Tafsir Surat al-Mu’minun Ayat 11 Tentang Kriteria Orang yang Layak Masuk Surga Firdaus

Tafsir Surat al-Mu’minun Ayat 11 Tentang Kriteria Orang yang Layak Masuk Surga Firdaus

Tafsir Surat al-Mu’minun Ayat 11 Tentang Kriteria Orang yang Layak Masuk Surga Firdaus
Al-Qur’an

Secara keseluruhan Q.S. Al-Mu’minun terdiri dari 118 ayat. Surat ke 23 dari 114 surat dalam Alquran dengan kategori surat Makkiyah. Menurut Muhammad Al-Ghazali, surat ini menjelasakan tentang adanya keterikatan yang kuat antara amal dan balasannya, mengarahkan orientasi pandangan kepada urusan akhirat, dan menenangkan jiwa. Selain itu, termasuk juga yang dihidangkan dalam surat ini adalah mereka yang akan mewarisi Surga Firdaus sebagaimana tercermin dalam 10 awal ayat pertamanya.

Menurut beberapa pendapat, 10 ayat pertama dari Q.S. Al-Mu’minun ini turun berkenaan dengan sebagaimana pendapat yang diriwayatkan Imam Ahmad. Imam Ahmad berkata, dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Zubair dari Abdurrahman bin Abdul Qari, ia mendengar Umar bin Khattab berkata bahwa pernah Nabi Saw. suatu ketika sampai terdengar di mukanya seperti lebah madu. Ia dan para sahabat lain mendoakan Nabi Saw. Nabi Saw. pun berkata: “Telah turun kepadaku sepuluh ayat, barangsiapa mengamalkannya maka dia akan masuk surga”.

1. Orang-orang yang khusyu’ dalam shalat.

Menurut Hamka, khusyu’ artinya ialah hati yang patuh dengan sikap badan yang tunduk. M. Quraish Shihab membuat perumpamaan yang cukup apik ketika menjelaskan persoalan khusyu’ ini. Menurutnya kewajiban shalat dan khusyu’ yang ditetapkan Allah dapat diibaratkan dengan kehadiran pada pameran lukisan. Banyak yang diundang hadir untuk menikmati keindahan lukisan dan bermacam-macam sikap mereka.

Ada yang hadir tanpa mengerti sedikit pun, apalagi menimkati lukisan; ada juga yang tidak mengerti tetapi berusaha mempelajari dan bertanya; ada lagi yang mengerti dan menikmatinya; dan ada pula yang demikian paham dan menikmati sehingga terpukau dan terpaku, tidak menyadari apa yang terjadi disekelilingnya. Dia benar-benar larut dalam kenikmatan.

Kekhusyu’an yang disebut ayat ini menurutnya bukanlah kekhusyu’an pada peringkatnya yang rendah karena yang dibicarakan oleh ayat ini adalah al-Mu’minun, yakni orang-orang yang telah mantap imannya, bukan alladzina amanu (orang-orang beriman) walau masih belum mantap.

2. Orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.

Ibn Katsir berpendapat bahwa menjauhkan diri dalam arti tersebut adalah menjauhkan diri dari kebatilan seperti syirik, kemaksiatan, dan hal-hal yang tidak berfaedah baik perkataan maupun perbuatan. Menurut Hamka, kata Al-Laghwi (dari kata Laghaa), berarti perbuatan atau kata-kata yang tidak ada faedahnya, tidak ada nilainya. Baik sendaugurau atau main-main yang tak ada ujung pangkalnya. Thahir Ibn Asyur sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab berpendapat bahwa persoalan Al-Laghw yang disebut setelah kekhusyu’an dalam shalat karena kekhusyu’an bertolak belakang dengan Al-Laghw.

Meski demikian, ini bukan berarti bahwa seorang mukmin harus selalu serius, tidak mengenal senyum atau canda. Nabi Sulaiman a.s. yang mendengar suara/ucapan semut dinyatakan dalam Q.S. An-Naml ayat 19 “Maka dia tersenyum tertawa mendengar ucapan semut”. Selain itu, menurut Aisyah r.a. Nabi Saw. adalah seorang yang sering tersenyum dan tertawa, bahkan tertawa sampai terlihat gigi geraham beliau, walau tidak terbahak dan tidak mengucapkan kecuali yang haq.

Konon, pernah suatu ketika seorang wanita tuda mendatangi Nabi Saw., memohon untuk didoakan agar masuk surga. Maka, Nabi Saw. bersabda: “Surga tidak dimasuki oleh wanita tua”. Wanita berteriak kecewa dan ketika itu Nabi Saw. tersenyum dan membacakan kepadanya firman Tuhan Q.S. Al-Waqi’ah ayat 35-38, “Sesungguhnya Kami jadikan mereka dengan langsung. Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya, untuk kelompok kanan (penghuni Surga)”.

3. Orang-orang yang menunaikan zakat.

Kata zakah atau zakat dalam bahasa Indonesia secara bahasa berarti suci dan berkembang. Menurut M. Quraish Shihab hal itu karena menafkahkan harta mengantar kepada kesuciannya dan kesucian jiwa penafkah. Di samping itu, ia juga menjadi penyebab bagi pengembangan harta.

Pentingnya menunaikan zakat umumnya didasarkan pada rukun Islam yang ketiga. Atas dalil itu, seluruh Muslim diwajibkan untuk menunaikan zakat. Belakangan, berdasarakan riset-riset yang cukup mendalam, zakat dapat menjadi salah satu pendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang cukup besar.

Iman yang mantap sebagaimana dikatakan M. Quraish Shihab akan mendorong penyandangnya untuk menafkahkan sebagian hartanya dan ini dapat mengantar masyarakat menikmati kecukupan bahkan kebahagiaan yang juga akan ikut berperan dalam kebahagiaan pemberi karena kesempurnaan kebahagiaan seseorang adalah keberadaannya di tengah masyarakat bahagia. Selain itu, zakat, sedekah, dan berbagai infak menurutnya juga mempererat hubungan sosial sehingga masing-masing anggita masyarakat merasakan dan bertanggung atas derita yang dialami oleh anggota lainnya.

4. Orang-orang yang menjaga kemaluannya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor yang mendominasi kebanyakan manusia adalah kebutuhan biologisnya. Di era sebelum Nabi diutus misalnya, kaum laki-laki dengan seenaknya menikahi perempuan. Bahkan konon, Umar pernah mengadu kepada Nabi karena batas waktu puasa yang begitu sempit sehingga ia tidak dapat menggauli sang Istri.

Menjaga kemaluan artinya adalah menjaga nikmat-nikmat biologis sebelum adanya ikatan yang sah yang diatur oleh agama. Hasrat biologis akan dapat saling tersalurkan hanya dalam sebuah naungan pernikahan. Agama tidak menafikkan akan kebutuhan manusia ini. Hanya saja, agama kemudian mengaturnya demi kebaikan bersama. Hampir-hampir tidak bisa dibayangkan akibatnya jika manusia melampiaskan hasrat biologisnya seenaknya sendiri dan meninggalkannya begitu saja.

5. Orang-orang yang memelihara amanat dan janjinya.

Ibn Katsir berpendapat bahwa jika mereka diserahi amanat, maka mereka tidak menghianatinya, namun menyampaikannya kepada yang berhak menerimanya. Jika mereka berjanji atau bertekad, maka mereka memenuhinya. Mereka tidak seperti kaum munafik yang apabila berkata berdusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila diserahi amanat berkhianat.

Kata ra’un yang berada diakhir ayat menurut M. Quraish Shihab terambil dari kata ra’iya yang berarti memperhatikan sesuatu sehingga tidak rusak, sia-sia, atau terbengkalai dengan jalan memelihara, membimbing, dan juga memperbaikinya bila terjadi kerusakan. Dari akar kata yang sama, lahirkata ra’iy, yakni penggembala, karena yang bersangkutan memberi perhatian kepada gembalaannya, memelihara dan membimbingnya sehingga tidak mengalami bencana. Kata itu dalam ayat ini dikaitakan dengan amanat dan janji. Dengan begitu berarti bahwa pelakunya memberi perhatian terhadap keduanya.

6. Orang-orang yang memelihara shalatnya.

Memelihara shalat menurut beberapa pendapat adalah menunaikan ibadah shalat tepat pada waktunya. Meski dalam beberapa situasi dan kondisi tertentu shalat masih memungkinkan untuk di jama’ misalnya, melaksanakan shalat tepat pada waktunya mungkin lebih dianjurkan.

Jika sembilan ayat pertama dalam Q.S. Al-Mu’minun menjelaskan sifat-sifat orang beriman, maka dua ayat setelahnya, yakni ayat kesepuluh dan ayat kesebelas menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus dan kekal di dalamnya. Firdaus adalah simbol dari tempat paling tertinggi di mana kenikmatakan yang kekal itu berada. Meraka menurut M. Quraish Shihab secara khusus akan berada di dalamnya, bukan di tempat lain, dan di sana mereka adalah orang-orang yang kekal dalam kenikmatan dan kebahagiaan.