Pendidikan Seks di (Sekolah) Indonesia: Semula Tabu, Kini Jadi Kesadaran Baru Orang Tua Murid di Negara Paling Religius

Pendidikan Seks di (Sekolah) Indonesia: Semula Tabu, Kini Jadi Kesadaran Baru Orang Tua Murid di Negara Paling Religius

Pendidikan Seks di (Sekolah) Indonesia: Semula Tabu, Kini Jadi Kesadaran Baru Orang Tua Murid di Negara Paling Religius
Ilustrasi: Serial Netflix “Sex Education”

Sebuah riset menjelaskan bahwa wacana pendidikan (kesehatan) seksual di Indonesia telah bergeser, dari yang semula dianggap tabu menjadi kesadaran baru. Jika kita tidak gegabah terjebak pada debat kusir fenomena ‘kumpul kebo’, temuan itu tentu saja merupakan kabar bagus.

FYI, salah satu faktor yang paling banyak menjadi pendorong meningkatnya kasus perkawinan anak adalah minimnya literasi tentang kesehatan seksual. Akibatnya, keawaman remaja Indonesia itu bisa memicu keputusan yang tanpa sadar bisa merugikan dirinya sendiri.

Seperti dilansir Kompas.com, para peneliti menemukan bahwa sebagian besar informan, terutama di Sulawesi Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Tengah berpendapat bahwa penyebab praktik perkawinan anak mayoritas diakibatan oleh kehamilan remaja, rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, dan gaya berpacaran yang berisiko.

Karena itu, sekolah semestinya punya peran penting untuk memastikan anak muda mendapatkan pendidikan yang menyeluruh terkait kesehatan seksual. Mengapa?

Tentu saja karena ia merupakan salah satu isu penting yang perlu mendapat perhatian serius di Indonesia. Ada banyak bukti bahwa anak muda di Indonesia masih minim wawasan tentang pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi.

Dalam Survei Kesehatan dan Demografi tahun 2017 yang dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terhadap anak muda berusia 15-24, misalnya, hanya 12% perempuan dan 6% laki-laki tahu di mana mencari informasi tentang kesehatan reproduksi.

Ini membuat mereka rentan melakukan aktivitas seksual yang berisiko, sehingga lebih mudah terpapar HIV, penyakit menular seksual (PMS), mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, aborsi yang tidak aman, perkawinan anak, serta kekerasan seksual.

Sayangnya, pendidikan kesehatan seksual dalam sistem pendidikan Indonesia sangat terbatas dan tidak seragam. Pengajarannya juga kerap kali dipertentangkan, baik karena alasan budaya maupun politik, selama bertahun-tahun.

Padahal, berdasarkan riset dari berbagai negara selama tiga dekade terakhir, pendidikan kesehatan seksual (sex education) di sekolah sangatlah efektif. Muatan kesehatan seksual mendukung anak muda menjadi orang dewasa yang lebih sehat dan bahagia, serta mampu menghindari berbagai risiko kesehatan.

Malahan, banyak orang tua di seluruh dunia ternyata sangat mendukung pendidikan kesehatan seksual. Bahkan, orang tua dari negara yang terkenal religius seperti MalaysiaOmanIran, dan Bangladesh menunjukkan dukungan yang besar untuk pengajarannya di sekolah. Termasuk dalam hal ini adalah Indonesia.

Sebuah riset berjudul Perspectives of Indonesian parents towards school-based sexuality education menemukan bahwa 98,4% dari orang tua murid – 38,2% laki-laki, 61,4% perempuan, dan 0,4% lainnya – mendukung pengajaran pendidikan kesehatan seksual di sekolah-sekolah.

Bahkan, sebanyak 80% merasa pendidikan seksual di Indonesia ini sebaiknya dimulai sedini mungkin di tingkat taman kanak-kanak (TK) atau sekolah dasar (SD).

“Mayoritas sampel kami adalah individu yang religius (97,6%), dengan 40% di antaranya mengaku muslim,” terang Jacquline Hendriks, peneliti Curtin University Singapore.

“Kabar bahagianya adalah orang tua dalam survei kami ternyata menganggap bahwa muatan tentang keamanan diri (mencegah pencabulan atau kekerasan seksual terhadap anak), penyakit menular, dan juga etika dalam hubungan yang bersifat seksual, sangat penting untuk diajarkan. Mereka juga ingin sekolah mengajarkan muatan lain terkait ilmu biologi seperti pubertas, reproduksi, dan praktik seksual yang baik, aman, dan menyenangkan” imbuhnya.

Semua hal di atas adalah topik penting yang perlu dipelajari oleh anak muda atau remaja Indonesia. Tetapi memang, kita juga harus berhati-hati supaya sekolah tidak sekadar mengajarkan materi berbasis ketakutan, dengan fokus berlebihan pada akibat buruk seks seperti PMS, kehamilan, serta ancaman kekerasan.

Idealnya, sekolah perlu memberikan informasi yang membantu anak muda mengembangkan kemampuan sosial, emosional, dan kognitif supaya bisa meraih kesejahteraan dan kebahagiaan diri – terutama terkait kuasa tubuh, hubungan, dan seksualitas mereka.

Dengan kata lain, kita memang perlu berupaya lebih untuk menggandeng dan mendidik orang tua maupun sekolah tentang pentingnya membahas kesehatan seksual dengan cara yang positif, tanpa rasa tabu maupun ketakutan.

Di Inggris, misalnya, pendidikan tentang hubungan dan seksualitas kini menjadi materi wajib bagi seluruh sekolah – baik sekolah negeri, swasta, maupun sekolah berbasis agama. Tiap sekolah di Inggris wajib menyusun dokumen kebijakan yang menjelaskan secara rinci bagaimana mereka akan mengajarkan pendidikan hubungan dan kesehatan seksual. Mereka juga harus berkonsultasi dengan orang tua dalam penyusunan dokumen ini.

Hal serupa sebetulnya juga telah menjadi kurikulum di lembaga pendidikan seperti pesantren di Indonesia. Karena berada ruang pesantren, maka yang menjadi korpus utama dalam bahan ajar pendidikan seksual adalah literatur keilmuan Islam klasik. Sementara Al-Quran menjadi sumber primer yang lebih general, hadis dan kitab-kitab klasik (atau biasa juga disebut kitab kuning) melengkapinya dalam pembahasan lebih kompleks, bahkan dengan detail-detail yang mengejutkan untuk ukuran pendidikan seks di abad ke-6 Masehi.

Kitab-kitab klasik yang dipelajari di pesantren tidak saja mempelajari alat reproduksi pada bab-bab thaharah (bersuci) dalam kitab Bulugh Al-Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqolany, atau aspek sosial yang mengatur batasan pergaulan laki-laki dan perempuan dalam Riyadhus Ash-Sholihin karya Syeikh Al-Islamy Muhyiddin, tetapi juga tata cara bercinta dalam kitab Qurrotul Uyun karya Syaikh Muhammad Al-Tahami.