Tafsir Surat Al-Rahman Ayat 3-4: Ekspresi dan Bahasa Manusia

Tafsir Surat Al-Rahman Ayat 3-4: Ekspresi dan Bahasa Manusia

Tafsir Surat Al-Rahman Ayat 3-4: Ekspresi dan Bahasa Manusia
Kitab-kitab yang disusun rapi.

Pada artikel sebelumnya telah diterangkan bahwa bukti dari Maha Kasih Allah SWT adalah Dia menurukan nikmat dan anugerah terbesar berupa pengajaran al-Qur’an. Artikel ini masih menyambung dari bukti dari al-Rahman, Allah SWT yang Maha Pengasih adalah penciptaan manusia dan pengajarannya tentang al-Bayan. Allah SWT berfirman:

خَلَقَ الْإِنْسانَ () عَلَّمَهُ الْبَيانَ

Khalaqa al-insaan. ‘Allamahu al-bayaan.

Artinya:

“Dialah yang menciptakan manusia, mengajarnya ekspresi” (Q.S al-Rahman Ayat 3 – 4).

Terdapat perbedaan penafsiran di kalangan beberapa mufassir terutama ketika kita menyandingkan penafsiran terdahulu dengan penafsiran-penafsiran belakangan. Menurut para mufassir yang lebih dulu seperti al-Thabari, sebagaimana tercantum dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, kata al-Insan yang dimaksud dalam ayat ketiga di atas adalah Nabi Adam. Al-Thabari menyandarkan keterangan ini pada riwayat dari Qatadah. Akan tetapi al-Thabari pun menerangkan bahwa sebagian penafsiran yang lebih populer kata al-Insan ini dimaksudkan kepada manusia seluruhnya yang sesuai dengan makna dalam Q.S al-‘Ashr ayat 2 (inna al-insaana lafii khusr).

Kemudian terkait ayat kedua, Ibnu Jarir al-Thabari mengutip dua riwayat berbeda: pertama dari Qatadah yang memaknai al-bayan dengan “dunia-akhirat”, dan “baik-buruk”, kedua dari Ibnu Zaid memaknainya dengan bicara (al-kalam). Menurut al-Thabari al-bayan dapat ditafsirkan dengan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia terkait kebutuhan agama dan dunianya meliputi cara hidup, cara berpikir, pengetahuan tentang halal-haram dan sebagainya.

Sedikit berbeda dengan penafsiran al-Thabari di atas, Imam al-Qusyairi menerangkan bahwa kata al-bayan selain memang berlaku bagi seluruh manusia (al-insan) akan tetapi dapat pula dispesifikkan ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Menurut al-Qusyairi, manusia memang diajarkan al-bayan dalam bentuknya yang umum seperti cara hidup dan berbahasa. Namun bagi orang-orang beriman, ahli makrifat, dan ahli ibadah, Allah Swt mengajarkan pula dapat merasakan kehadiran-Nya melalui dzikir, hati, dan tangisan mereka.

Menurut al-Baidhawi, ayat ketiga dan keempat di atas menandakan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya di muka bumi yang tidak dikaruniai al-bayan, yaitu kemampuan berpikir untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Kemampuan berpikir ini, kata al-Baidhawi, juga ikut menunjang pemahaman manusia atas karunia al-Qur’an sebagaimana disinggung pada ayat kedua sebelumnya.

Dalam tafsir Kementerian Agama RI versi tahun 2010, ayat 3-4 menerangkan nikmat penciptaan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Manusia dijadikan tegak, otak yang dapat berpikir, tangan dapat merealisasikan apa yang dipikirkannya sehingga mampu menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, lidah dan segala organ yang menunjangnya dapat mengeluarkan bunyi yang dijadikan manusia untuk berkomunikasi. Darisini manusia mampu menghasilkan berbagai macam bahasa.

Senada dengan penafsiran Kementerian Agama di atas dalam Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, juga dijelaskan bahwa penciptaan manusia merupakan salah satu bentuk Rahmat Allah SWT bagi alam semesta. Menurut Hamka di antara banyaknya makhluk manusialah yang menjadi satu-satunya makhluk yang paling mulia sebagaimana tertera dalam Q.S al-Isra ayat 70. Adapun kata al-bayan menurut Buya Hamka adalah bahwa Allah SWT mengajarkan manusia untuk mengungkapkan isi hatinya dengan kata-kata. Artinya kata al-bayan ini adalah bahasa. Karena bagi Buya Hamka kemajuan bahasa berbanding lurus dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah memaknai kata al-bayan dengan ‘ekspresi’, makna yang lebih luas. Menurut Quraish, al-bayan tidak sebatas pada ucapan, tetapi mencakup segala bentuk ekspresi manusia termasuk seni dan raut muka. Bagi Quraish pengajaran al-bayan merupakan potensi dalam diri manusia dengan cara menjadikannya makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Karena kodrat inilah yang menjadikan manusia saling berhubungan satu sama lain, kemudian melahirkan bahasa, budaya tertentu, dan sebagainya.