#TanyaIslami: Apakah Nilai Manfaat Amal Jariyah Bakal Terhenti dengan Adanya Kiamat?

#TanyaIslami: Apakah Nilai Manfaat Amal Jariyah Bakal Terhenti dengan Adanya Kiamat?

Rubrik #tanyaislami adalah ruang berbagi pengetahuan keislaman untuk kalangan awam, menengah, maupun tingkat lanjut. Kali ini kita mendiskusikan amal jariyah manusia dan bagaimana statusnya ketika hari kiamat tiba.

#TanyaIslami: Apakah Nilai Manfaat Amal Jariyah Bakal Terhenti dengan Adanya Kiamat?
Ilustrated by @artsgaf (islamidotco)

Dear redaksi islamidotco, 

Saya punya pertanyaan terkait kehidupan setelah mati. Sebagai orang yang mengimani adanya hari akhir saya tentu saja percaya sepenuhnya tentang kehidupan yang dalam bahasa Inggris biasa disebut hereafter.  

Dalam literatur Islam yang saya pelajari, terdapat diktat bahwa setelah orang meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan (doa) anak saleh.

Dalam pengertian ini, (jiwa) orang yang meninggal dunia akan berpindah ke alam kubur atau barzakh. 

Artinya, logis kalau masih bisa ‘dikirimi’ doa atau menerima manfaat dari apa yg pernah dilakukannya, karena saat dia meninggal dunia dan pindah alam, dunia nyata tempat dia melakukan amal perbuatan masih ada.

Pertanyaannya: kalau kita sudah pindah ke alam akhirat (berarti sudah kiamat), apakah amal manusia itu terbatas pada apa yang mereka kerjakan di alam nyata saja? 

Lalu, ketika dunia telah kiamat sehingga tidak ada lagi anak saleh, apakah amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat menjadi tidak relevan karena dunia sudah kiamat? Bagaimana dengan hal tersebut?

Itu pertanyaan pertama. 

Kedua, masih berhubungan dengan di atas, apakah amal yang seseorang terima di alam kubur hanya relevan di alam kubur saja, atau juga ‘dibawa’ ke akhirat? 

Contohnya, dia didoakan orang saat di alam kubur. Maka kuburnya jadi lapang (misalnya). Tapi saat pindah ke akhirat, hal itu tidak relevan lagi, kan? Karena sudah tidak ada yang mendoakan.

Salam hangat, 

Puthut EA, Kepala Suku Mojokdotco.  

Jawab: 

Teruntuk Om Puthut EA. Terimakasih atas pertanyaan yang betul-betul mengkepala-sukukan.

Pada dasarnya, sulit untuk membuktikan secara empirik-materiil terkait hal-hal eskatologis. Pertama, dunia belum kiamat. Kedua, kematian dan hal-hal yang terjadi setelahnya memang merupakan misteri bagi umat manusia. Bahasa Ngagliknya adalah ghaib atau unseen.     

Meski demikian, ada tiga kata-kunci yang barangkali relevan dengan diskusi kita kali ini. Pertama, alam barzakh; kedua, akhirat; dan ketiga, status “amal manusia” di antara dua hal pertama. 

Alam Barzakh. Dalam Islam, setelah manusia meninggal dunia, (jiwa) mereka akan menempati sebuah alam lain yang disebut dengan alam kubur (barzakh). Alam barzakh adalah shelter tempat istirahat setiap jiwa sebelum hari kebangkitan tiba. 

Ada banyak sekali dalil-dalil dalam al-Quran maupun hadis shahih yang menegaskan eksistensi alam barzakh. Salah satunya adalah firman Allah SWT dalam Quran surat al-Mu’minun ayat 100: “… dan di hadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.” 

Barzakh, dengan demikian, adalah “ruang antara” yang menjembatani kehidupan dunia dan akhirat. 

Seorang pakar Tafsir Al-Quran, M. Quraish Shihab, pernah memberi ilustrasi menarik sehubungan dengan alam barzakh. Katanya, barzakh itu artinya pemisah. Pemisah itu bisa diilustrasikan seperti kaca. Kita hanya bisa melihat tetapi tidak bisa mengakses yang kita lihat dari balik kaca. 

Akhirat. Setelah menjalani karantina di alam barzakh, umat manusia akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan selama di dunia. 

Itulah kenapa dalam Islam ada konsep yaumul mizan (hari perhitungan). Migrasi dari alam barzakh menuju akhirat itu ditandai dengan hari kiamat yang tidak ada seorang pun diberi pengetahuan tentangnya.   

Kendatipun begitu, Al-Quran memberi sedikit abstraksi yang bakal terjadi pasca hari kiamat. Ini tertuang dalam surat Yasin ayat 51-52. 

وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا هُمْ مِنَ الْأَجْدَاثِ إِلَى رَبِّهِمْ يَنْسِلُونَ # قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ

Wa nufikha fi al-shuuri fa idzaa hum min al-ahdaatsi ilaa Rabbihim yansiluun. Qaaluu yaa waylanaa man ba’atsana min marqadina hadzaa maa wa’ada al-Rahmaanu wa shadaqa al-mursaluun.

Artinya:

“Dan ditiuplah sangkakala (yang kedua), maka serta mereka mereka (bangkit) dari kubur-kubur mereka (yakni di alam Barzakh), bergegas menuju Tuhan Pemelihara mereka. Mereka berkata, “Hai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat pembaringan kami?” Inilah yang pernah dijanjikan Yang Maha Pemberi Kasih dan benarlah para rasul (yang diutus-Nya).” 

Ibnu Jarir al-Thabari dengan mengutip riwayat dari sahabat Ubay bin Ka’ab, dari Qatadah, maupun dari Abdullah bin Abbas, mengatakan bahwa ayat di atas berkaitan dengan kebangkitan umat manusia dari alam kubur. 

Menurut Imam al-Thabari , kata al-ajdats pada ayat 51 bermakna “kubur” dalam bentuk jamak.

Melengkapi pendapat di atas, Imam al-Qusyairi menyebut jika ayat di atas adalah deskripsi orang-orang yang tidak mengenal Tuhannya. 

“Orang-orang yang tidak mengenal Tuhan, Allah SWT, maka mereka akan mati dalam keadaan bodoh (jahl), tidak tahu apa apa, dan ketika dibangkitkan pun mereka bangkit dalam keadaan tidak tahu apa pun,” terangya dalam tafsir Lathaif al-Isyarat.

Hari Kebangkitan merupakan saat di mana semua manusia mengalami gegar budaya. Al-Quran mendeskripsikan kekagetan ini dengan ungkapan ya waylana yang diambil dari tiga kata: “yaa”; “wayl”; dan “na”. Ketiga kata ini secara harfiah berarti “wahai”; “celaka”; dan “kami”. 

Menurut M. Quraish Shihab ketiga kata tersebut diungkapkan ketika orang Arab menyaksikan sebuah peristiwa yang sangat hebat, bisa jadi menggembirakan maupun menyedihkan. 

Si pengucap ini, kata Prof. Quraish, seolah-olah mengatakan “aduh, kecelakaan menimpa diriku, saksikanlah keadaanku agar aku mati tidak mengalami terlalu lama siksaan ini!”

Masih menurut Prof. Quraish, ungkapan serupa juga pernah diucapkan istri Nabi Ibrahim as, Siti Sarah, ketika mengetahui berita bahwa ia akan hamil. 

Padahal, ketika itu baik Nabi Ibrahim maupun Siti Sarah telah mencapai usia renta. Hal ini termaktub dalam QS Hud [11]: 72. 

Yaa waylataa aalidu wa ana ‘ajuuzun” (“sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan, sedangkan aku perempuan tua”).

Untuk menerangkan kata “marqadina” (tempat pembaringan) pada ayat 52, Prof. Quraish mengutip dua pendapat mufassir. 

Pendapat pertama adalah milik al-Biqa’i yang mengatakan bahwa kata tersebut digunakan sebagai ungkapan atas pedihnya siksa di akhirat ketimbang siksa di alam barzakh. 

Sedangkan pendapat kedua berasal dari al-Thabathaba’i. Katanya, kata “marqadina” diucapkan berdasarkan keyakinan kaum musyrik Mekah ketika mereka hidup dan mengingkari hari kebangkitan. 

Keyakinan itu telah terpatri dalam jiwa kaum musyrik Mekah. Pada gilirannya ketika dibangkitkan, mereka menjumpai alam yang sangat menakutkan sehingga keluarlah ungkapan yang menyatakan kebinasaan sebagaimana sering dikatakan ketika di dunia.

Amal. Ini termasuk salah satu aspek paling krusial yang menentukan nasib manusia, kelak, di akhirat. Hanya saja, proses produksi “amal” hanya berlaku ketika manusia masih hidup di dunia. Dengan kata lain, kematian seseorang menandai terputusnya peluang untuk beramal. 

Ada amal baik, ada juga amal buruk. Kata Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis riwayat sahabat Abu Hurairah, begini:  

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ 

“Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 (perkara): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang berdoa baginya.”

Berdasarkan keterangan hadis tersebut, terbentang pelajaran bahwa ketika seseorang sudah meninggal dunia maka segala amal perbuatannya bakal terputus. Ini berlaku untuk semua amal, baik yang progresif maupun destruktif.

Makanya, kematian seseorang itu bukan saja memutus potensi investasi akhirat, tetapi juga menghentikan segala bentuk amal yang memungkinkan seseorang semakin terjerumus ke dalam jurang maksiat. 

Itulah kenapa dalam perspektif yang optimistik, kematian boleh jadi merupakan berkah bagi seseorang karena peluang berbuat dosa akan terhenti dengan sendirinya, kendatipun hal yang sebaliknya juga berlaku. Kematian sekaligus memutus kemungkinan orang untuk beramal salih kecuali tiga perkara sebagaimana tertuang dalam hadis di atas.     

Meskipun demikian, sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, dan (doa) anak saleh dari seseorang yang meninggal tidak akan berguna ketika kita semua sudah memasuki alam akhirat. 

Hal itu pernah diutarakan oleh KH. Bahauddin Nur Salim (Gus Baha) dalam video yang diunggah kanal Youtube Santri Gayeng.

“Semua amal seseorang dikatakan tidak berguna bagi mayit itu ketika di akhirat,” ujar Gus Baha.

Hanya saja, Gus Baha juga mengungkapkan bahwa jika orang yang meninggal dan masih di alam kubur atau alam barzakh, maka segala doa dan amal jariyah masih bisa dihitung.

“Tapi jika masih di kuburan, semua ulama ahlussunnah wal jamaah berpendapat bahwa si mayit masih bisa didoakan,” kata Gus Baha.

Alasannya, menurut Gus Baha, alam kubur itu belum masuk dalam alam akhirat. 

“Karena di kuburan itu belum sampai di akhirat. Jadi orang meninggal itu berada di alam barzakh. Nah di alam barzakh, dia masih bisa mendapat kiriman amal jariyah, amal saleh,” imbuhnya.

Jadi di sini bisa kita simpulkan bahwa, pertama, amal manusia memang terbatas pada apa yang mereka kerjakan selama hidup di dunia. Adapun setelah manusia meninggal dunia, nasib mereka di alam barzakh adalah bergantung pada seberapa jauh kualitas amal yang bersangkutan.

Dalam pengertian ini, status mayit pada dasarnya adalah pasif belaka. Di alam barzakh mayit tidak bisa melakukan inisiatif atau kreativitas apapun untuk menambal lobang-lobang kemanusiaan, keberislaman, dan kebertuhanan.

Meskipun demikian, seorang mayit masih bisa mendapat suplai amal kebaikan yang dimungkinkan oleh, sedikitnya, tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan (doa) anak saleh. Hanya saja, hal ini berlaku sejauh dunia belum kiamat.  

Ibarat “tutup buku” di akhir tahun, kiamat adalah penanda bagi terhentinya segala amal perbuatan, baik yang dikerjakan secara manual sendiri-sendiri maupun yang bersifat passive-income. Kiranya, keterangan ini sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan kedua.

Adapun nasib manusia di alam akhirat, itu semua sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Inilah yang kelak membedakan mana umat yang benar-benar tulus dengan mana umat yang ketulusannya masih setengah mentah.

Wallahu a’lam [AK]