Ketika mendengar nama LDII, yang ditangkap orang awam bukan sejarah LDII, malah sebuah rumor “kalau saya shalat di masjid LDII, masjid langsung dipel selepas shalat.” Faktanya, tidak semua hal terjadi seperti demikian. Pengakuan salah satu kawan yang pernah menunaikan shalat di masjid yang “terafiliasi” dengan LDII menjadi bukti bahwa tidak semua kasus masjid yang dijadikan tempat shalat bagi selain jama’ah LDII dianggap tidak suci.
Ada baiknya kita beralih dari pembahasan “katanya”, karena jika diteruskan hanya akan menimbulkan pro-kontra yang mungkin tidak ada jalan tengahnya. Ada sebuah kutipan menarik yang berbunyi: “Bagaimana bisa mengerti jika tidak mengenal, dan bagaimana bisa saling mengerti jika tidak saling mengenal.”
Dengan kutipan di atas, ada baiknya kita mengenal sejarah LDII dahulu sebelum mengeneralisir yang bukan-bukan. Mengenal LDII bisa dimulai dari awal mula LDII berdiri. Sebagai organisasi masyarakat Islam (Ormas) yang resmi diakui negara, LDII didirakan pada tanggal 1 Juli 1972 di Surabaya, Jawa Timur sebagai kelanjutan dari Lembaga Karyawan Dakwah Islam (Lemkari).
Dalam buku Aliran/Faham Keagamaan dan Sufisme Perkotaan, Ormas-Ormas Islam, dll. yang diterbitkan Kemenag 2009, dijelaskan bahwa sejarah LDII sendiri tidak serta merta langsung menggunakan nama LDII, karena ada beberapa proses dan dinamika yang terjadi. Proses berdirinya LDII terjadi pada tahun 1940 karena keresahan yang dialami Nurhasan al-Ubaidah (lahir: Kediri 1908) terhadap masyarakat Islam Burengan atau tanah Jawa secara umum, yang dirasa menyimpang dari Al-Qur’an dan hadis. Penyimpangan yang dimaksud Nurhasan adalah terkait kepercayaan terhadap hal-hal yang diklaim sebagai takhayul, bid’ah dan khurafat.
Karena dianggap berhasil menggaet jama’ah, pada tahun 1951 komunitas jama’ah ini diberi nama Darul Hadis yang bertempat di Desa Burengan Banjaran, Kediri, Jawa Timur. Nurhasan dingkat sebagai amir atau pemimpin Darul Hadis pada saat itu.
Singkat cerita, berdirinya komunitas Darul Hadis ini mendapat penolakan oleh masyarakat yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkannya. Sebab pelarangan tersebut, akhirnya para anggota Darul Hadis mencari cara untuk melanjutkan eksistensi mereka, sehingga mendirikan lembaga baru yang dinamai Islam Jamaah dan mendirikan yayasan pendidikan yang bertaraf Nasional.
Tidak hanya itu, demi melindungi eksistensinya, mereka menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh Orde Baru agar mendapat perlindungan dan legalitas terkait aktifitasnya. Sebut saja Letjen Ali Murtopo, seorang Wakil Kepala Bakin dan Staf OPSUS (Operasi Khusus Soeharto) yang didekati oleh anggota Islam Jama’ah.
Berkat Ali Murtopo, Islam Jama’ah dilindungi oleh Partai Golkar yang notabenenya adalah partai yang berkuasa pada saat itu. Pada akhirnya Islam Jama’ah disarankan untuk mengubah nama menjadi Lembaga Karyawan Dakwah Islam (Lemkari) pada tanggal 1 Januari 1972 agar bebas melakukan aktifitas keagamaan.
Ibarat sekali mendayung dua pulau terlampaui, Golkar sebagai partai yang berkuasa di pemerintahan Orde Baru memiliki program ideologi Pancasila. Program ini mendapatkan dukungan dan legitimasi dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) yang menyakini lima sila tersebut sebagai kristalisasi nilai ajaran Islam dengan nasionalisme, meliputi nilai keesaan Tuhan, saling menghormati, kerukunan, permusyarakatan, keadilan dan lainnya tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis. Hal tersebut ditegaskan oleh Lembaga Dakwah Islam Indonesia dalam perubahan AD/ART 2011 bagian ketiga pasal 5 yang mengasaskan lembaganya berdasarkan Pancasila.
Tuisan ini mungkin hanya secuil gambaran untuk mengenal sejarah LDII. Dengan secuil ini, penulis berharap bisa merangkai fragmen-fragmen sejarah LDII yang mungkin terlewatkan atau belum diketahui masyarakat. (AN)
Wallahu a’lam.