Sistem Khilafah Tidak Bisa Menunjukkan Perdamaian

Sistem Khilafah Tidak Bisa Menunjukkan Perdamaian

Sistem Khilafah Tidak Bisa Menunjukkan Perdamaian
Nabi Muhammad saw bersabda: “setiap kalian adalah penggembala, dan seorang penggembala akan ditanya tentang gembalaannya” (kullukum ra’in wa kullu ra’in mas’ulun ‘an ra’iyyatihi), dan ini merupakan landasan moral bagi setiap warga negara untuk mempertanyakan orientasi dan teori pembangunan nasional yang dipakai di negara-nya.

Negara-negara yang mayoritas memeluk agama Islam sudah semestinya memiliki konsep tentang perpaduan Islam dan Negara. Ini akan terlihat ketika kita membandingkan konsep agama dan negara di Suriah, Iran, Mesir, dan Indonesia. Semua negara ini memiliki ciri khas tertentu dalam merumuskan konsep hubungan tersebut.

Indonesia misalnya, sejak dirumuskannya Pancasila dan UUD 1945 banyak menuai perdebatan. Apakah Islam yang akan menjadi dasar negara, atau Islam dan agama lainnya akan menjadi perkakas dalam negara. Meskipun pada awalnya para pejuang sudah menetapkan sila pertama Pancasila disertai dengan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya), namun pada tanggal 18 Agustus 1945 melalui sidang pertama PPKI tujuh kata itu dihapus dan menjadi Pancasila yang kita tahu saat ini.

Dihapuskannya tujuh kata ini untuk menghindari terjadinya politik identitas di kubu Islam. Jika politik identitas ini sudah mengakar maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi agama-negara, seperti di negara-negara Islam lainnya. Dengan dihapuskannya tujuh kata ini, yang semula mengindikasikan adanya politik identitas berubah ke arah negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan.

Diterimanya penghapusan tujuh kata ini tidak meninggalkan esensi dari Islam. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini menurut Gus Sholah (adik Gus Dur) menunjukkan ketauhidan dalam Islam. Tauhid menjadi pelajaran yang harus kita patuhi bagi umat Islam. Sebab, dengan bertauhid atau mengakui Tuhan itu akan menjadikan diri kita memiliki tanggung jawab dalam beragama. Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Perintah itu jika dijalankan dengan penuh keyakinan maka seluruh tindak kriminal dan kejahatan lainnya tidak akan terjadi. Di sinilah letak agama menjadi perkakas negara. Agama memiliki sistem nilai yang menuntut umat beragama untuk memiliki etika dan moral. Dengan kata lain, adanya saling ketergantungan antara agama dan negara dalam konsep Ketuhanan yang Maha Esa.

Hingga sekarang tesis ini masih terbukti keberhasilannya. Jika kita lihat di negara-negara berbasis agama seperti Suriah, saat ini negara tersebut terjadi perang sipil. Perang untuk memperebutkan kekuasaan. Negara yang awalnya damai dengan sistem sosialisnya berubah menjadi medan pertempuran semenjak diganti menjadi sistem Khilafah.

Itulah sebabnya kenapa saat ini para ulama kita seperti Gus Sholah, Buya Syafii, Gus Mus, dan seterusnya tidak menginginkan negara yang penuh peperangan. Bagi mereka, jika Pancasila hingga saat ini sudah terbukti kenyataannya kenapa  itu ingin diganti dengan negara Islam seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Negara Islam yang mereka inginkan sudah terbukti tidak berdaya dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan seperti di Suriah.

Menurut Gus Sholah, memilih Pancasila sebagai dasar negara ini dilandaskan pada kaidah dar ul mafasidi aula min jalbi al masholihi (mencegah kemudharatan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan). Pancasila sudah terbukti bisa mencegah kemudharatan seperti perang sipil. Namun sistem khilafah tidak bisa menunjukkan perdamaian di dalamnya seperti di Suriah.

Itulah alasan mengapa kita harus mempertahankan Pancasila dan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara. Sebab, belajar dari negara tetangga, sistem negara-agama itu tidak menjamin keberhasilan dalam mencegah peperangan dan itu akan merusak citra Islam sebagai agama yang penuh kedamaian. Wallahhua’lam.

Muhammad Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami.co Institute dan Gusdurian Jogja.