Sudah Masuk Nisfu Sya’ban tapi Masih Punya Hutang Puasa

Sudah Masuk Nisfu Sya’ban tapi Masih Punya Hutang Puasa

Sudah Masuk Nisfu Sya’ban tapi Masih Punya Hutang Puasa

Di saat orang-orang bergembira menyambut malam Nisfu Sya’ban, ada seorang ibu yang justru mengeluh sedih. Setelah ditelusuri musababnya ternyata ibu itu masih punya tanggungan menyahur puasa Ramadhan yang lalu karena faktor hamil dan melahirkan. Total hutang puasanya 29 hari dan baru dilunasi 25 hari.

Pantas saja ibu itu bersedih sebab ia meninggalkan puasa lebih dari lima belas hari. Padahal dalam Hasyiyah Al-Bajuri (juz 1 hal. 425) dijelaskan perempuan yang meninggalkan puasa lebih dari 15 hari (batas waktu maksimal haidh) maka selain ia wajib qadha juga wajib bayar fidyah. Ibu itu tidak puasa 29 hari berarti 14 harinya juga dituntut membayar fidyah.

Apa Ibu itu sudah memberi makan 14 fakir miskin sebagai fidyah tidak puasa 14 dari total 29 hari? Ternyata ibu itu belum pernah tahu penjelasan hukum ini. Kalau begitu, sang ibu harus membayar fidyah 14 hari dulu.

Namun demikian, kembali pada masalah awal, bolehkan meng-qadha’ puasa yang tersisa dalam  rentang waktu lima belas hari terakhir bulan Sya’ban? Di dalam penjelasan kitab-kitab fiqh ada keterangan keharaman puasa di hari-hari terakhir Sya’ban. Yakni yang disebut yaumus-syak (hari yang diragukan) antara masuk hitungan Sya’ban atau Ramadhon.

Imam Abu Dawud dalam kitabnya (no. 2334) dan Imam Tirmidzi dalam kitabnya (no. 686) meriwayatkan hadits dari Sahabat Amar b. Yasar. Beliau meriwayatkan dari Rasulullah Saw: “Barangsiapa puasa pada hari yang diragukan oleh banyak orang maka dianggap melawan ayah sayyidina Qasim (Nabi Mihammad Saw).

Berdasarkan hadits ini ulama sepakat mengharamkan –minimal hukumnya makruh tanzih– menjalankan puasa pada yaumus-syak. Terkecuali jika seseorang itu memiliki kebiasaan berpuasa di hari-hari biasa secara berkesinambungan.

Bahkan dalam mazhab Syafii keharaman (makruh tanzih) puasa itu juga berlaku pada hari-hari lain sesudah jatuhnya malam nisfu Sya’ban. Dengan catatan nisfu Sya’ban dihitung mulai tanggal 16 bukan tanggal 15. Pendapat ulama Syafiiyah ini juga didukung dalil berupa hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurarirah.

Rasulullah bersabda: “Jika telah masuk separuh akhir bulan Sya’ban maka kalian jangan berpuasa.” (HR. Abu Dawud (no. 2337) dan HR. Tirmidzi (no. 738). Selain hadits ini juga ada riwayat Ibnu Majah (no. 1651), bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika telah masuk separuh akhir bulan Sya’ban maka tidak ada puasa sampai datang bulan Ramadhan.”

Jadi berdasarkan hadits ini, puasa yang dilakukan pada 15 hari terakhir bulan Sya’ban tidak diperbolehkan. Hanya saja bagaimana dengan kaum ibu yang masih punya hutang puasa? Bagaimana kalau puasa qada itu dianggap berkesinambungan dengan puasa qadha yang dijalankan sebelum separuh hari terakhir Sya’ban?

Di dalam kitab Syarh Safinatun Naja karya ulama Nusantara, Syekh Nawawi dijelaskan (hal. 114): “dan haram membatalkan puasa bagi orang yang sehat dan tidak bepergian, sementara ia masih punya kewajiban meng-qada’ puasa Ramadhan  sampai mepet waktunya (di akhir Sya’ban). Artinya menurut Syekh Nawawi Banten masih dibolehlan qada puasa setelah nisfu Sya’ban.

Kenapa beliau membolehkan qada puasa di waktu tahrim? Sebab puasa qada dimasukkan kebiasaan (adat). Lebih lanjut Syekh Nawawi mengutip hadits yang diriwayatkan Imam al-Daruquthni dan al-Baihaqi. Sabda Rasulullah: “Barangsiapa menjumpai bulan Ramadan tapi dia batal puasa karena sakit, lalu sembuh, namun ia tidak menjalankan puasa sampai datang Ramadhan pada tahun berikutnya; maka orang itu wajib berpuasa di sisa-sisa harinya dan meng-qada puasanya serta memberikan makan kepada seorang miskin setiap harinya.”

Tapi jika para ibu masih ragu tentang hukum qada puasa di waktu hirman (haram) dan punya keyakinan seluruh amal setahun sudah dilaporkan di malam nisfu Sa’ban, maka para ibu tak perlu bersedih. Silahkan puasanya diqadha berikut bayar fidyahnya sesudah lebaran sebab hitung puasa tahun ini dibayar tahun depan.

Jangan lupa sisa hutang puasanya dijumlahkan dengan qadha puasa Ramadhan yang sebentar lagi datang. Koq begitu? Ya, karena kemungkinan besar di Ramadhan yang akan datang itu para ibu dan perempuan umumnya mengalami datang bulan.