahwa berdasarkan Pancasila dan Piagam Madinah, semua agama dan umatnya mempunyai kedudukan yang setara.
Umat Islam boleh menganggap agamanya yang paling benar, sebagaimana agama lainnya, tetapi kita tidak boleh menganggap rendah agama lain. Apalagi sampai mencaci-maki agama lain dan ajaran-ajarannya.
Habib Rizieq dalam banyak kesempatan ceramahnya terbukti banyak mencaci-maki. Sekurangnya pernah dua kali dijebloskan ke dalam penjara. Maka ketika sampai hari ini Habib Rizieq tersandung kasus hukum, lalu lari ke luar negeri, itu bukanlah sikap yang baik. Dan harus kita pahami itu bukanlah kriminalisasi ulama.
Siapapun, orang yang dianggap ulama sekalipun di mata hukum semuanya sama. Setali tiga uang dengan Habib Rizieq, para aktivis FPI banyak melakukan kekerasan. Memukul dan men-sweeping. Padahal Indonesia kita ini adalah Negara hukum, di mana sudah ada tersendiri aparat Negara yakni kepolisian yang bertugas menegakkan hukum.
Saya ingin menegaskan sekali lagi, tidak ada istilah khilafah (versi FPI) dan NKRI Bersyariah di Indonesia. NKRI tetap dan cukup dengan NKRI. Maka sebetulnya sederhana sekali kalau hidup damai di Indonesia, tunjukkan kebaikan akhlak kita masing-masing dan setialah pada komitmen bersama kita yakni Pancasila. Saya dan saya pikir kita semua memahami bahwa tidak ada sebuah Negara yang sempurna tanpa kekurangan. Bahkan Negara-negara di dunia yang mengukuhkan Islam sebagai ideologi dan sistem pemerintahannya banyak yang justru hancur-lebur; Libya, Afghanistan, Irak, Yaman dan lain sebagainya. Kezaliman, kejahatan, kemaksiatan dan kemunkaran pasti akan selalu ada, bahkan ada pada dahulu zaman Nabi saw., dan para sahabat.
Kurang apa kepribadian Nabi saw., dan para sahabat, namun harus diakui, sejarah Islam mencatat ada banyak para sahabat yang mati dibunuh gara-gara Islam dijadikan alat politik dan dijadikan idelogi radikal (radikalisme).