Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, min sekarang kan orang banyak jualan online. Nah bagaimana hukumnya kalau ada pedagang online yang menggunakan testimoni palsu untuk menaikan rating dan penjualan?
Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Kita sering mendapati adanya perilaku sejumlah netizen, yaitu agar terjadi peningkatan rating pada suatu media online yang dibinanya, mereka membutuhkan sebuah perangkat/software untuk memacu tingginya rating. Software semacam ini biasanya disetting secara khusus yang nantinya otomatis akan memicu terjadinya peningkatan liker (penyuka) dan subscriber kepada situs tersebut, tanpa peran adanya usaha sponsoring (bersponsor).
Ada beda antara pertambahan liker dan subscriber antara melalui aktifitas bersponsor dan tidak bersponsor. Jika tidak melalui aktifitas bersponsor, maka peran pertambahan itu murni dari software. Sementara itu, jika melalui sponsor, maka peran pertambahan itu murni akibat daya jangkau yang luas sehingga memungkinkan banyak orang mengaksesnya. Semakin luas daya jangkaunya (exposure), maka semakin besar peluang mendapat liker dan subscriber.
Pihak media dan pedagang yang jujur, umumnya memanfaatkan teknologi optimalisasi daya telusur web mereka di mesin pencarian lewat SEO (Search Engine Optimization). Memakai SEO adalah sama kedudukannya dengan bersponsor/beriklan. Sebab, fungsi utama SEO adalah berkaitan dengan traffic (lalu lintas) ke situs yang ditarget. Pihak pedagang, umumnya memanfaatkan Google Admobs atau Google Adwords untuk memecahkan daya traffic mereka.
Adapun memakai software, maka ada peran tipu-tipu dibalik daya jangkauan. Peran tipu-tipu ini dalam literasi fikih dikenal dengan istilah khadi’ah. Kita umumnya menyebut sebagai testimoni palsu.
Apabila testimoni palsu ini disematkan pada aktifitas perdagangan barang atau jasa, maka akad yang berlaku atasnya adalah termasuk rumpun akad najasy (provokasi harga). Mengapa? Sebab dengan besarnya liker dan subscriber, image positif yang timbul pada pedagang barang dan jasa menjadi terdongkrak karenanya. Jika image itu berkaitan dengan jasa online, maka yang dipengaruhi adalah rating. Jika jasa itu berhubungan dengan aktifitas jual beli barang fisik, maka yang dipengaruhi adalah nama baik (reputasi) toko / lapak.
Akibat testimoni palsu (khadi’ah), banyak calon-calon konsumen menjadi terjebak olehnya. Orang-orang menjadi terprovokasi untuk ikut hadir dalam lapaknya, dan melakukan aktifitas jual beli barang atau jasa. Buntutnya, harga dilambungkan oleh produsen sehingga berakibat merugikan konsumen dan pedagang lain. Alasannya, sebab mereka tidak mendapati harga dan barang sebagaimana mestinya / normalnya.
Kerugian ini memang sifatnya tersembunyi, sebab erat kaitannya dengan peluang mendapatkan barang melalui jual beli. Sulit untuk mengukur besaran kerugian yang ditimbulkan, namun dalam realitasnya, masyarakat bisa merasakan.
Nah, semua aktifitas yang digambarkan oleh penulis sebagaimana di atas, adalah menyerupai akad bai najasy. Syeikh Ibnu Hajar al-Asyqalani menyampaikan sebagai berikut:
وفي الشرع الزيادة في ثمن السلعة ممن لا يريد شراءها ليقع غيره فيها ، سمي بذلك لأن الناجش يثير الرغبة في السلعة
“Menurut syara’, bai najasy merupakan upaya menaikkan harga barang dagangan (pump and dump) oleh orang yang sebenarnya tidak menghendaki membeli barang tersebut dengan tujuan agar orang lain masuk dalam perangkapnya. Itulah sebabnya, tindakan itu dikenal dengan istilah najasy, karena pihak yang berperan selaku penawar palsu (najisy) ini berperan dalam menambahkan daya pikat terhadap barang dagangan” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari li Ibn Hajar al-Asqalani, juz 4, halaman 416)
Lantas bagaimana syariat memandang perilaku najasy sebagaimana di atas?
Syeikh Ibnu Hajar al-Asyqalani rahimahullah di dalam kitabnya menjelaskan sejumlah penilaian para ulama terkait dengan testimoni palsu untuk meningkatkan rating dan penjualan ini. Pertama, beliau menukil tentang pandangan Nabi terkait dengan praktik najasy ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
هذا نجش لا يحل، فبعث مناديا ينادي : إن البيع مردود ، وإن البيع لا يحل
”Praktik najasy ini adalah tidak halal.” Lalu, beliau (Nabi) menyuruh seorang petugas pasar agar mengumumkan bahwa “sesungguhnya jual beli najasy (provokasi harga) ini adalah tertolak lagi tidak halal.” [Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari li Ibn Hajar al-Asqalani, juz 4, halaman 417)
Imam al-Rafi’i rahimahullah menyatakan sembari menukil penegasan Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu, bahwa pelaku najasy dihukumi sebagai pelaku ma’shiyat (berdosa), khususnya bila kedua pelaku (pedagang dan temannya) tahu bahwa praktik tersebut telah dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
وقال الرافعي : أطلق الشافعي في ” المختصر ” تعصية الناجش، وشرط في تعصية من باع على بيع أخيه أن يكون عالما بالنهي
“Imam al-Rafi’i mengatakan bahwa Imam al-Syafi’i telah menyampaikan status maksiatnya pelaku najasy di dalam kita al-Mukhtashar, dengan takhsish berdasar dalil status maksiatnya orang yang menjual barang yang diitawar oleh saudaranya, khususnya bila orang tersebut tahu bahwa praktik itu dilarang syara’” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari li Ibn Hajar al-Asqalani, juz 4, halaman 417)
Terhadap illat yang mendasari diharamkannya praktik najasy, Imam Al-Rafii menegaskan bahwa praktik najasy adalah haram disebabkan merugikan pedagang lain (idlrar).
واستشكل الرافعي الفرق بأن البيع على بيع أخيه إضرار، والإضرار يشترك في علم تحريمه كل أحد
“Imam Al-Rafii menganggap sulit untuk memerinci mengenai illat yang menyebabka dilarangnya jual beli najasy adalah karena adanya unsur idlrar (niat merugikan) terhadap jual beli saudaranya. Keharaman idlrar adalah sama baik seseorang mengetahui dalil keharaman atau tidak.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari li Ibn Hajar al-Asqalani, Juz 4, halaman 418)
Di sisi yang lain, para ulama ahli penyarah kitab menegaskan bahwa praktik najasi adalah haram karena illat khadi’ahnya (kepalsuan / kamuflasenya) meski ia tidak mengetahui dalil larangannya.
وأجاب الشارحون بأن النجش خديعة، وتحريم الخديعة واضح لكل أحد، وإن لم يعلم هذا الحديث بخصوصه
“Para penyarah kitab menjawab bahwa praktik najsy dilarang sebab unsur khadi’ah (pemalsuan). Keharaman khadi’ah (testimoni palsu/ kamuflase) ini merupakan yang jelas bagi setiap orang, kendati ia belum mengetahui penjelasan hadits yang menunjukkan larangan tersebut secara khusus. Lain halnya, dengan jual belinya seseorang terhadap barang yang masih ditawar oleh saudaranya, maka larangan itu tidak diketahui oleh setiap orang, (melainkan yang bersangkutan semata),” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari li Ibn Hajar al-Asqalani, Juz 4, halaman 417)
Alhasil, testimoni palsu adalah termasuk tindakan khadi’ah (pemalsuan/kamuflase). Hukumnya adalah haram khususnya bagi pihak yang mengetahui dilarangnya praktik tersebut oleh Nabi. Illat keharaman ada dua, yaitu: 1) karena adanya niat merugikan orang lain secara sengaja, dan 2) niat untuk melaukan penipuan (khadi’ah). Hukum jual belinya sah, namun pelakunya berdosa karena telah berlaku ma’shiyat. Wallahu a’lam bi al-shawab.