Belajar dari India, Benih Radikalisme dan Intoleransi Jangan Dibiarkan Tumbuh

Belajar dari India, Benih Radikalisme dan Intoleransi Jangan Dibiarkan Tumbuh

Realitas ekstremisme di India memberikan kita kesempatan untuk menginstropeksi diri, bagaimana kita menyikapi doktrin-doktrin keras yang ada di sekitar kita.

Belajar dari India, Benih Radikalisme dan Intoleransi Jangan Dibiarkan Tumbuh

Minggu lalu, tagar “Boycott India” viral di media sosial, buntut dari pernyataan Juru Bicara Bharatiya Janata Party (BJP), Nupur Sharma yang terindikasi mengandung penistaan terhadap Nabi Muhammad. Tegangan serupa juga terjadi akhir tahun 2021 lalu ketika seruan genosida umat Muslim menyeruak di tengah konferensi di India. Waktu itu, ekstrimis Hindu yang menggunakan pakaian khas keagamaan menyerukan untuk membunuh muslim dan “melindungi” negaranya.

Umat Muslim di India juga mengalami berbagai macam kesulitan dalam mengakses hak-hak mereka sebagai warga negara, seperti misalnya, akses terhadap rumah ibadah, akses pendidikan, pekerjaan, hingga pelayanan-pelayanan sipil.

Diskriminasi semacam ini, berdasarkan laporan media misalnya The Diplomat dan BBC, merupakan dampak dari kebijakan pemerintahan India yang kini dipimpin oleh Perdana Menteri Narendra Modi dari partai yang sama dengan Nupur Sharma, BJP.

BJP merupakan partai yang terafiliasi dengan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), kelompok ultranasionalis Hindu. RSS diinisiasi oleh V.D. Savarkar pada 1923 sebagai kelompok yang berpandangan Hindutva. Hindutva memiliki kredo yang meyakini bahwa umat Hindu adalah “Putera Sejati Tanah India” dan ingin menjadikan India negara Hindu.

Kelompok ultranasionalis tersebut merupakan anak kandung dari berbagai konflik yang melibatkan Islam dan Hindu sepanjang lintasan sejarah. Misalnya, kasus sengketa Masjid Gyanvapi yang dibangun pada abad ke-17. Kelompok Hindu mengklaim bahwa bangunan masjid itu berdiri di atas tanah reruntuhan bekas kuil Hindu yang dihancurkan kaisar Mughal, Aurangzeb. Gesekan itu menjadi salah satu sumbu api konflik antar dua agama  itu.

Pertikaian itu rupanya juga terjadi dalam ranah politik pada tahun 1940’an antara Islam vis a vis Hindu dalam bentuk perseteruan antara Partai Kongres India (INC) dengan British Raj. Konflik itulah yang kemudian memicu berpisahnya dua negara; India dan Pakistan.

INC kemudian konsisten dijadikan kendaraan politik oleh politisi India untuk menaikkan pamor kekuasaannya. Misalnya, Perdana Menteri Indira Gandhi yang mengeksploitasi isu agama untuk mengembalikan INC ke puncak kekuasaan India pada periode 1980’an. Rajiv Gandhi menggunakan pola yang sama dengan menjadikan INC mayoritas Hindu.

Bagai api dalam sekam, tensi itu meledak pasca Modi dan BJP berkuasa pada 2014. Setahun setelah BJP berkuasa, masa pendukung Modi membunuh sekitar 49 peternak Muslim karena menjual dan menyembelih sapi yang tak sesuai dengan ajaran Hindutva. Perlakuan rezim Modi terhadap komunitas Muslim pada akhirnya mendapatkan penentangan dari dunia internasional, misalnya dari Hindus For Human Rights yang ingin menegakkan nawacita pluralisme agama dan menentang “ajaran Hindutva”. Perhatian internasional itu muncul secara masif utamanya ketika Modi meloloskan kebijakan yang terkesan diskriminatif bagi Islam pada 2019 dengan mengesahkan amandemen UU kewarganegaraan yang hanya mempercepat migran bagi non-Muslim dari Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan.

Bibit tensi antar agama sebenarnya sudah sangat terasa di Indonesia, terutama diskriminasi dan persekusi terhadap aliran kepercayaan lain oleh kelompok-kelompok Islam ekstrem. Beruntungnya, Indonesia memiliki “polisi” yang bertugas mengingatkan umat untuk tidak menebar kebencian terhadap agama lain. Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama selama ini sudah cukup berkontribusi dalam mengawal Indonesia dari infiltrasi politik kaum Islam keras, semisal HTI dan FPI.

Saya sekali waktu pernah berimajinasi tentang Indonesia di bawah kekuasaan kelompok Islam garis keras, sebut saja “Taliban versi lokal”. Saya membayangkan bagaimana peradaban Indonesia akan terjun bebas karena semua nilai dan normanya dikembalikan ke era sahabat ketika Nabi hidup. Kekerasan akan merajalela karena normanya melegalkan hal itu. Peradaban yang lekat dengan darah dan teror. Sampai di situ, saya mengehentikan imajinasi itu karena tidak tega melanjutkan scene selanjutnya.

Saya tidak mengatakan bahwa peradaban Nabi tidak maju, yang saya bicarakan adalah konservatisme saudara-saudara Muslim kita yang menafsirkan dalil-dalil Islam secara tekstual dan kolot. Mungkin doktrin Hindutva terlalu kejam jika dibayangkan dalam imaji negeri Indonesia, tapi kita mempunyai preseden dalam wujud ISIS dan Taliban di negeri nun jauh di sana. Bukan tidak mungkin, kelompok-kelompok beraliran serupa akan terus tumbuh di Indonesia jika kita terlalu lunak. Ketika ia telah membesar, maka api dalam sekam itu akan meledak tiba-tiba.

Realitas di India memberikan kita kesempatan untuk menginstropeksi diri, bagaimana kita menyikapi doktrin-doktrin keras yang ada di sekitar kita. Dalam hal ini, kita tak perlu bersikap keras terhadap siapapun, yang kita perlukan adalah beragama dengan akal sehat, yang kita lakukan hanyalah terus berbuat baik kepada sesama.

Wallahu a’lam bisshowab  ..

*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT