Aurat Imam Shalat Kelihatan, Apa yang Seharusnya Dilakukan Makmum?

Aurat Imam Shalat Kelihatan, Apa yang Seharusnya Dilakukan Makmum?

Ternyata ada langkah taktis yang bisa diupayakan seorang makmum ketika menjumpai aurat imam shalat jamaah yang menyumbul ketika sujud

Aurat Imam Shalat Kelihatan, Apa yang Seharusnya Dilakukan Makmum?
Ilustrasi : Alwy (islamidotco)

Dear redaksi islami.co

Saya punya pertanyaan menyangkut fenomena yang, saya kira, juga menjadi keresahan beberapa orang dengan mobilitas sembahyang yang tinggi di ruang-ruang publik seperti, anggaplah, di sebuah mushola kedai kopi, atau rest area, dan semacamnya. 

Seandainya kita sedang jadi makmum sholat, lalu saat kita melakukan gerakan rukuk, sujud, maupun duduk di tahiyat awal dan akhir, lalu kita tahu sebagian pantat imam kita terlihat (mengingat sekarang ini banyak orang berpakaian yang ‘methethet’), apakah shalat kita tetap sah? 

Lebih dari itu, kira-kira apa yang harus kita lakukan? Bagaimana mitigasinya? Atau, apakah pakaian seperti itu sebetulnya tidak masalah dalam shalat?

Terimakasih,

Puthut EA, Kepala Suku Mojok

Jawab:

Teruntuk Mas Puthut dan siapa pun yang pernah memiliki atau menjumpai pengalaman serupa. 

Aurat merupakan bagian tubuh yang harus ditutupi baik oleh laki-laki maupun perempuan, dan karena itu menjadi salah satu rukun sahnya shalat. 

Aurat laki-laki meliputi bagian tubuh dari pusar hingga lutut. Sedangkan bagi perempuan, aurat adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. 

Dalam konteks gerakan sujud ketika shalat, belahan pantat termasuk bagian aurat yang harus ditutup. Maka siapa pun yang dengan sengaja membuka aurat ketika shalat, status ibadahnya adalah batal. 

Penjelasan ini pernah dipaparkan oleh Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala Madzâhib al-Arba’ah juz I, halaman 196:

 ولا بد من دوام ستر العورة ,المالكية قالوا : إن انكشاف العورة المغلظة في الصلاة مبطل لها مطلقا

“Harus melanggengkan menutup aurat. Madzhab Malikiyyah berpendapat: ‘Apabila yang terbuka adalah aurat mughalladloh [qubul atau dubur], maka batal secara mutlak.

Meskipun demikian, sebagian ulama berbeda pendapat tentang sejauh mana batas toleransi bagi seseorang yang tanpa sengaja auratnya terbuka ketika sedang melaksanaan ibadah shalat.  

Kondisi tersebut bisa disimak, misalnya, pada penjelasan Syekh Abu Bakar bin Muhammad Taqiyuddin dalam kitab Kifayah al-Akhyâr (Damaskus: Dar al-Khair), hal. 36.

Katanya, apabila aurat kita terbuka oleh angin, kemudian langsung ditutupi seketika, maka shalat kita tidaklah batal. Demikian juga apabila sarung atau baju terbelit dan menyingkap kemudian segera ditutup kembali, maka tidak batal.

وأما انكشاف العورة فإن كشفها عمدا بطلت صلاته وإن أعادها في الحال … وإن كشفها الريح فاستتر في الحال فلا تبطل وكذا لو انحل الإزار أو تكة اللباس فأعاده عن قرب فلا تبطل

Dengan demikian, ketika terbukanya aurat terjadi secara tidak sengaja atau karena tiupan angin dan segera ditutupi lagi, maka shalat kita tidak menjadi batal. 

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan makmum jika menjumpai imam shalat yang (dengan atau tanpa sengaja) kelihatan auratnya?

Sejauh penelusuran kami, belum ada tuntunan yang tegas menyebut tata cara mengingatkan imam yang kelihatan auratnya. 

Meskipun demikian, ada langkah taktis yang sebetulnya bisa diupayakan, yaitu dengan cara yang mungkin cukup ekstrem: mufaraqah atau berniat keluar dari jamaah. 

Hal ini juga berlaku jika kita menjumpai imam shalat jamaah di mushola umum yang memanjangkan bacaannya, sementara kita (sebagai makmum) berada dalam kondisi yang sedang terburu-buru (misalnya di bandara atau stasiun dengan pertimbangan akan ketinggalan pesawat atau kereta jika tetap meneruskan shalat jamaah dengan si imam yang berpanjang-panjang itu). 

Sebagai landasan, Habib Abdurrahman dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidiin menyebut, begini:

الْحَاصِلُ أَنَّ قَطْعَ الْقُدْوَةِ تَعْتَرِيْهِ اْلأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ وَاجِباً كَأَنْ رَأَى إِمَامَهُ مُتَلَبِّسًا بِمُبْطِلٍ وَسُنَّةٍ لِتَرْكِ اْلإِمَامِ سُنَّةً مَقْصُوْدَةً وَمُبَاحًا كَأَنْ طَوَّلَ اْلإِمَامُ وَمَكْرُوْهاً مُفَوِّتاً لِفَضِيْلَةِ الْجَمَاعَةِ إِنْ كَانَ لِغَيْرِ عُذْرٍ وَحَرَاماً إِنْ تَوَقَّفَ الشِّعَارُ عَلَيْهِ أَوْ وَجَبَتِ الْجَمَاعَةُ كَالْجُمْعَةِ

Kesimpulannya adalah bahwa memutus ikatan dengan imam memiliki lima hukum. Wajib, jika melihat imam melakukan perkara yang membatalkan shalat. Sunnah, karena imam meninggalkan perkara yang sangat disunnahkan. Mubah, jika imam memanjangkan shalat. Makruh dan bisa menggugurkan keutamaan berjemaah jika mufaraqah tanpa udzur. Haram, jika ada unsur syiar atau wajib berjamaah seperti shalat Jumat.

Sebagai catatan, niat keluar dari jama’ah atau mufaraqah itu tidak berarti seorang makmum mengulang shalatnya untuk kedua kali, tetapi sebatas niat keluar dengan tidak mengikuti ritme jama’ah. 

Caranya adalah tinggal melakukan niat mufaraqah di dalam hati, lalu meneruskan sisa rakaat shalat yang sedang dilakukan, dengan tidak mengikuti alur jama’ah. 

Adapun niat mufaraqah dari imam ketika shalat berjamaah adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ مُفَارَقَةَ اْلِامَامِ / نَوَيْتُ اْلمُفَارَقَةَ مِنَ اْلِامَامِ وَصَلَّيْتُ مُنْفَرِدًا

Nawaitu mufaroqotal imam / nawaitul mufaroqata minal imam wa shollaitu munfaridan.

Artinya: Aku berniat memisahkan diri dari imam dan aku shalat sendirian. Wallahu a’lam (HF/AK)