Di salah satu milis, saya mendapatkan nama: Muhammad Mualim. Nama belakang saudara Muhammad ini, yaitu Mualim, mengingatkan saya pada sebuah esai berjudul “Mualim Syafi’i”. Penulisnya KH. Abdurahman Wahid alias Gus Dur, dimuat di majalah mingguan Tempo, tahun 80-an.
Yang dimaksud Mualim Syafi’i, baik dalam tulisan Gus Dur maupun catatan ini adalah almarhum KH Abdullah Syafi’i, perintis majlis taklim, perguruan dan pesantren Asyafi’iyah di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Gus Dur menulis Mualim Syafi’i untuk mengenang sikap dan pandangannya. Tulisan Gus Dur itu terbit tidak lama setelah Mualim Syafi’i wafat.
Dalam tulisan itu, Gus Dur menyampaikan paling tidak dua poin penting. Pertama, komunitas muslim di Jakarta lebih dekat dengan budaya Arab ketimbang komunitas Islam di daerah lain di pelosok Nusantara ini. Kentalnya budaya Arab di Jakarta bukan semata-mata karena ada banyak habib atau sayid –sebutan buntuk orang yang diyakini punya silsilah nasab dengan Nabi Muhammad– yang di kalangan Islam Indonesia pada umumnya harus dihormati, atau ada kampung Pekojan yang dipenuhi Golkar, Golongan Keturunan Arab. Lebih dari itu.
Arobiyah atau sifat kearaban yang memasyarakat di Jakarta juga, kata Gus Dur, dikarenakan banyaknya orang Betawi belajar di Timur Tengah, (Mekah dan Kairo). Dengan demikian, secara otomatis budaya Arab mengikutinya. Seperti budaya lain, tentu saja di sana ada proses akulturasi, tidak mentah-mentah budaya Arab begitu saja memasyarakat.
Gus Dur mencontohkan betapa kata ganti “ane” untuk orang pertama dan “ente” untuk orang kedua “menjadi betawi,” berjalan beriringan dengan “gue” dan “elu”. Bahkan, orang asli di Tegalparang, Mampang Prapatan, lebih mudah menyebut “nyahi” ketimbang “minum teh”. “Nyahi” berasal dari bahasa Arab “Syahi“, yang berarti teh.
Karena itu, tidak mengherankan jika orang Jakarta menyebut “Mualim” untuk orang pandai ilmu agama serta istiqomah mengajarkannya kepada masyarakat umum. Gus Dur berkelakar, sebutan Mualim bukan lantaran mampu mengemudikan kapal. Gelar Mualim lebih tinggi ketimbang Ustadz. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, “Mualim” setingkat dengan “Kiai,”. Sementara “Ustadz” setingkat dengan “Guru”, yang ngajarnya “cuma” juz Amma. Tapi sebutan “Guru” di Betawi di atas ustadz juga lho. Istilah Arab seringkali bisa “ditekuk” sesuai imajinasi sendiri, tidak peduli, misalnya ustadz di Arab itu berarti rofesor.
Mualim Syafi’i diberi gelar “Kiai” belumlah lama. “Kiai” dipakai dan populer setelah ada “Jawanisasi”. Jawanisasi yang paling terasa berbentuk migrasi para ulama Jawa ke Jakarta. Mungkin yang dimaksud Gus Dur adalah banyaknya kiai Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Kiai Wahid Hasyim, Kiai Wahab Hasbullah, dll, banyak bolak-balik, Jakarta-Jombang. Bahkan kemudian menetap di Jakarta karena menduduki jabatan yang mengharuskan tinggal di Jakarta, seperti Kiai Saifuddin Zuhri. Kalau benar, berarti migrasi besar-besaran terjadi sekitar awal abad 20, di saat orang di luar datang ke Jakarta dalam rangka mengentalkan gerakan kemerdekaan dari pemerintahan kolonial.
Poin kedua yang disampaikan Gus Dur adalah, kegigihan dan kekonsistensi Mualim Syafi’i dalam menumpulkan dampak negatif dari modenisasi/liberalisasi. Spiritualitas yang ditawarkan Mualim Syafi’i, mampu mengatasi kekeringan jiwa manusia yang terhimpit oleh kehidupan yang berorientasi serba benda.
Solidaritas yang dibangun Mualim Syafi’i merupakan penangkal terhadap rasa keterasingan, akibat terurainya ikatan-ikatan sosial lama dalam, baik kehidupan berumah tangga, bertetangga atau bermasyarakat. Kegigihan Mualim Syafi’i, misalnya berwujud pada penentangan kebijaksanaan mencari dana melalui perjudian di masa gubernur almarhum Ali Sadikin. Begitu juga kebijaksanaan penggusuran pekuburan dari Karet ke Tanah Kusir. Semua sanggahan Mualim Syafi’i berdasarkan ajaran agama, sehingga terasa mencekam.
Tapi Mualim Syafi’i tetap bergaul hangat dengan Ali Sadikin, meskipun sang gubernur tetap saja mengizinkan dan melegalkan perjudian. Gus Dur kemudian melontarkan pertanyaan, apakah Mualim Syafi’i tidak lagi menjalankan perintah agama, amar ma’ruf dan nahi munkar? Mualim Syafi’i tidak konsisten? Apakah ia telah terbuai persahabatannya dengan Ali Sadikin? Ternyata tidak, demikian kata Gus Dur.
Sebabnya sederhana saja, Mualim Syafi’i tahu betul batas peranan yang harus dimainkannya sebagai mubaligh atau pendakwah, yaitu sebatas mengajarkan pendirian ajaran agama, tidak lebih, bukan menentang pemerintah, juga bukan menyusun kekuatan (machtsvorming) untuk memaksakan pendirian.
Kalau pendirian agama sudah dirasa cukup disampaikan, sudah gugur kewajiban agama, kewajiban seorang pendakwah. Bahkan, tingkatan seorang rasul sekalipun, hanya sebatas “menyampaikan,” bukan “menjadikan”. Jangan sampai kewajiban berdakwah merusak kewajiban lain yang juga harus dijaga keberlangsungannya, yaitu menjaga ukhuwah islamiyah.
Dari sini, dapatlah dipahami bahwa berdakwah tak perlu merusak pergaulan dan karakteristik bermasyarakat, yaitu keanekaragaman, baik menyangkut keyakinan beragama dan keyakinan ataupun pendapat. Menyampaikan ajaran agama tak perlu menegangkan urat leher, apalagi kekerasan, petengtengan, konvoi segala, bahkan bawan pentungan dan bertakbir segala kayak melawan Belanda dulu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kehangatan antara Ali Sadikin dengan Mualim Syafi’i bukanlah oportunisme, kata Gus Dur, bukanlah loncatan untuk meraih ambisi pribadi. Sebaliknya, yang dilakukan oleh Mualim Syafi’i adalah konsistensi dalam menerapkan ukhuwah islamiyah. Ukhuwah islamiyah bermakna membangung persaudaraan berdasarkan nilai-nilai Islam, bukan bersaudaraan sesama komunitas muslim, bukan Al-Ikhwanul Muslimun.
Nah, yang ingin saya lontarkan pada kesempatan ini adalah, “Bagaimana jejak ajaran dan sikap Mualim Syafi’i dalam kehidupan di komunitas muslim Jakarta saat ini?
Kenapa pertanyaan ini penting dilontarkan? Jawabnya, pertama, adalah bahwa Mualim Syafi’i merupakan salah satu peletak dasar gaya atau model Islam di Jakarta, Islam Jakarta. Banyak ulama yang masyhur di Jakarta adalah muridnya. Mualim Syafi’i salah satu peletak dasar Islam Jakarta, dengan karakter Islam dan budaya Arab disertai sikap toleransi terhadap kemajemukan kota Jakarta.
Ia tahu betul bahwa Jakarta dihuni oleh, bukan hanya pelosok negeri, tapi juga dari penjuru dunia, karena posisinya sebagai ibu kota negara. Semua orang yang tinggal di Jakarta, tanpa kekecualian, harus merasa betah.
Kedua, saya melihat adanya indikasi bahwa ajaran yang diletakkan Mualim Syafi’i sudah mengalami erosi dan keterputusan antara generasi pendahulu dan penerus. Kerap sekali saya mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan ataupun khotbah Jumat berisi hujatan-hujatan terhadap kelompok yang tidak sejalan. Tidak berhenti sampai di situ, penggledahan dan pengrusakan terhadap tempat yang dianggap maksiat atau bertentangan dengan agama kerap dipertontonkan oleh beberapa komunitas Muslim di Jakarta.
Saya bisa memahami kegusaran segelintir Muslim di Jakarta terhadap ekses negatif atau mungkin kekalahan, dari moderenisasi. Tapi, saya sungguh tidak paham, “Kenapa jalan kekerasan itu ditempuh, padahal budaya kekerasan dan intoleransi bukan karakter Islam Jakarta yang telah diletakkan berpuluh-puluh tahun oleh Mualim Syafi’i?