Ulama dalam Pusaran Politik Praktis

Ulama dalam Pusaran Politik Praktis

Ulama seharusnya menjalankan politik tingkat tinggi. Yaitu, laku politik yang tidak partisan, tidak memihak pada kekuatan apa pun, kecuali memihak pada nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan.

Ulama dalam Pusaran Politik Praktis
ilustrasi

Di negara yang mayoritas penduduknya muslim, peran ulama sangat strategis dalam kancah politik praktis di Indonesia. Menjadi tidak mengherankan manakala pada setiap gelaran politik lima tahunan, baik itu pemilihan legislatif, kepala daerah atau bahkan pilpres sekali pun, ulama nyaris tidak pernah absen di dalamya.

Bentuk kehadiran itu dapat bermacam-macam, mulai dari yang terjun langsung ke dalam politik praktis, dengan mencalonkan diri sebagai caleg atau calon kepala daerah, sampai yang hanya bermain di balik layar. Sejarah mencatat, bahwa peran ulama dalam kancah politik sudah dimulai bahkan sejak republik ini masih berupa cita-cita.

Kondisi berbeda terjadi di era Orde Baru. Model politik otoritarian yang dipraktikkan Suharto kala itu memaksa ulama, terutama yang berseberangan dengan pemerintah, dipaksa bungkam dan tidak mendapat tempat di panggung politik. Di masa Orde Baru, kekuatan politik Islam diidentifikasi sebagai ekstrim kanan dan dianggap sebagai ancaman.

Pascareformasi, kekuatan politik Islam kembali mendapat akses untuk tampil ke dalam kontestasi politik nasional. Era keterbukaan ini segera disambut dengan euforia kelompok muslim. Hal itu terlihat dengan bermunculannya partai-partai berbasis Islam yang di awal kemuculannya berhasil mendulang simpati mayoritas pemilih muslim.

Trend itu tampaknya masih berlanjut hingga saat ini. Meski peroleh suara partai-partai Islam tidak sesignifikan sebelumnya, peran ulama dalam pertarungan politik tetap tidak dapat diabaikan. Hal itu tampak jelas dalam gelaran-gelaran pemilihan kepala daerah yang selalu diwarnai dengan keterlibatan aktif ulama.

Dalam Islam, ulama memiliki kedudukan yang boleh dibilang mulia. Secara etimologis, ulama berarti seseorang yang memiliki ilmu dan pengetahuan agama yang mumpuni. Secara terminologis, al Quran menyebut ulama sebagai sosok yang memberi pencerahan pada umat manusia. Dengan segala atribusi tersebut, wajar jika ulama memiliki kedudukan yang strategis dalam masyarakat. Segala ucap, laku, termasuk pilihan politiknya sangat mungkin untuk ditiru oleh masyarakat luas.

Clifford Geertz, seorang antropolog kawakan bahkan menyebut ulama sebagai cultural broker (perantara budaya). Peran ulama sebagai cultural broker itu dapat diidentifikasi setidaknya dari empat hal. Pertama, peran ulama dalam mengajarkan ilmu agama. Kedua, peran ulama sebagai problem solver bagi persoalan sosial. Ketiga, peran ulama sebagai agent of control dari gerak laju perkembangan sosial dan terakhir peran ulama sebagai katalisator dari perubahan sosial itu sendiri.

Patut disayangkan bahwa keterlibatan ulama dalam politik praktis telah menggeser peran-peran strategis tersebut. Di ranah politik praktis, ulama gagal memainkan perannya sebagai perantara budaya. Dalam banyak hal, peran ulama telah bergeser dari perantara budaya ke arah makelar politik. Modal sosial yang disandang oleh ulama dipakai untuk memobilisasi suara massa. Tujuannya jelas; demi kepentingan politik tertentu.

Pergeseran peran itu tentu bukan tanpa menyisakan persoalan. Di tengah jebakan politik praktis, agaknya cukup sulit ulama memainkan peran sebagai pencerah umat, pengontrol, apalagi aktor di balik perubahan sosial. Di tengah kepungan kepentingan politik, ulama hanya akan menghamba pada kekuatan politik yang disokongnya, meski kekuatan itu nyata-nyata merusak dan zalim. Perlahan namun pasti, peran ulama yang sebenarnya besar itu dikerdilkan ke dalam mekanisme politik transaksional.

Pilkada DKI beberapa waktu lalu barangkali adalah contoh paling buruk dari pertautan ulama dan politik praktis. Kita menyaksikan sendiri bagaimana sejumlah ulama dengan lihai menyitir dalil-dalil agama demi memuluskan kepentingan politik mereka. Kondisi serupa tampak mulai menggejala di beberapa wilayah yang menggelar pemilihan kepala daerah. Di Jawa Timur misalnya, sejumlah besar kiai terbelah ke dalam dua kubu pendukung calon kepala daerah.

Mengembalikan Marwah Ulama

Ulama, intelektual atau siapa pun yang memiliki modal sosial yang kuat, hendaknya memang tidak tinggal di menara gading. Ia harus terlibat langsung dalam proses perubahan sosial, atau dalam istilah Antonio Gramsci, berperan sebagai intelektual organik. Hanya saja, bentuk keterlibatan aktif dalam perubahan sosial itu tidak lantas harus diwujudkan dalam aktivitas berpolitik praktis. Terlebih jika corak politik yang dimainkan adalah politik Machiavellian, seperti yang saat ini dipraktikkan di Indonesia.

Bahwa berpolitik praktis adalah hak dasar setiap manusia yang dilindungi dan dijamin konstitusi itu adalah benar adanya. Tidak ada satu gagasan pun yang mampu menganulir fakta tersebut. Namun demikian, bagi seorang ulama, sosok yang dijadikan tauladan dalam kehidupan sosial sekaligus spiritual, politik praktis tampaknya bukan medan tempur yang ideal.

Mengutip pernyataan seorang ulama sepuh NU, KH. Alm. Sahal Mahfudz, ulama seharusnya menjalankan politik tingkat tinggi. Politik tingkat tinggi, menurutnya, adalah laku politik yang tidak partisan, tidak memihak pada kekuatan apa pun, kecuali memihak pada nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan.

Sepintas, gagasan politik tingkat tinggi ini mirip dengan gagasan politik etis yang digagas oleh filosof Yunani Klasik Aristoteles. Di ranah politik tingkat tinggi atau politik etis itulah, ulama memungkinkan untuk bersikap kritis terhadap penguasa, sembari tetap mendampingi masyarakat mewujudkan cita-cita akan kehidupan yang sejahtera. Kerja sosial berbasis pemberdayaan masyarakat itulah yang sesuai dengan marwah ulama sebagai penerus tradisi kenabian (warasatul anbiya).

Wallahu A’lam