Tafsir Ayat “Ibadur Rahman” (Bag.1): Kalau Gusti Allah Saja Welas Asih, Mengapa Ada Yang Berbuat Sebaliknya?

Tafsir Ayat “Ibadur Rahman” (Bag.1): Kalau Gusti Allah Saja Welas Asih, Mengapa Ada Yang Berbuat Sebaliknya?

Ayat ‘ibadur Rahman tersebut secara eksplisit-ekstrem menamsilkan parameter tinggi dalam sikap tawadhu hamba-Nya agar tetap bersikap baik kepada orang yang bahkan telah bersikap buruk.

Tafsir Ayat “Ibadur Rahman” (Bag.1): Kalau Gusti Allah Saja Welas Asih, Mengapa Ada Yang Berbuat Sebaliknya?

Habib Luthfi bin Yahya dalam sebuah pengajian Jumat Kliwon (2015) mengatakan bahwa tidak mungkin kita bisa mencintai Allah Swt dengan haq tanpa melalui jalan mencintai Rasulullah Saw. Mencintai Rasulullah Saw berarti mengikuti seluruh ajarannya, petunjuknya, tuntunannnya, mulai dari ha-hal terkait akidah, ibadah, hingga akhlak sosialnya secara komplit. Bisa pula ditambahkan hal-hal yang menjadi identitas dan kegemaran beliau sebagai manusia, misal memelihara jenggot, berbaju putih, bergamis, bersiwak, makan kurma, cuka, dan sebagainya. Silakan saja.

Akan tetapi, kita sepenuhnya mafhum secara rasional bahwa ittiba’ beliau ada yang berskala esensi (seperti akidah, ketakwaan, dan akhlak), dan ada pula yang “sekadar” berskala lahiriah-artifisial –sebagaimana contoh-contoh terakhir tadi. Tentu saja ittiba’ yang esensial lebih agung dibanding yang artifisial, kendati tidak boleh disangkal, apalagi dicemooh, kesahihan ittiba’ kepada hal-hal yang artifisial itu.

Dalam al-Qur’an, banyak betul ayat yang menunjuk kepada ajaran Allah Swt yang kemudian diajarkan dan dituntunkan langsung oleh Rasulullah Saw. Jika ayat-ayat tersebut dirangkai secara tematik, kita akan mendulang dua kerucut yang esensial, yakni hubungan dengan Allah Swt dan hubungan dengan sesama.

Dalam hubungan dengan Allah Swt, kerucutnya adalah beriman dengan haq kepada-Nya dan bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya. Itulah hamba yang hakiki –innal ladzina yahsyauna rabbahum bil ghaibi. Kemudian bila esensi pertama ini dilanjutkan kepada ranah kedua, hubungan dengan sesama manusia, kerucutnya adalah ihsan dengan buah akhlak karimah, etika sosial kemanusiaan –tak hanya antar-muslim, tapi juga antar-manusia.

Dan, yang memukau saya ialah persuaan hubungan pertama dan kedua itu dapat dikerucutkan pada satu ayat dalam surat al-Furqan ayat 63 ini: “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka pun mengatakan kata-kata yang baik.” –tentu tanpa bermaksud menegasi khazanah ayat-ayat lain yang setema, seperti surat Luqman ayat 18-19 dan al-Isra’ 37.

Kini akan saya tunjukkan beberapa perbandingan kajian dari khazanah Tafsir At-Thabari, Ibnu Katsir, Ibnu ‘Asyur, dan Prof. Quraish Shihab terhadap ayat ‘ibadur Rahman tersebut.

At-Thabari dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat tersebut memaksudkan sikap hidup hamba Allah Swt yang memancarkan sifat toleran, tenang, berwibawa, tidak sombong, tidak semena-mena, dan tidak berusaha membuat kerusakan dan kemaksiatan kepada Allah Swt di atasnya (muka bumi), peuh ketaatan dan rendah hati/diri (tawadhu’), serta tidak membalas kejahilan dengan kejahilan. Sesuai karakter khas tafsir At-Thabari, beliau menukil tak kurang dari 25 riwayat terkait hal tersebut.

Ibnu Katsir mengatakan dalam kitab tafsirnya bahwa sifat-sifat hamba Allah Swt ialah penuh kesenangan dan kewibawaan tanpa keangkuhan dan kesombongan. Mereka berjalan tanpa keangkuhan dan kesombongan, tanpa kekerasan dan kekejaman. Jika ada orang jahil yang merendahkan mereka dengan ucapan yang buruk, mereka tidak membalasnya dengan ucapan buruk serupa. Mereka justru memaafkan, membiarkan, dan tidak membalas perlakuan itu kecuali dengan kebaikan, sebagaimana Rasulullah Saw tidak membalas perbuatan jahil mereka kepadanya melainkan dengan kesabaran dan lemah lembut. Ada sejumlah riwayat yang dinikul Ibnu Katsir di sini yang juga dinukil oleh At-Thabari.

Ibnu ‘Asyur mengatakan dalam tafsirnya, Al-Tahrir wa al-Tanwir, bahwa “orang yang berjalan dengan haunan” ialah mereka yang berjalan dengan cara yang berkebalikan dengan cara berjalan orang-orang yang sombong dan ujub atas hawa nafsu dan kekuatan dirinya. Sikap haunan ini berakar pada tawadhu’ kepada Allah Swt dan memancar dalam akhlak yang semata beraras pada adab yang luhur pada dirinya yang sekaligus menghilanglah ciri orang jahil dari dirinya.

Lebih lanjut Ibnu ‘Asyur menerangkan empat pilar yang menjadi fondasi bagi pencapaian derajat haunan tersebut, yakni: pertama, berpijarnya diri dalam ajaran-ajaran agama, kedua, bersihnya diri dari segala macam perilaku buruk kaum musyrik, ketiga, jumeneng dan istiqamahnya diri dalam naungan syariat Islam, dan keempat, terus bergeraknya diri untuk meningkatkan derajat kesalehan melalui amal-amal kebaikan sepanjang hidupnya.

Prof. Quraish Shihab mengatakan dalam kitab tafsirnya, Al-Mishbah, bahwa salah satu dari bentuk kelemahlembutan dan kerendahan hati seorang hamba Allah Swt yang haq ialah tetapnya ia dalam sikap baik terhadap orang jahil. Orang jahil yang dimaksud bukan semata orang bodoh atau tidak tahu, melainkan meliputi orang yang kehilangan kontrol dirinya sehingga melakukan hak-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Istilah ini (jahil) juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai Ilahi.

Beliau lalu menukil ungkapan Imam Ghazali, bahwa buah yang dihasilkan dari peneladanan sifat ar-Rahman pada diri seseorang akan menjadikannya memercikkan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah Swt yang lengah dan ini mengantarnya mengalihkan mereka dari jalan kelengan menuju Allah Swt dengan memberinya nasihat secara lemah lembut, tidak dengan kekerasan. Dia akan memandang orang-orang berdosa dengan pandangan kasih –bukan dengan gangguan—serta menilai setiap kedurhakaan yang terjadi alam raya bagaikan kedurhakaan terhadap dirinya sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upaya pun untuk menghilangkannya sesuai kemampuannya sebagai pengejawantahan dari rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murkaNya dan kejauhan dari sisiNya.

Lalu Prof. Quraish Shihab mengatakan, seseorang yang menghayati bahwa Allah Swt adalah Rahman (Pemberi rahmat kepada makhluk-makhlukNya dalam kehidupan dunia) akan berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang sehingga menjadi ciri kepribadiannya, selanjutnya ia tak akan ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras, atau agama maupun tingkat keimanan serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain, baik yang hidup maupun yang mati. Ia akan menjadi bagaikan matahari yang tidak kikir atau bosan memancarkan cahaya dan kehangatannya kepada siapa pun di mana pun.

Sayyidina Imam Ja’far ash-Shadiq suatu kali memberikan nasihat berharga ini kepada  ‘Unwan yang datang kepadanya meminta nasihat: “Jika ada yang datang padamu lalu berkata, ‘jika engkau mengucapkan satu cercaan, engkau mendengar dariku sepuluh.’, jawablah, ‘Jika engkau memakiku sepuluh, engkau tak mendengar dariku walau cuma satu; jika engkau memakiku dan makianmu benar, aku bermohon semoga Tuhan mengampuniku, dan bila keliru, aku bermohon semoga Tuhan mengampunimu.’”

Prof. Quraish Shihab memungkasi keterangannya yang brilian  dengan kalimat:

“Kata atau kalimat buruk bagaikan indung telur. Menanggapinya sama dengan membuahi indung telur itu dengan sperma. Pertemuan keduanya melahirkan anak atau kalimat baru yang bernaka cucu. Ini melahirkan perang kata-kata yang mengakibatkan putusnya hubungan atau lahirnya kerusuhan dan perkelahian, atau paling tidak habisnya waktu dan terbuangnya energi secara sia-sia. Tetapi bila tak dijawab atau dibiarkan berlalu, itu berarti ia tidak dibuahi dan, dengan demikian, indung telur menjadi sia-sia persis seperti (darah) haid yang menjijikkan.”

Speechless….

Seluruh pandangan mufassir tersebut bertemu pada dua benang merah yang saling mengisi satu-sama lain (simbiosisi-mutualis) berikut:

Pertama, keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, serta tentu ittiba’ kepada sunnah Rasulullah Saw, merupakan fondasi rohani dan amaliah religius yang menjadi sumber bagi mata air-mata air ketundukan diri di hadapan-Nya. Tawadhu’ kepada Allah Swt atas karunia-Nya yang adigung dalam rupa iman dan takwa akan menjadikannya rendah hati, dengan selalu memandang diri tiada daya dan kuasa untuk meraih dua derajat tersebut jika bukan tanpa Welas Asih-Nya.

Kedua, semburat rohani tawadhu’ itu akan lebih lanjut mendorong diri kepada ucapan-ucapan dan perilaku-perilaku yang penuh kerendah-hatian (haunan) kepada sesama dan semua makhluk-Nya, bukan hanya kepada sesama muslim, tetapi juga mereka yang mungkar, serta beda keyakinan. Ayat ‘ibadur Rahman tersebut secara eksplisit-ekstrem menamsilkan parameter tinggi dalam sikap tawadhu’ hamba-Nya ini dengan tetap bersikap baik kepada orang yang bersikap buruk padanya.

Bayangkan! Jika kepada parameter akhlak dan etik setinggi itu tamsil kita diperintahkan-Nya, bukankah logikanya ialah tidak boleh ada alasan bagi kita untuk terjatuh mengambil dan melakukan sikap-sikap akhlak rendah di bawahnya?

Bersambung di Sini