Beberapa waktu lalu, ketika kita semua kecewa dengan tidak masuknya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak masuk dalam prolegnas tahun ini, di sosial media seseorang malah menolak disahkannya RUU PKS oleh salah satu akun bernama Cak Nadi (@mnadielmadani7). Alasannya, karena persoalan istri diperkosa suami dianggap wajar dalam rumah tangga dan RUU PKS dapat membuat keluarga resmi amburadul.
”Pun klo tidak setuju atau tidk sesuai kehendak, maka dapay disebut pemerkosaan. Wah… mau banget klo gitu. Yg dalam keluarga resmi bisa amburadul gara-gara RUU di atas yang tidak resmi malah diberi keuntungan,” cuit @mnadielmadani7
Bagi saya, persoalan yang diangkat oleh akun tersebut (pemerkosaan dalam rumah) bisa lebih dikenal dengan bahasa marital rape. Di sisi lain, bagi saya ini persoalan (pemerkosaan dalam rumah tangga), ternyata isu yang diulang terus setiap tahunnya dan masih dianggap tabu. Padahal persoalan ini sudah banyak dibahas dan sudah banyak diulas di beberapa website.
Tahun lalu, ketika mau disahkan RKHUP persoalan ini dibahas dan ramai pula. Di organisasi mahasiswa ekstra kampus pun masih banyak yang belum faham isu ini. Apakah masuk dalam pelanggaran atau tidak, karena dibayangi-bayangi oleh teks agama. Keadaan tahun lalu dengan tahun ini pun masih sama, banyak yang menentang persoalan tersebut dengan sudut pandang agama dan dirasa sangat sah dilakukan.
RUU PKS Fokus Pada Perlindungan Korban
Dengan melihat keadaan ini, dengan kata lain masyarakat kita masih membutuhkan advokasi dan pembahasan yang jelas tentang marital rape. Sebelum membahas lebih jauh tentang marital rape, nampaknya kita perlu berpikir tentang tujuan utama dari RUU PKS ini dibuat sejak 2012. Tujuan RUU PKS untuk perlindungan korban.
Nah, untuk persoalan marital rape ini sudah dibahas dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Pelakunya dijerat dengan Pasal 8 huruf a dalam UU PKDRT. Ancaman untuk pelakunya sangat jelas dibahas dalam Pasal 46, pelaku dihukum penjara paling lama 12 tahun dan didenda paling banyak Rp 36 juta. UU PKDRT ternyata disahkan pada 2004, dengan melihat fakta ini anggota legislatif dan sejumlah masyarakat yang terlibat dalam pembuatan UU PKDRT sudah faham jika marital rape masuk dalam bentuk kekerasan seksual.
Fakta ini, bagi saya ini menjadi sebuah kemajuan kesadaran berfikir tentang perlindungan terhadap perempuan dan keberpihakan terhadap keadilan. Sayangnya, dalam Undang-undang tersebut masih belum dibahas perlindungan terhadap korban. Sehingga dibutuhan aturan untuk perlindungan kepada korban, jalan keluarnya adalah RUU PKS. Sehingga, bagi saya sangat penting RUU PKS ini segera disahkan di mana memperjelas fungsi negara tentang perlindungan terhadap korban.
Beberapa Negara Masih Melegalkan Marital Rape
Kenapa RUU PKS fokus pada korban? Berita dan cerita marital rape ini sangat sedikit diangkat berita. Sehingga, di masyarakat masih dianggap hal yang tidak perlu dibahas. Walaupun begitu, korban marital rape dapat mengalami masalah fisik dan psikis dalam waktu yang lama. Efek psikis yang dialami misalkan, korban merasa terhina, menyalahkan diri sendiri dan merasa takut. Belum lagi korban merasakan kekerasan fisik.
Di Indonesia pada 2015, seorang istri berusia 57 tahun meninggal karena mengalami marital rape oleh suami yang berusia 60 tahun. Di mana pelaku beranggapan jika apa yang dilakukannya wajar dilakukan.
Di Ukrania ternyata pemerkosaan terjadi bukan hanya suami kepada istri. Melainkan, pemerkosaan dilakukan oleh istri kepada suami selama 10 tahun. Kekerasan domestik yang terjadi pada laki-laki masih dianggap tabu di beberapa negara dan korbannya harus menghadapinya sendiri. Kejadian di Ukrania ini, mirip hal yang terjadi di Indonesia namun kondisinya pemerkosaan dilakukan oleh suami kepada istri.
Lalu, kenapa masyarakat masih saja mempertanyakan isu marital rape? Kita perlu melihat keadaan di negara lain. Misalkan, di Lebanon dan India, di mana marital rape masih anggap yang wajar dan dilegalkan. Bahkan di Lebanon, suami tidak bisa dipenjara karena melakukan marital rape. Pada 2018 di Sudan, seorang perempuan yang mengalami marital rape harus dihukum mati karena membunuh suaminya yang meminta dilayani.
Dilematisnya Hukuman Marital Rape
Namun, di beberapa negara maju marital rape sudah jelas dilarang dan dianggap dalam bentuk kejahatan dan bisa dijerat hukum. Di asia, Filipina, Thailand dan Korea Selatan sudah membahasnya. Selandia Baru dan Australia sudah lebih dulu membahasnya. Di negara Eropa bagian barat, seperti Inggris, Perancis dan Swiss sudah lebih dibahas dibanding di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat baru muncul dipermukaan pada 1970 dan baru dinyatakan illegal di seluruh negara bagian pada 1993.
Di beberapa negara yang sudah melarang perlakukan marital rape ternyata mengalami beberapa kenda. Misalkan, pihak berwajib sulit menemukan fakta jika korban mengalami marital rape oleh suami ketimbang diperkosa oleh orang lain. Hal yang bisa membuktikan adanya marital rape adalah adanya bukti perselisihan dalam perkawinan. Di bagian selatan California misalkan laporan bisa ditangani jika dilakukan kurang dari 30 hari.
Lalu, di Virginia hanya memberikan konseling sebagai pergantian dari proses pengadilan yang hanya dilakukan satu kali. Di saat yang bersamaan adanya konseling ini bisa meringankan hukuman kepada pelaku. Kita harusnya bisa lebih maju dibandingkan negara lain terkait urusan marital rape ini, tapi DPR menggagalkannya. Duh..