Setengah Muslim Indonesia Masih Belum Bisa Baca Al-Quran

Setengah Muslim Indonesia Masih Belum Bisa Baca Al-Quran

Jangankan memahami dan menghafal Al-Quran, setengah lebih muslim Indonesia saja masih

Setengah Muslim Indonesia Masih Belum Bisa Baca Al-Quran
Ilustrasi doa setelah baca Al-Quran (Foto: Freepik)

Salah satu teman saya mengunggah gambar tentang betapa pentingnya memahami Al-Quran di status Whatsappnya. Saya pribadi sering membunuh waktu senggang untuk melihat unggahan-unggahannya di media sosial. Dia memang progresif, apalagi soal studi Al-Quran.

“Ini cantik dan berani!” begitu kesan pertama saya saat melihat unggahannya di muka. Unggahan tersebut berisi tulisan Arab, terjemahan bahasa Indonesia-nya, dan sumber. Konten dari unggahan tidak lain adalah kutipan dari pernyataan Sahabat Abu Bakar al-Siddiq yang sempat dirujuk oleh Sayyid Muhammad bin Alawiy al-Maliki dalam Al-Qawaid al-Asasiyah fi Ulum al-Quran.

Terjemahan yang ditampilkan bertuliskan seperti ini, “Bisa memahami (menjelaskan/mengamalkan) satu ayat Al-Quran lebih saya sukai daripada menghafalkan satu ayat”.

Dalam pemahaman sekilas, saya sepakat. Praktik (amal) betapa pun lebih bisa berdampak nyata secara sosial dan praktik yang baik adalah yang didahului oleh pemahaman yang baik. Jadi, fasenya adalah kita memahami Al-Quran dulu, baru mencoba mengamalkan. Unggahan teman saya tadi mewakili ide ini.

Namun, jika kita mundur beberapa langkah dan menanyakan lebih dalam, penampakannya berbeda. Hasil riset yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), seperti yang disampaikan sendiri oleh Prof. Nasaruddin Umar, Rektor PTIQ, ketika ditanya oleh redaktur Republika.co.id pada Januari 2018, mencatat bahwa sekitar 65 persen masyarakat Indonesia masih belum bica membaca Al-Quran. Angka tersebut sudah melebihi separuh jumlah dari warga Indonesia.

Data yang lain muncul dari (Badan Pusat Statistik) BPS. Pada tahun 2013, BPS menyebutkan ada 54 persen dari total populasi Muslim di Indonesia masih buta aksara Al-Quran. Lagi-lagi, angkanya melebihi separuh jumlah.

Sampai di sini, mari kita renungkan kembali, bagaimana perasaan kita saat sudah membahas “pengamalan” Al-Quran, tetapi di level “pemahaman” saja kita masih belum selesai? Alih-alih “pemahaman”, membaca dengan baik saja, seperti disebutkan dalam data, kita masih rentan?

Ketika sampai pada pertanyaan ini, setibanya saya teringat Descartes beberapa abad silam di Prancis. Dalam catatannya, The Principle of Philosophy, filsuf yang sejak lahir sudah piatu itu menjelaskan bahwa ada satu hal krusial yang mandasari segala perilaku manusia (virtue) baik sebagai individu atau anggota masyarakat, yakni kesadaran (conscious).

Kesadaran adalah hasil dari upaya seseorang untuk senantiasa mencoba berpikir serta berimajinasi ke dalam. Berpikir tentang siapa dirinya, apa yang sedang terjadi dengannya, mengapa melakukan ini, mengapa memilih itu, mengapa harus bersikap begitu, mengapa harus mengikuti sesuatu, dan bahkan mengapa dia harus ikut.

Biasanya ketika sudah masuk dalam rimba pertanyaan tersebut, seseorang akan dihantam oleh keraguan dari berbagai arah yang pada setiap celah dari setiap hantaman itulah, kesadaran bersemayam. Orang yang berhasil menemukannya, lanjut Descartes, maka saat itulah ia mengenal dirinya. Ia merasakan “eksistensinya”.

Dalam kasus pemahaman atas Al-Quran di atas, saya rasa isu yang lebih kontekstual hari ini di Indonesia untuk didiskusikan terlebih dulu adalah bagaimana memunculkan kesadaran dalam diri kita atas krusialnya posisi Al-Quran bagi kehidupan muslim, bagaimana menyituasikan Al-Quran sebagai subjek eksistensi, dan semacamnya. Jika, bawah sadar kita saja menganggap Al-Quran bukanlah sebagai apa pun kecuali saat Ramadan, lalu bagaimana kita bisa mau membacanya secara rutin, bagaimana kita bisa tidak enggan memahaminya, serta bagaimana kita bisa sampai pada titik pengamalan.

Jika meminjam semboyan dari Muhammad Syahrur—dalam al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’asirah—barangkali yang lebih sesuai untuk dilakukan sekarang yaitu bagaimana kita bisa menempatkan Al-Quran di posisi baru saja diturunkan kemarin. Di posisi bahwa kita ini bagian dari masyarakat muslim generasi awal dan turut merasakan apa yang menjadi pengalaman langsung Sahabat Abu Bakar, sehingga tentu dalam situasi demikian, Al-Quran adalah hidup ini sendiri. Walhasil, jika sudah begini, otomatis aktivitas untuk membaca Al-Quran, memahami, dan sekaligus mengamalkannya akan menjadi sesuatu yang ringan seperti cuitan-cuitan warganet di Twitter. (AN)

Wallahu A’lam.