Urgensi Integrasi Ilmu: Belajar dari Kasus Budi Santosa, Rektor ITK

Urgensi Integrasi Ilmu: Belajar dari Kasus Budi Santosa, Rektor ITK

Fenomena Budi Santosa adalah fenomena hasil pendidikan dikotomi ilmu yang agaknya masih cukup kuat di PTN Indonesia.

Urgensi Integrasi Ilmu: Belajar dari Kasus Budi Santosa, Rektor ITK

Salah satu isu belakangan yang ramai diperbincangkan, baik di medsos seperti facebook maupun di media massa cetak dan elektronik adalah postingan Rektor ITK (Institut Teknologi Kalimantan), Prof. Budi Santosa Purwokartiko. Melalui medsosnya, ia menyebut, dari 12 mahasiswa calon penerima beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) milik DIKTI yang diwawancarainya, “tidak satupun yang menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar openmind”. Ia dipandang mengidentikkan kerudung dengan penutup kepala manusia gurun yang tak berperadaban. Akibatnya, ia dicopot sementara dari reviewer LPDP dan dituntut untuk dicopot dari jabatannya sebagai Rektor.

Bahkan, belakangan, diberitakan bahwa telah ditemukan juga jejak digital postingan lain miliknya, dimana ia pernah kaget dengan sikap seorang mahasiswi yang tak mau berjabat tangan dengan dosen koleganya, karena koleganya itu bukan muhrim. Ia menyebut ajaran tidak boleh bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan muhrim sebagai “manusia ganas” yang bertentangan dengan “tatakrama pergaulan universal bersalaman sesama manusia”.  Dalam postingan lain bahkan ditemukan juga dirinya saat kuliah S3 sering membaca tafsir Al-Qur’an, tetapi ia menyebut: “Kitab suci (Al-Qur’an) kebanyakan isinya dongeng jaman dulu. Jadi, saya lebih suka baca sains atau berita terkini untuk menambah wawasan”.

Tulisan ini tidak ingin membahas apakah Budi Santosa harus dibawa ke pengadilan yang kini ramai disuarakan atau tidak, meski idealnya tidak semua hal harus dibawa ke pengadilan, demi memperkuat kebebasan sipil, sisi yang masih kurang di dunia Islam, termasuk di tanah air. Tulisan ini ingin membahas bahwa peristiwa di atas memperlihatkan pentingnya dilakukan/diperkuat integrasi ilmu di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) di bawah DIKTI Kemendiknas, sebagaimana yang juga dilakukan oleh PTN di bawah Kemenag.

 

Urgensi Integrasi Ilmu  

Agaknya, kasus Budi Santosa melalui tiga postingannya di atas merupakan fenomena gunung es dari sekian banyak ilmuwan atau sarjana di Indonesia, meski kepastiannya harus diriset. Paling tidak, asumsi itu bisa dirujuk dari fenomena menguatnya Islamofobia dan liberalisme militan belakangan ini.   Berdasarkan pengalaman pribadi, pernah juga penulis menjadi saksi ahli atas kasus ateis Minang yang dibawa ke pengadilan di Sumatera Barat, yang pelakunya juga dari latar sains dan teknologi, sama dengan Budi Santosa.

Hemat penulis, fenomena Budi Santosa di atas adalah fenomena hasil pendidikan dikotomi ilmu yang agaknya masih cukup kuat di PTN Indonesia. Dikotomi ilmu adalah pembagian atas dua kategori/tipologi ilmu yang saling berlawanan dan terpisah, yaitu mendikotomikan ilmu pengetahuan modern yang empiris dan rasional dengan ilmu agama yang berbasis wahyu.

Dalam bahasa Huston Smith, juru bicara kontemporer agama-agama, postingan Budi Santosa adalah postingan berbasis cara pandang saintisme yang secara ruhani menggerogoti manusia dengan tidak menghargai agama. Bahkan, dalam bentuknya yang ekstrim seperti di Barat membuang/membakar seluruh otoritas dan tradisi agama seperti tampak dari pernyataan  Charles Eliot Norton (1827-1908): “hilangnya agama di kalangan porsi ras paling beradab (mereka termodernkan/tersainskan) adalah sebuah langkah dari sifat kekanak-kanakan menjadi dewasa”. Yang dimaksudnya dengan saintisme adalah sebuah pandangan bahwa metode sains yang empirislah sebagai metode yang paling diandalkan. Di luar sains yang empiris tidak bisa diandalkan, termasuk agama, bahkan etika.

Harus diakui, sains modern memang telah memudahkan kehidupan manusia, terutama dalam melakukan banyak pekerjaannya; mengambil banyak peran yang sebelumnya dipercayakan pada agama (mitologi); dan mengubah secara drastis gambaran manusia tentang dunia. Namun, sains bukanlah satu-satunya kebenaran dalam kehidupan manusia. Terdapat berbagai sumber kebenaran lain seperti filsafat, seni, dan agama. Kehidupan terlalu rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pikiran saja. Semua bersifat saling membutuhkan dan mengisi. Karenanya, integrasi antara sains dan agama menjadi penting, dimana agama minimal berfungsi sebagai sumber etik/moral dan spiritual.

Dengan demikian, manusia dilihat secara utuh, tidak sebagai makhluk jasmaniah saja yang parsial. Cara pandang ini antara lain dikemukakan Albert Einstein (1879-1955). Ungkapnya: “Ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Pernyataan Einstein itu diungkapkannya setelah terjadi penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang oleh Amerika Serikat yang telah menewaskan orang Jepang dalam jumlah yang besar.

Bahkan, yang ideal dilakukan adalah Islamisasi sains, sebagaimana yang diserukan oleh Isma’il Raji al-Faruqi, penggagasnya. Menurutnya, generasi muda Muslim  pada masa modern tumbuh menjadi kepribadian yang terpecah (terbelah), tidak utuh, yaitu kepribadiannya sebagai Muslim yang agamis di satu sisi dan sebagai seorang modern yang berbasis ilmu pengetahuan modern yang sekular di sisi lain. Kenyataan ini bersumber antara lain karena disiplin-disiplin ilmu modern yang dipelajari generasi Muslim yang pada prinsipnya berlandaskan pada pembawaan/tabiat dan ideologi yang berkembang di Barat yang sekuler. Apa yang dialami Budi Santosa punya banyak kemiripan. Sebab itu, al-Faruqi menyerukan dilakukannya Islamisasi ilmu. Yang disuarakannya bukan hanya Islamisasi ilmu dalam bidang aksiologi seperti disebut Einstein, melainkan juga dalam ontologi dan  epistemologi.

Jika itu sulit dan terlalu ideal, paling tidak harus dilakukan integrasi ilmu antara ilmu alam yang menjadi basis ilmu Budi Santosa dengan ilmu sosial. Dalam teori ilmu politik, kini amat sedikit negara yang menerapkan sekularisme mutlak atau totok dengan diktum freedom from religion (bebas dari agama), meski dulu di dunia banyak negara yang meminggirkan agama dan di Indonesia pun pada akhir tahun 1980-an, siswa SMAN yang mengenakan kerudung bisa dikeluarkan dari sekolahnya seperti kini masih berlaku di Perancis yang menganut sekularisme totok.

Umumnya negara di dunia kini, di Eropa Barat dan Amerika Utara pun menganut sekularisme moderat dalam arti freedom of religion (kebebasan beragama). Maka, fenomena kaum perempuan yang mengenakan kerudung di ruang-ruang publik di negara-negara maju di dua kawasan itu menjadi fenomena sehari-hari, baik di kantor, di jalan dan angkutan umum, maupun di kampus. Idealnya, Budi Santosa yang pernah kuliah magister dan doktornya di University of Oklahoma, Amerika Serikat, bisa menyertakan kenyataan itu dalam menulis atau memposting di medsos. Di dua kawasan negara-negara maju itu, kerudung tidak identik dengan otaknya yang tidak openmind.  Sebagian mereka yang mengenakannya punya jabatan mentereng dan juga berpendidikan tinggi.

Kecuali itu, yang harus dilakukan/diperkuat PTN-PTN di Indonesia juga adalah saintifikasi/intelektualisasi/ilmuisasi Islam. Selama ini, matakuliah keislaman di PTN agaknya terlalu menekankan pengajarannya pada aspek dasar ajaran Islam seperti aspek tauhid dan ibadah (salat, puasa, zakat, dan haji), meski ini memang yang mendesak. Aspek sosial Islam agaknya kurang dikaji secara ilmiah.  Maka, hasilnya seperti Budi Santosa yang konon mengaku sebagai Muslim dan juga melakukan kewajiban shalat lima waktu, bahkan sering belajar tafsir. Namun, rendah dalam memahami aspek rasional dan sosial di balik ajaran Islam.

Soal Al-Qur’an kebanyakan isinya dongeng yang disebut Budi Santosa di atas misalnya, meski ini mirip ucapan kaum non Muslim zaman Nabi (asathir), harus dipastikan bahwa Al-Qur’an adalah kitab dakwah, bukan kitab ilmiah murni. Karenanya, kebaruan tidak ditekankan dalam Al-Qur’an, tetapi perubahan sikap etis dan spiritual. Namun, bukan berarti dalam Al-Qur’an tidak banyak pernyataan yang sesuai dengan temuan ilmiah modern. Berbagai literatur yang membahas Al-Qur’an dan sains telah memperlihatkan hal itu. Demikian juga dengan soal bersentuhan dengan lawan jenis dengan laki-laki bukan muhrim. Dalam Islam, isu itu adalah soal perbedaan dalam wilayah yang bukan prinsip (furu’). Ada ulama yang menyebut itu membatalkan wudhu, tapi mazhab Hanafi memandang tak membatalkan wudhu, juga Imam Maliki, selama tidak ada syahwat. Jadi, tak bisa digeneralisasi apalagi dipandang secara negatif.

Wallah a’lam bisshawab.

(AN)