Ketika Para Ulama Fikih Main Tebak-tebakan

Ketika Para Ulama Fikih Main Tebak-tebakan

Ketika Para Ulama Fikih Main Tebak-tebakan
Ilustrasi: Twitter/@islamisciencenet

Tebak-tebakan dalam fikih biasanya disebut dengan alghaz. Tebak-tebakan ini tidak hanya sekedar permainan, tetapi menjadi salah satu metode dalam pembelajaran fikih.

Suatu ketika Ketika sedang mengkaji Kitab Bahjatul Wasail guru saya memberikan pertanyaan yang agak memusingkan otak saya. Begini pertanyaannya:

“Sebutkan sesuatu yang wajib tapi niatnya sunah dan sesuatu yang sunnah tapi niatnya wajib?”

Tak ada satupun di antara kami para siswa yang mampu menjawab pertanyaan itu. Padahal seluruh memori ingatan saya tentang fikih sudah saya kerahkan. Namun sama saja, saya tidak mampu merumuskan jawabannya. Setelah melihat reaksi para siswa yang seakan mengangkat bendera putih, menyerah. Guru saya memberikan jawabannya:

“Jadi begini nak, Sesuatu yang wajib tapi niatnya sunnah adalah memandikan mayit. Karena hukum memandikan mayit kan fardhu kifayah sedangkan niat memandikan mayitnya itu hanya sunnah. Sedangkan sesuatu yang sunnah tapi niatnya wajib adalah mewudhukan mayit. Karena hukum asal mewudhukan mayit adalah sebatas sunnah, namun apabila dikerjakan tentu harus melakakukan niat terlebih dahulu”

Pada kesempatan lain guru saya memberikan pertanyaan serupa tapi tidak sama:

“Apa shalat tapi tidak niat, dan niat tapi tidak shalat?”

Seperti biasa tidak ada yang menjawab. Langsung guru saya menjawab

“itu adalah orang yang shalat Jumat masbuq yang tidak mendapatkan rukuk imam yang kedua”

Setelah saya angan-angan jawaban tersebut. Saya pun membenarkan dan mengangguk-ngangguk sambil memvisualkan jawaban tersebut.

“Oh iya ya orang tersebut kan ketinggalan dua rakaat jadi ia harus menambah 2 rakaat lagi. Yang itu sama artinya ia melakuakan 4 rakaat dzuhur tapi tidak niat shlat dzuhur. Dan sebaliknya ia niat shalat jumat tapi tidak melakukan shalat jumat yang seharusnya 2 rakaat.”

Begitulah awal pertemuan saya dengan alghaz tebak-tebakan ala ulama fikih. Yang kemudian memacu saya terus untuk mendalami kajian fikih secara intensif. Bahkan belakangan saya ketahui pertanyaan yang dilontarkan guru saya tersebut saya temukan di kemudian hari setelah saya membaca Kitab Hasyiyah Al-Bajuri Sebuah kitab komentar atas kitab fenomenal di kalangan pesantren Fathul Qorib.

Di berbagai kitab selain kitab di atas juga banyak saya temukan alghaz-alghaz lain yang tak kalah asyik. Dari situ saya mencoba mengkaji alghaz dengan serius.

Alghaz secara etimologi berarti menyamarkan sesuatu. Adapun secara secara terminologi sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Najim dalam Hamisy Asybah wa Al-Nadzair adalah

المسائل التي قصد إخفاء وجه الحكم فيها لأجل الامتحان

“masalah-masalah (fikih) yang disengaja disamarkan untuk kepentingan pengujian”

Sejatinya alghaz bukan merupakan sesuatu yang baru dalam syariat. Karena alghaz tidak lain merupakan bentuk kreatifitas para ulama fikih dalam meramu modulasi pembelajaran fikih. Kita tahu fikih yang umum dipelajari saat ini kebanyakan berbentuk teks narasi atau ada juga yang berbentuk syair. Hal tersebut bagi sebagian kalangan mungkin akan menimbulkan kejenuhan dalam mengkajinya. Walaupun toh kita tak memungkiri efektifitas metode tersebut.

Sebaliknya, kehadiran alghaz dalam ranah kajian fikih seakan menjadi alternatif metode pembelajaran yang asyik dan menantang. Para pelajar bukan hanya ditawarkan dengan ‘fikih jadi’ namun juga diajak berfikir, memainkan logika serta intuisinya dalam belajar. Selain itu, dengan metode tebak-tebakan ini para pelajar secara tidak langsung mendapat semangat baru untuk melihat fikih dari sudut pandang lain. Hal ini pernah diungkapkan oleh Abu Bakar bin Zaid al-Jara’i (883 H) dalam kitab Hilyat al-Tharraz fi Masail Alghaz:

فإن ألغاز المسائل برمزها من السائل مما تثير النفوس، وتحرك البواعث وتنشط الهمم على استحضار أحكام الحوادث

“Sesungguhnya menjadikan permasalahan-permasalahan fikih menjadi sebuah alghaz atau tebakan merupakan sesuatu yang bisa menggerakkan hati, membangkitkan semangat dalam mengkaji hukum-hukum aktual”

Alghaz juga hadir sebagai solusi bagi pelajar yang mengalami kejenuhan dan kemalasan dalam mengkaji fikih. Ia tidak tampil dengan ‘wajah garang’ sebagaimana ditemui dalam teks-teks fikih biasa. Namun, ia menampilkan wajah fikih yang menghibur sekaligus mengasah intelektualitas. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Barr bin Muhammad Syahnah dalam Al-Dakhair Al-Asyrafiyyah :

وإن الألغاز وسيلة لشحذ الأذهان وتحلية للتنويع؛ لئلا يمل الطالب الكسلان

“Sesungguhnya alghoz merupakan media untuk mempertajam kemampuan berfikir, juga sebagai modal pengayaan materi supaya pelajar yang malas tidak bosan.”

Kajian dengan metode alghaz mulai dikenal secara luas dalam kalangan ulama fikih semenjak berkembangnya empat poros besar mazhab fikih. Namun hanya sebatas selingan dalam kajian-kajian mereka. Baru ketika Abi Hafsh Al-Hamuwi mengawali kerja intelektualisme di bidang ini, takhassus atau pendalaman akan metode ini mulai dikembangkan. Hal ini dikukuhkan dengan kitabnya yang berjudul Al-Alghaz. Tak lama berselang Muhibbuddin At-Thabari (w.694 H), seorang ulama Mekah menyusulnya dengan judul kitab yang sama.

Setelah era Muhib At-thabari ini kajian dengan metode ini menjadi sangat populer. Bukan hanya dikalangan syafiiyah, diluar itu sangat banyak sekali yang juga ikut meramaikan alghaz ini. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya karangan yang berfokus dengan kajian ini. Sebut saja Al-Ijaz fi Alghaz karangan Ibrahim bin Umar Al-Juairi Al-Kholili (w.732 H), Durrot Al-ghowwas fi Muhadhorot al-Khowwas karangan Burhanuddin bin Firhaun (w.799 H), Khowwas al-bariyyah fi-Alghoz al-Fiqhiyyah karangan Yusuf bin Kholid al-Basathi Al-Maliki (w.729 H), Hilyat al-Tharraz fi Masail Alghaz karangan Abu Bakar bin Zaid Al-jaro’i (883 H) dan masih banyak lagi kitab-kitab lain yang concern dalam bidang ini baik ulama mutaakkhirin ataupun ulama kontemporer.

Selain mengkaji dalam kitab khusus, ada juga ulama yang menempatkan tebak-tebakan ini dalam bab khusus dalam kitabnya. Sebagimana yang dilakukan oleh Tajuddin Al-Subki dalam Asybah wa an-nadzair nya. Juga Zainul Abidin Ibnu Najim dalam Asybah wa Al-nadzoir versinya.

Namun, karena alghaz ini merupakan kajian yang eksklusif di kalangan pelajar atau ahli fikih. Para ulama memberi rambu-rambu agar para pengkaji alghaz ini tidak menggampangkan untuk menyampaikan alghaz yang rumit pada kalangan awam. Karena dikhawatirkan nanti tujuan utama dari alghaz ini tereduksi hingga menyebabkan mereka kebingungan. (AN)