Tampaknya pengertian kebebasan mimbar akademik sedang keliru ditafsir, kalau bukan disalahgunakan, oleh sejumlah orang.
Kebebasan mimbar akademik pada dasarnya adalah kebebasan bicara, kebebasan untuk menyampaikan pikiran dan pendapat secara terbuka dengan argumen ilmiah dalam forum dan setting ilmiah. Di sana siapa saja boleh bicara menurut kaidah ilmiah dan siap untuk didebat, dikritik, dipertanyakan, diinterogasi secara fair secara akademik dan harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mempertahankan gagasan dan pendapatnya itu juga secara fair dan ilmiah. Kualitas pikiran dan kebenaran ditentukan oleh perdebatan yang terbuka dan fair tadi. Itu maksud kebasan mimbar akademik. Mimbar akademik bersifat terbuka, logis, dialogis, bukan monolog.
Khutbah dan pengajian itu bukan bagian dari kebebasan mimbar akademik karena sifatnya yang satu-arah, tidak terbuka untuk debat ilmiah. Pendapat penceramah dalam pengajian cenderung ditempatkan sebagai kebenaran yang tidak elok untuk digugat, tapi untuk diamalkan. Acara pengajian di luar ranah kebebasan mimbar akademik. Meski judulnya tampak ilmiah, acara UAS di Maskam UGM tampaknya bukanlah acara akademik. Itulah sebabnya, Prof. Heddy Shri Ahimsa-putra semula diundang sebagai ‘panelis’ akhirnya mundur setelah tahu, bahwa beliau ternyata diminta sebagai “pembicara pembuka” saja, mungkin semacam partai tambahan, sebelum UAS tampil sebagai pembicara utama.
Ini tidak untuk menjustifikasi pelarangan UAS tampil di Maskam. Tapi mengatakan bahwa pelarangan UAS tampil di Maskam sebagai pelanggaran mimbar akademik adalah tidak tepat. Pelanggaran mimbar akademik itu terjadi kalau acaranya sendiri acara akademik. Kalau bukan ya bukan pelanggaran mimbar akademik, meski bisa saja tetap pelanggaran jika itu tidak sesuai aturan main yang fair.
Fyi, menurut Pak Ali Shahab, yang jum’atan di Maskam, kemarin takmir kembali mengumumkan bahwa UAS masih dijadwalkan bicara karena takmir tidak membatalkan acara itu. Pada saat yang sama diberitahukan juga bahwa sebetulnya belum ada konfirmasi dari pihak UAS (lho, blm konfirmasi kok diumumkan dan bikin orang ribut? Jadi orang dibuat ribut untuk sesuatu yang tidak jelas statusnya?).
Kalau mau, searah dengan pikiran Prof. Purwo Santoso, UAS diundang saja ke UGM dalam forum imiah, dipanel dengan para pembicara lain untuk membahas topik ilmiah, bukan pengajian. Tentu saja, di sana, UAS boleh bicara secara terbuka sekaligus boleh didebat juga secara terbuka dan ilmiah. Dengan begitu UGM bisa menunjukkan bahwa, kebebasan mimbar akademik tetap dijunjung di kampus biru.
Bagaimana kalau begitu?