INI tidak mungkin terjadi dalam masyarakat beradab: seorang dokter muda, sedang menempuh program pendidikan dokter spesialis, terjebak dalam kegelapan sempurna tanpa pernah melihat cahaya di ujung lorong. Namun ini terjadi pada dr. Aulia Risma Lestari, mahasiswa kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Ia baru 30 tahun, seharusnya punya masa depan yang baik, tetapi ia tersiksa di tempat ia seharusnya menjadi penyelamat bagi para pasien, bukan menjadi korban.
Dalam catatan hariannya, ia mengeluhkan rasa sakit yang tak tertahankan, yang berasal dari beban kerja yang seolah ditimbunkan kepadanya, dan juga dari perlakuan buruk seniornya. “Aku ingin berhenti,” tulisnya. Jeritannya tak didengar oleh siapa pun, tak dijawab oleh siapa pun.
Ia harus selalu bekerja hingga larut malam, merasakan punggungnya sakit setiap kali pulang, bukan karena duduk atau berdiri terlalu lama, tetapi karena beban yang begitu berat. Ia tersiksa secara fisik; ia tersiksa secara mental. Di ponselnya ia merekam pengakuan:
“Tiap aku bangun tidur badan sakit semua, punggung sakit semua. Bangun harus pelan-pelan, kalau nggak pelan-pelan aku nggak bisa bangun, Pah.”
Aulia Risma, orang yang seharusnya memberi harapan kepada para pasiennya, akhirnya menyerah pada rasa sakit yang tak terlihat, pada tekanan batin yang terlalu berat untuk ia tanggung.
Di permukaan, kita kehilangan satu nyawa, tetapi di bagian terdalam, kita melihat sesuatu yang membunuh harapan, menghilangkan kepercayaan, dan menginjak-injak martabat manusia, di tempat yang seharusnya paling melindungi—sebuah institusi pendidikan.
*
Perundungan oleh senior, yang dalam sejumlah kasus sampai menghilangkan nyawa, adalah hal yang berulang kali terjadi, di berbagai institusi pendidikan. Praktik ini lahir dari tradisi hierarkis yang kuat, di mana senior memiliki kekuasaan besar atas junior, dan mereka menyalahgunakannya. Kedudukan senior seperti memberi mereka hak untuk melakukan bullying sebagai cara untuk “menguji” ketahanan atau kemampuan junior, sebuah praktik yang dianggap sebagai bagian dari tradisi atau “rite of passage.”
Jika itu terjadi di fakultas kedokteran, yang melibatkan praktik di rumah sakit, efeknya saya pikir bisa lebih menakutkan. Ia tidak hanya membahayakan korban perundungan secara mental dan emosional, tetapi juga memiliki implikasi serius terhadap pasien yang harus mereka tangani. Korban perundungan sering kali mengalami stres berat, depresi, dan kecemasan.
Kondisi mental yang terganggu oleh dokter bisa meningkatkan risiko kesalahan medis dan itu berpotensi membahayakan keselamatan pasien.
Lingkaran kekerasan ini akan terus berulang dalam situasi kurangnya pengawasan dan absennya sistem pelaporan yang efektif. Institusi yang bersangkutan biasanya akan menjaga nama baik. Karenanya, praktik kekerasan semacam ini bisa terus berlangsung tanpa konsekuensi yang memadai, sehingga perundungan terhadap junior akan terus berlanjut dan menjadi bagian dari budaya institusional.
Dan seseorang kehilangan nyawa karena menempuh pendidikan dokter adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam masyarakat beradab. []