Politik Uang: Bagaimana Hukum Suap Jika Niatnya untuk Kebaikan?

Politik Uang: Bagaimana Hukum Suap Jika Niatnya untuk Kebaikan?

Rubrik #tanyaislami adalah ruang berbagi pengetahuan keislaman untuk kalangan awam, menengah, maupun tingkat lanjut. Kali ini kita mendiskusikan politik uang, pemilu, dan kaitannya dengan demokrasi.

Politik Uang: Bagaimana Hukum Suap Jika Niatnya untuk Kebaikan?
Ilustrated by @artsgaf (islamidotco)

Dear redaksi islami.co,

Saya menyimak beberapa kajian dari para ustaz dengan latar-belakang yang berbeda secara mazab, tapi kali ini mereka seolah bersepakat. Soal itu adalah bagaimana hukumnya jika seseorang melakukan proses ‘suap’ untuk sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan.

Rupanya, mereka memperbolehkan. Meskipun begitu, dari sini saya tetap punya keraguan dan ganjalan.

Untuk mudahnya, contohnya adalah sebagai berikut ini:

Iqbal, misalnya, hendak mencalonkan diri jadi kepala desa. Kompetitornya anggap saja bernama Heri.

Iqbal dikenal sebagai orang yang lurus, progresif, dan amanah. Sementara itu, Heri dikenal sebagai preman kampung yang kaya.

Hanya saja, sumber kekayaan Heri ternyata adalah hasil dari jualan togel dan pencurian kayu jati.

Kalau jabatan kepala desa itu jatuh di tangan Heri, maka besar kemungkinan desa itu akan dikelola ala preman. Sangat mungkin tempat karaoke dengan paket mirasnya berdiri di mana-mana. Perjudian pun makin marak. Dan lain sebagainya.

Sementara itu, kalau Iqbal yang jadi kepala desa, maka besar kemungkinan hal seperti di atas tidak terjadi. Namun, karena era “uang amplop” sudah dianggap lazim, dan hampir sebagian besar warga desa justru bersifat pragmatis, siapa pun yang akan memberikan uang banyak maka dia yang akan dipilih.

Lantas, bagaimana hukumnya jika tim sukses Iqbal kemudian melakukan hal yang sama dengan cara melakukan politik uang dengan cara ‘menyuap’ warga?

Kalau boleh, apa dasar hukum agamanya? Sebab bukankah Islam mengajarkan kalau jalan kebenaran harus dilakukan dengan cara dan proses yang benar?

Jika tidak, bukankah dampak risiko sosial-ekonominya besar, sehingga banyak menelan korban?

Terimakasih,

Salam Hangat, Puthut EA

Jawab:

Teruntuk Bapak Kepala Suku Mojokdotco dan siapa pun yang merasa related dengan keresahan ini.

Ada sedikitnya tiga kata kunci dari pertanyaan yang sangat jauh dari prediksi BMKG tetapi menarik untuk kita diskusikan pada sesi #tanyaislami kali ini, yaitu: suap, pemilu, dan kaitannya dengan demokrasi.

Pemilihan umum (Pemilu) untuk mencari pemimpin baru memang tidak semudah pergantian kekuasaan dalam sistem negara patrimonial.  

Sejarah mencatat, Pemilu terbaik justru hanya terjadi sekali di negeri ini yakni pada tahun 1955. Dikatakan demikian sebab pada waktu itu Pemilu dilaksanakan dengan suasana yang sangat demokratis, jujur, adil, serta tidak mengenal politik uang.

Ketika itu partai peserta Pemilu bertarung dengan fair dan objektif. Juga, faktor penentu paling signifikan di masa itu adalah kontestasi gagasan keindonesiaan, alih-alih politik uang sebagai alat untuk mendapat kekuasaan.

Lalu pada zaman Orde Baru (Orba) terjadi pergeseran paradigma. Fenomena politik uang memang jarang didengar dan dicatat karena Pemilu selalu dihiasi oleh penggunaan kekuasaan untuk memenangkan partai milik pemerintah.

Di masa itu segala kekuatan terlalu solid untuk memenangkan Partai Golongan Karya. Pemilu, dengan demikian, hanya seremoni demokrasi belaka. 

Justru, fenomena politik uang banyak terjadi dalam pemilu pasca era Orba yakni di era reformasi.

Tak jarang praktik politik uang ini dilakukan secara masif di tengah-tengah masyarakat dan seolah menjadi tontonan murahan yang pada gilirannya akan merusak kualitas demokrasi. Dalam konteks ini, Pemilu kehilangan orientasi untuk menciptakan negara yang demokratis, adil, dan sejahtera.

Akhir-akhir ini, bukan hanya Pemilu yang dibumbui dengan politik uang. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak, hingga pemilihan kepala desa (Pilkades) juga tak luput dari aroma menyengat politik uang.

Pendeknya, baik dalam Pemilu, Pilkada, hingga Pilkades, politik uang selalu tampil di depan, mengalahkan visi-misi, atau program kandidat dan partai politik.

Jadi ilustrasi antara Iqbal vs Heri sebagai dua kandidat Pilkades di atas pada dasarnya mewakili fenomena pasca Orde Baru.

Hukum Suap dalam Politik Kekuasaan

Hukum asal dari isu “suap” adalah haram. Politik uang (money politic) dalam pemilihan umum termasuk dalam bagian ini. Letak keharaman itu berlaku bagi pemberi, penerima, mediator, atau siapa pun yang terlibat di dalamnya.

Ringkasnya, ada banyak sekali kecaman bagi mereka yang terlibat suap. Dalilnya bisa dibaca di sini. Meskipun demikian, ada kondisi tertentu yang (seolah) mengharuskan kita melakukan suap. Ini merupakan pengecualian.

Dalam kitab al-Fawaid al-Janiyah Hasyiyah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nazhmi al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani mengatakan bahwa keharaman suap dapat dikecualikan apabila dimaksudkan untuk mengambalikan haknya atau melepaskan diri dari kezaliman.

Senafas dengan itu, dalam kitab Nihayah az-Zain, Syekh Nawawi Banten menjelaskan bahwa hukum memberi risywah (suap) pada dasarnya adalah sebagaimana menerimanya. Haram.

Hanya saja, dalam kasus tertentu hukum suap bisa menjadi “boleh” sejauh dimaksudkan untuk mendapatkan hak atau untuk menghalau kebatilan.

Dalam pengertian ini, hukum kebolehan suap hanya berlaku bagi pemberi, sedangkan bagi penerima suap tetap berstatus haram. Contoh praktis dan dalil lengkapnya bisa dibaca di sini.

Lalu, bagaimana dengan kandidat pemilihan umum yang menghadapi pragmatisme warga sehingga tidak ada cara lain memenangi pertarungan kekuasaan kecuali melalui (suap) politik uang?

Menurut hemat kami, politik uang tetaplah mengandung keburukan dan karena itu haram, kendatipun ada beberapa ulama yang memperbolehkan.

Dalil keharaman itu setidaknya tertuang dalam pasal yang mengatur tentang sanksi pidana bagi pelaku politik uang. Beberapa di antaranya adalah Pasal 278, 280, 284, 515, dan 523 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Sanksi yang menunggu para pelanggar Pemilu pun cukup variatif, mulai dari sanksi pidana 3-4 tahun hingga denda Rp 36-48 juta dan tentunya diskualifikasi bagi pelaku.

Berdasar ketentuan-ketentuan tersebut maka pemberian suap, betapapun, merupakan tindak pidana (dalam bahasa agama disebut perbuatan dosa) di Indonesia.

Sebagai bagian dari rakyat Indonesia, setiap muslim yang berada di dalamnya terikat kepada perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pengertian ini, UU yang mengikat warga negara Indonesia diasumsikan sebagai kesepakatan bersama dan karena itu harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam surah al-Maidah ayat 1.

Selain itu, Rasulullah SAW juga pernah bersabda bahwa “al-muslimuna ‘ala syurutihim (setiap muslim terikat pada janji yang mereka buat)”.

Lalu, bagaimana jika yang menang dalam pemilihan umum ternyata adalah kandidat terburuk sehingga dikhawatirkan akan membawa dampak yang buruk pula?

Di sini, kita sebetulnya masih memiliki peluang berbenah yang secara regulasi dimungkinkan melalui unjuk rasa, atau lebih modern dengan menggunakan pendekatan media sosial.

Agaknya, kita memang tidak perlu meragukan lagi kuasa netizen Indonesia dalam hal melucuti apa pun yang dianggap kezaliman.

Lebih dari itu, dalam sejarah peradaban Islam ada banyak contoh khalifah yang kezalimannya sangat syaithonirrojim, kendatipun pemimpin yang progresif juga jauh lebih banyak.

Artinya, sejauh negara masih menjamin dan memungkinkan untuk melakukan perbaikan dan evaluasi berdasarkan sistem demokrasi yang sehat-menyehatkan, maka segala perilaku yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan sebaiknya dihindari.

Ala kulli hal, melakukan suap atau politik uang untuk memenangi kompetisi Pilkades tetaplah tidak baik dan tidak direkomendasikan, kendatipun niat Iqbal, umpamanya, adalah sangat baik dan luhur.

Sebagai gantinya, sebagai warga negara yang, insyaAllah, kritis dan welleducated, kita sebaiknya memperbanyak Iqbal-Iqbal demokrasi dengan melakukan kampanye literasi Pemilu Damai yang transparan, adil, dan (bila perlu) berketuhanan.

Wallahu a’lam (AK)