Tafsir Ayat “Ibadur Rahman” (Bag.2): Kalau Gusti Allah Saja Welas Asih, Mengapa Ada Yang Berbuat Sebaliknya?

Tafsir Ayat “Ibadur Rahman” (Bag.2): Kalau Gusti Allah Saja Welas Asih, Mengapa Ada Yang Berbuat Sebaliknya?

Karena kita sangat haqqul yaqin bahwa Allah Swt Sang Maha Welas Asih, lantas di mana masuk akalnya bagi kita untuk bisa menampilkan sikap-sikap buruk kepada siapa pun yang belum tergolong sebagai hamba-hambaNya?

Tafsir Ayat “Ibadur Rahman” (Bag.2): Kalau Gusti Allah Saja Welas Asih, Mengapa Ada Yang Berbuat Sebaliknya?
Al-Qur’an

Menarik untuk lebih jauh saya wedarkan perihal lingkup makna Rahman dan Rahim pada sifat Allah Swt dan korelasinya dengan sikap keseharian kita di dunia ini.

Sifat Rahman sering diartikan “Pengasih”, sifat Rahim sering diartikan “Penyayang”. Memang bisa saja Rahman dan Rahim diartikan secara tekstual sebagai Pengasih atau Penyayang sekaligus atau salah satunya dengan urutan berbeda. Silakan saja, toh esensi maknanya sama saja. Pun sahih saja orang tetap menggunakan Rahman dan Rahim tanpa penerjemahan ke bahasa Indonesia, toh kita semua telah mafhum makna yang dimaksudkan.

Prof. Quraish Shihab menuliskan “hamba-hamba ar-Rahman” kepada “’ibadur Rahman” dalam surat Al-Furqan 63 tersebut. Begitupun kepada ayat 2 dari surat Al-Fatihah, beliau menuliskan “ar-Rahman ar-Rahim” saja.

Sifat Rahman Allah Swt merupakan Kekuasaan Allah Swt untuk mengaruniakan rahmat-Nya secara menyeluruh dan lengkap kepada seluruh makhluk-Nya tanpa kecuali, baik kalangan manusia yang saleh maupun mungkar, pula termasuk binatang, tumbuhan, batu, bintang, dan sebagainya. Tanpa kecuali. Seluruh makhluk-Nya mendapatkan karunia rahmat-Nya ini dengan menyeluruh dan lengkap, namun hanya terbatas di dunia. Maka dikatakan bahwa Rahman-Nya meliputi siapa pun di dunia ini.

Di titik ini kita lalu menjadi mafhum mengapa seseorang yang mungkar pada-Nya, ahli maksiat pula, bisa saja meraih kesuksesan materi dan bisnis di dalam kehidupannya. Mungkin pula kebahagiaan rumah tangganya. Status sosial, dan sebagainya. Ini bagian dari anugerah sifat Rahman-Nya. Begitupun sang mukmin, mendapatkan bagian rahmat Rahman pula dari-Nya.

Akan tetapi, inilah lalu beda tegasnya, bagi kaum mukmin, kehidupan dunia bukanlah segalanya. Sehingga seluruh kenikmatan materi apa pun selama hidup di dunia bukanlah tujuan hidupnya yang pokok. Sesempurna apa pun kehidupannya di dunia–yang merupakan rahmat Rahman-Nya—hanyalah kesementaraan, bukan keberlanjutan.

Tepat pada posisi inilah sifat Rahim Allah Swt menajdi Kekuasaan-Nya yang semata diberikan kepada kaum mukmin tersebut. Rahim adalah sifat-Nya merahmati secara amat sempurna, paripurna, dan berkesinambungan.

Manusia yang mendapatkan ridha ampunan Allah Swt di hisab akhirat kelak berkat iman dan takwanya selama hidup di dunia atau karunia syafaat Rasul-Nya Saw menandakan ia bagian dari kaum yang dirahimi-Nya. Maka dalam banyak ayat al-Qur’an, banyak dikatakan dalam redaksi “la’allakum turhamun, (semoga kalian dirahmatiNya)”

Sifat Rahim ini kiranya bisa diluaskan lagi pemahamannya sebagai kerahmatan yang melampaui kerahmatan Rahman tadi. Kita bisa membuat ilustrasi analogis begini.

Sejoli yang baru sebulan melangsungkan pernikahan akan hidup dalam kebahagiaan pernikahannya. Mereka makin saling mencintai dan memperhatikan satu sama lain. Juga saling mendahulukan pasangannya. Inilah kerahmatan cinta dan pernikahan.

Seiring usia pernikahan, seiring dengan lahirnya anak-anak, lalu tumbuh-besarnya mereka hingga menjalani jalan hidup masing-masing dan mungkin meninggalkan rumah, orangtuanya, pancaran rahmat pernikahan itu telah jauh beranjak dari cinta kasih yang mulanya banyak berkaitan dengan hak-hal lahiriah menuju cinta kasih yang rahim (rahmah)–yakni jangkauannya telah mbalungi, menep-madep-mantep, atau menyamudra tanpa batas lagi.

Maaf kata, pasangan baru kiranya akan mengalami rasa risih bila pasangannya buang angin di depannya; tetapi sebaliknya, pasangan yang telah berpuluh-puluh tahun bersama sungguh telah jauh melampaui hal-hal artifisial begitu. Kerahmatan mereka telah sungguh-sungguh menyamudra, hingga dapat dikatakan “manunggaling aku adalah kamu dan kamu adalah aku”.

Begitupun rahmat dari Kerahiman Allah Swt menaungi, membungkus, dan meliputi segala bentuk nikmat rahmat Kerahmanan itu. Karena Kerahiman ini hanya dikaruniakan-Nya kepada kelompok mukmin, sungguh masuk akal untuk dimengerti mengapa sekecil dan seterbatas apa pun nikmat rahmat materi yang diberikan Allah Swt kepada hamba-Nya yang mukmin dan saleh takkan mengurangi samudera syukur dan tasybihnya kepada Allah Swt yang Maha Dicintainya. Logis dikatakan “la khaufun ‘alaihim wala hum yahzanun, tiada rasa takut dan sedih dalam hidupnya.”

Dengan keyakinan rohani yang kokoh begini, sang mukmin niscaya semata memandang kehidupan akhiratlah yang menjadi cita-cita dan tujuannya yang utama, dengan berharap dan memohon selalu dihujani Kerahiman-Nya. Adapun segala rahmat dalam kehidupan dunia dipandangnya sebagai tajalli Kebesaran-Nya melalui karunia Kerahmanan-Nya.

Rahman, dengan demikian, merupakan gambaran bahwa Tuhan senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa pun dan itu tentu saja terserah Allah Swt semata, sedang Rahim merupakan gambaran bahwa Tuhan memiliki sifat Rahmat yang melekat pada diri-Nya.

Bukankah impian teragung sang mukmin tiada lain adalah perjumpaan dengan Tuhan Yang Maha Rahim, sehingga dengan impian teragung tersebut ia akan istiqamah menjalankan titah-Nya untuk terus-menerus mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun? (faman kana yarju liqa-a rabbihi falya’mal ‘amalan shalihan wala yusyrik bi’ibadati rahhi ahada)

Mari kini korelasikan ulasan tersebut dengan sifat-sifat mukmin di dunia ini yang semata beraras kepada kemaslahatan cum akhlak karimah. Kita bisa bertanya dengan kritis di sini: “Karena kita sangat meyakini haqqul yaqin bahwa Allah Swt Sang Maha Rahman mengaruniakan rahmat-Nya kepada semua makhluk-Nya tanpa kecuali, termasuk mereka yang ingkar dan maksiat kepada-Nya, serta rahmat Rahim-Nya hanya akan dikaruniakan kepada hamba-hamba-Nya di kehidupan akhirat yang abadi dan hakiki kelak, lantas di mana masuk akalnya bagi kita untuk bisa menampilkan sikap-sikap buruk kepada siapa pun yang belum tergolong kepada hamba-hambaNya?”

Saya kira tak lagi ada ruang alasannya.