Dalam beberapa hal kita sering salah sangka, mengira sesuatu yang identik sebagai bagian atau keharusan. Contohnya jubah dan surban. Beberapa orang mengira bahwa memakai surban dan jubah adalah lambang keislaman. Pakaian yang sering digunakan oleh ulama adalah jubah dan surban, sehingga kepala kita menyimpan memori bahwa setiap orang yang memakai dua pakaian ini otomatis kita anggap sebagai ulama.
Seorang ulama besar asal Mesir, lahir tahun 1917 M, ahli fikih dan hadis, serta menjadi dosen di Al-Azhar, Syekh Muhammad al-Ghazali menolak presepsi tersebut. Dalam bukunya yang berjudul as-Sunnah an-Nabawiyah Baina Ahlil Fiqh wal Hadis menjelaskan secara gamblang dua pakaian yang dianggap pakaian sunnah ini. Bahkan Muhammad al-Ghazali juga menjelaskan secara terang benderang hadis tentang surban dan pakaian sunnah lain.
Yang perlu diketahui pembaca saat membaca artikel ini adalah bahwa Muhammad al-Ghazali dalam artikel ini berbeda dengan Imam al-Ghazali yang menulis kitab Ihya Ulumuddin. Hal ini penting diketahui agar para pembaca tidak salah sangka dan salah faham, serta menyamakan kedua tokoh ini.
Muhammad al-Ghazali menjelaskan bahwa hadis tentang surban adalah tanda pengenal malaikat yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi bukanlah hadis sahih. Ia juga menuturkan bahwa hadis-hadis lain tentang surban yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam at-Tirmidzi juga sama.
“Serban adalah pakaian bangsa Arab, bukan lambang keislaman,” tutur murid mantan Grand Syekh al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut ini dalam bukunya.
Menurut Syekh Muhammad al-Ghazali, orang Arab saat itu menggunakan surban karena kondisi iklim yang sangat panas dan mengharuskan mereka menggunakan pakaian itu, selain itu mereka juga menggunakan pakaian berwarna putih dan agak longgar seperti jubah.
Hal ini berbeda bagi orang yang berada di tempat beriklim dingin. Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang tinggal di iklim dingin akan cenderung menggunakan baju ketat dan berwarna hitam.
Muhammad al-Ghazali melanjutkan bahwa pakaian muslim adalah pakaian yang terbebas dari kesombongan dan pemborosan. Dasar ulama al-Azhar ini diambil dari sebuah hadis Rasul lain: “Makanlah apa yang kau ingini dan kenakanlah pakaian yang kau inginkan asalkan terhindar dari kesombongan dan pemborosan.”
Adapun redaksi lengkap hadisnya seperti berikut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((كلوا واشربوا وتصدقوا والبسوا ما لم يخالطه إسراف، أو مخيلة))
“Rasulullah SAW bersabda, “Makanlah, minumlah, bersedekahlah, berpakaianlah selama tidak boros dan sombong.”
Hadis tersebut bisa dilacak dalam kitab Sunan Ibn Majjah dan Sunan an-Nasai. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hadis di atas adalah Rasul membolehkan kita makan apapun yang kita inginkan, sedekah, atau pakaian apapun asalkan tidak terhindar dari sombong dan pemborosan.
Dalam hal pakaian, mungkin juga perlu ditambahkan konsep pakaian ala Syekh Ali Mustafa Yaqub, yaitu dengan 4T: (tutup aurat, tidak terlalu ketat, tidak menyerupai lawan jenis, dan tidak
Menurut Syekh Muhammad al-Ghazali, anggapan bahwa jubah dan surban pakaian muslim sedangkan celana pakaian orang kafir adalah salah besar.
“Sebagian di antara pemuda mengira (secara keliru) bahwa jubah adalah pakaian dan seragam Islam, bahwa setelan baju dan celana adalah pakaian kafir. Pendapat seperti ini keliru,” terang Muhammad al-Ghazali. (AN)