Zina merupakan sebuah dosa besar yang mana syariat islam sangat mewanti-wanti untuk meninggalkannya, bahkan mendekatinya pun tidak diperkenankan. Ada ancaman hukuman yang sangat besar bagi pelaku zina, yakni jika dia ghairu muhsan (belum pernah terikat akad nikah), hukumannya adalah cambuk 100 kali dan diusir dari tempat asalnya, dan jika dia muhsan, maka hukumannya adalah dirajam hingga mati. Meski demikian, ternyata dalam pelaksanaan hukuman zina tersebut ada beberapa kesulitan dalam pelaksanaannya.
Syarat Pelaksanaan Hukuman Zina
Ada beberapa persayaratan yang mesti dipenuhi untuk terselenggaranya pelaksanaan hukuman zina. Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, dalam kitab Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz VIII, hal. 60 menyebutkan beberapa persyaratan tersebut yakni:
Pertama, taklif (terbebani hukum), yakni pelaku zina tersebut baligh dan berakal, sehingga jika pelaku zina masih kanak-kanak atau gila, maka ia tidak bisa dihadd.
Kedua, melakukan zina tidak dalam keadaan terpaksa.
Ketiga, tidak adanya syubhat dalam zina tersebut. Seperti misalkan seseorang mengaku menyetubuhi wanita yang tidak halal baginya dengan dalih bahwa ia melakukannya dalam kegelapan, menyangka bahwa itu adalah istrinya, namun nyatanya bukan.
Keempat, telah ditetapkannya zina, yakni dengan pengakuan maupun dengan persaksian.
Menarik untuk dibahas bahwa pada point keempat, zina hanya bisa terlaksana apabila adanya pengakuan dari si pezina atau adanya persaksian. Anehnya, bagi seseorang yang telah melakukan tindakan zina, malah dianjurkan agar tidak usah mengaku, dan sebaliknya seorang hakim yang menerima pengakuan zina, sebaiknya menyarankan agar si pengaku menarik kembali ucapannya. Hal ini bisa kita simak dalam sebuah hadits:
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: لما أتى ماعز بن مالك إلى النبي – صلى الله عليه وسلم – قال له: “لعلك قبلت أو غمزت أو نظرت”، قال: لا يا رسول الله.
Artinya: “Dari Ibnu Abbas RA, beliau berkata: “Ketika Ma’iz bin Malik datang kepada Nabi SAW, Nabi berkata: “Barangkali engaku hanya berciuman, saling mengedipkan mata, dan saling berpandangan”. Ma’iz berkata: “Tidak, wahai Rasulullah”.
Dari redaksi diatas, tentu saja tidak mungkin Nabi berkata demikian apabila tidak ada tawaran dari Nabi agar si pelaku menarik kembali pengakuannya. Dan jika pengakuan tersebut ditarik kembali, maka pelaksanaan hadd zina tidak bisa diberlangsungkan.
Sementara untuk persaksian, hadd zina hanya bisa dilaksanakan apabila ada empat orang saksi yang kesemuanya lelaki, kesemuanya melihat secara langsung tanpa lewat perantara semisal cermin dan tak boleh terhalang semacam tirai, menyaksikan proses keluar masuknya alat kelamin lelaki ke dalam alat kelamin perempuan.
Jadi sekali lagi, harus empat lelaki, semuanya melihat secara langsung proses keluar masuknya. Pertanyaannya adalah, apakah itu mungkin?
Bumerang Laporan Persaksian Zina
Jika seseorang, mengaku telah menyaksikan sebuah perzinaan, sementara dia terlanjur menyampaikan persaksiannya, namun tidak mampu menghadirkan empat orang saksi sebagaimana ketentuan diatas, maka justru tuduhan akan berbalik kepada diri si pelapor karena dianggap telah melakukan qadf, yakni menuduh orang lain berbuat zina tanpa mampu menghadirkan saksi. Ia diancam hukuman 80 kali cambuk. Ini pernah terjadi pada sebuah negara yang memberlakukan syariat islam, dimana ketika ada seorang perempuan korban pemerkosaan yang lapor kepada polisi, ia malah dihukum cambuk 80 kali karena ia tak mampu menghadirkan saksi. Sudah jadi korban pemerkosaan, tambah dihukum cambuk pula?
Artinya dalam hal ini, sama sekali penulis tidak bermaksud mengajak pembaca untuk menjadi pezina, dan sesudah itu tidak usah mengaku. Aman. Bukan, sama sekali bukan itu yang dikehendaki penulis.
Maksud penulis adalah bahwa ada sesuatu yang belum tuntas dalam persoalan hadd zina ini. Ketentuan tersebut ketika diberlakukan malah bisa-bisa menjadi hal yang memberatkan bagi si korban ketika perzinaan yang terjadi adalah dengan cara paksa (baca: pemerkosaan).
Sebaiknya hal ini menjadi PR kita bersama, agar bisa menjadikan fatwa fikih terserap dengan baik menjadi sebuah legislasi yang mengakomodir kepentingan semua pihak demi menciptakan kemaslahatan bersama. Jadi, jangan asal semangat mengusung legislasi hukum islam ke dalam hukum nasional, tetapi juga harus dibarengi dengan pertimbangan lainnya seperti hak kemanusiaan, sosial, dan kemasyarakatan.