Selain Catut Nama Imam Al-Ghazali, Petinggi HTI Rokhmat S. Labib Juga Mencatut Syeikh Wahbah Al-Zuhaili untuk Pembenaran Khilafah

Selain Catut Nama Imam Al-Ghazali, Petinggi HTI Rokhmat S. Labib Juga Mencatut Syeikh Wahbah Al-Zuhaili untuk Pembenaran Khilafah

Selain mencatut pendapat Imam al-Ghazali, Rokhmat S. Labib juga mencatut Syeikh Wahbah al-Zuhaili, yang karyanya banyak dirujuk di Indonesia, demi pembenaran khilafah ala HTI

Selain Catut Nama Imam Al-Ghazali, Petinggi HTI Rokhmat S. Labib Juga Mencatut Syeikh Wahbah Al-Zuhaili untuk Pembenaran Khilafah
Rokhmat. S. Labib(sumber: You Tube Rokhmat S. Labib )

Kebiasaan mencatut ulama Ahlussunnah wal Jamaah biasa dilakukan oleh para pengasong khilafah, yang salah satunya gencar disuarakan Rokhmat S. Labib. Berbagai banner atau meme bertebaran di media sosial dengan mencatut satu per satu ulama dari kalangan Aswaja. Salah satu yang dicatut adalah Syeikh Wahbah Al-Zuhaili, salah seorang Grand Syeikh di Universitas Al-Azhar Mesir ini yang akhir-akhir ini banyak karya fikihnya yang dijadikan rujukan pembahasan oleh kalangan muslim di tanah air. Berikut ini adalah petikan yang diambil dari salah satu kitab karya Masterpiece-nya yang berjudul Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 8, halaman 272.

ترى الأكثرية الساحقة من علماء الإسلام (وهم أهل السنة والمرجئة والشيعة والمعتزلة إلا نفراً منهم، والخوارج ما عدا النجدات): أن الإمامة أمر واجب أو فرض محتم

Nukilan ini diterjemahkan oleh Rokhmat S. Labib sebagai berikut:

“Mayoritas besar dari ulama Islam (yaitu ulama Ahlussunnah, Murjiah, Syi’ah, dan Mu’tazilah kecuali segelintir mereka, dan kaum Khawarij kecuali an-Najdat), berpendapat bahwa Imamah (khilafah) adalah perkara yang wajib atau suatu kefardluan yang pasti.” (Al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 8, halaman 272).

Nukilan ini memang terdapat di Kitab al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu karya Syeikh Wahbah al-Zuhaili, yang dalam kitab yang dimiliki penulis, ada dua versi, yang pertama masuk dalam Juz 6 dan kedua masuk dalam juz 8. Ringkasnya, bab tersebut tertuang di dalam pasal kedua pembahasan tentang سُلطة التَّنفيذ العُليَا ـ الإمامَة (kekuasaan eksekutif tertinggi – Imamah).

Di dalam pasal sebelumnya, Syeikh Wahbah membahas mengenai kekuasaan tertinggi di bidang peraturan dan perundangan. Pasal ketiga setelahnya dibahas mengenai kekuasaan di bidang kehakiman dan terakhir beliau berbicara mengenai daulah Islamiyah. Tidak jelas, mengapa Rokhmat S. Labib menukil pernyataan di atas sebagai pembenaran ide Khilafah ala HTI. Padahal jika diikuti bahasannya hingga ke belakang, justru Khilafah ala HTI ini dibongkar habis oleh Syeikh Wahbah Al-Zuhaili, bahkan bisa masuk kategori bughah.

Di dalam pembahasannya, Syeikh Wahbah al-Zuhaili mengawali penjelasan Pasal 2 tentang Kekuasaan Eksekutif (Imamah), dengan sub tema Definisi Imamah, beliau menuliskan sebagai berikut:

الإمامة العظى أو الخلافة أو إمارة المؤمنين كلها تؤدي معنى واحدا، وتدل على وظيفة واحدة هي السلطة الحكومية العليا. وقد عرفها علماء الإسلام بتعاريف متقاربة في ألفاظها، متحدة في معانيها تقريبا، علما بأنه لا تشترط صفة الخلافة، وإنما المهم وجود الدولة ممثلة بمن يتولى أمورها، ويدير شؤونها، ويدفع غائلة الأعداء عنها

“Label al-Imamatu al-’Udzma, Al-Khilafah, dan Imaratu al-Mu’minin, pada hakikatnya semua menunjuk makna satu, yaitu merujuk pada pengertian tugas yang satu berupa menguasai tampuk kekuasan tertinggi pemerintahan. Para kalangan cerdik cendekia Islam telah banyak memberikan ta’rif, yang keseluruhannya menunjukkan makna hampir sama (mutaqaribah), baik dalam lafadznya maupun maknanya. Itu semua merupakan pertanda bahwa sesungguhnya khilafah itu tidak memiliki syarat berupa sifatnya bagaimana. Yang terpenting dari itu semua adalah eksistensi negara yang diikuti oleh adanya pemimpin yang mau mengurusinya, mengatur warganya, dan menolak segala ancaman yang datang dari musuh negara.” (Syeikh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2008, Juz 6, halaman: 573).

Di dalam pernyataan beliau ini, sebenarnya sudah disampaikan tentang mengenai pandangan beliau, bahwa yang terpenting dari sekedar istilah-istilah itu adalah adanya eksistnsi negara yang diikuti dan adnya pemimpin yang mau mengurusi dan mengatur warganya serta menjaganya dari gangguan yang berasal dari faktor luar. Jadi, Syeikh Wahbah tidak mempermasalahkan mengenai label atau konsep negara. Yang ditekankan oleh beliau adalah konsep kemaslahatan umum yang berlaku atas warga negara. Sebagaimana pernyataan beliau di akhir sub pembahasan definisi imamah ini, sebagai berikut:

ويتبين من هذه التعاريف أن سلطة الخليفة تتناول أمور الدين، وسياسة الدنيا على أساس شرائع الإسلام وتعاليمه؛ لأن هذه التعاليم يراد بها تحقيق مصالح الناس في عالمي الدنيا والآخرة

“Jelas sudah berdasarkan berbagai ta’rif ini, bahwa sesungguhnya kekuasaan khalifah (pemimpin) adalah memuat perkara agama dan politik dunia (siyasatu al-dunya) yang digerakkan berdasar politik yang berlandaskan Islam dan ajarannya, karena sesungguhnya ajaran-ajaran ini diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dunia bagi manusia, baik dalam dua kehidupan dan akhirat.” (Syeikh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2008, Juz 6, halaman: 573)

Selanjutnya Syeikh Wahbah al-Zuhaili menyampaikan terdapat tiga unsur utama penyusun pemerintahan, yaitu:  aqidah (‘aqdiyah), kemanusiaan (insaniyah), dan nilai serta norma sosial (akhlaqi). Dari ketiga aspek itu, bisa terjadi kemungkinan penurunan kualitas pemerintahan kapan saja dan di pemerintahan mana saja yang di situ ada kaum muslimin tinggal, sehingga proses pemilihan pemimpin tidak dapat berlangsung sebagaimana idealitasnya, misalnya ia harus menguasai nash-nash syariat. Itulah sebabnya, kemudian beliau menegaskan, bahwa

وبهذا تغاير الخلافة أساساً السلطات السياسية الحالية التي تسير على هدي القوانين الوضعية التي تقتصر على تنظيم العلاقات الاجتماعية، وتقر واقع المجتمع ولو عارض الدين أو الفضيلة أحياناً

“Oleh sebab itulah, maka terjadi perubahan makna asasi pada konsep khilafah. Khilafah bisa dimaknai sebagai kekuasaan politik terkini yang berjalan di bawah kendali undang-undang (hukum positif negara) yang secara sederhana memuat aturan-aturan yang berkaitan dengan sosial, dan ketetapan mengenai suatu hal dalam masyarakat, kendati kadang berbenturan dengan agama atau nilai-nilai keutamaan.” (Syeikh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2008, Juz 6, halaman: 574)

Yang perlu diingat adalah, bahwa makna dari khilafah yang ada dalam pernyataan Syeikh Wahbah di atas, adalah sudah merujuk ke bentuk nation state (negara kebangsaan), termasuk dalam hal ini adalah Mesir, tempat di mana beliau berada. Darimana kita mengetahui makna ini? Pertama, beliau mengawali kalimatnya sebagai taghayara (telah terjadi pergeseran makna). Kedua, beliau berbicara mengenai hukum positif (undang-undang, dll). Dan Ketiga, beliau menyinggung kadang dalam aturan itu isinya bertentangan dengan agama. Dan ciri ini ada pada konsep nation state.

Alhasil, aturan mengenai nashbu al-Imam (penegakan imam) dalam pembahasan selanjutnya adalah, sudah ada dalam jangkuan nation state (negara bangsa), sehingga bisa dimaknai sebagai wajibnya pengangkatan pemimpin, sebagai bentuk pengamalan dari ajaran Baginda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم

“Ketika tiga orang keluar menuju safar, maka hendaknya mereka menjadikan salah satunya sebagai pemimpin.” HR. Abu Dawud dengan Sanad dari Abu Hurairah dan Abu Said radliyallahu ‘anhum

Mengenai wajibnya pengangkatan pemimpin dalam konsep negara ini, beliau menyampaikan:

بالرغم من أن إيجاد الدولة أمر يوجبه العقل، ويحتمه الواقع، وتفرضه طبائع الأحداث، فقد رأينا اختلافاً بسيطاً غير حاد ولا خطير في شأن حكم الإمامة وجوباً وجوازاً

“Meskipun berdirinya negara (kebangsaan) itu hukumnya adalah wajib yang bisa diterima oleh akal, dan penting secara realitas, serta dibutuhkan untuk menghadapi persoalan-persoalan baru, namun kita justru menyaksikan adanya sejumlah perbedaan pendapat mengenai persoalan pengangkatan pemimpin ini, baik dari sisi hukum wajibnya maupun sisi jawaznya.” (Syeikh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2008, Juz 6, halaman: 575)

Nah, setelah pernyataan inilah, baru Syeikh Wahbah al-Zuhaili itu mencantumkan pernyataan sebagaimana yang disampaikan Rohmat S. Labib di atas. Dan itupun, Syeikh Wahbah masih menyampaikan pembukaan dialektika mengenai hukum wajib atau jawaznya pengangkatan pemimpin itu (dalam konteks negara) dengan menukil ulama yang menyatakan keharusan adanya pemimpin negara, dan bukan khilafah. Di antara yang beliau nukil adalah pendapat dari Al-Taftazani, Syeikh Hujjatullah al-Dahlawi dan al-Mawardi.

Jadi, Syeikh Wahbah belum menyatakan pendapat sama sekali dalam konteks permasalahan yang disampaikan di sini. Alhasil, Rokhmat S Labib telah melakukan kebohongan atas nama Syeikh Wahbah. Nah, pahamkan? Lebih lengkapnya, silahkan anda rujuk ke al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 2008, Juz 6, halaman: 576).