Rohingya, Bisnis Militer, dan Kutukan Sumberdaya Alam

Rohingya, Bisnis Militer, dan Kutukan Sumberdaya Alam

Rohingya, Bisnis Militer, dan Kutukan Sumberdaya Alam

Yang saya cermati dalam film “Shooter” (2007) bukan aksi keren Bob Lee Swagger (Mark Wahlberg) dalam menaklukkan musuh-musuhnya, melainkan saat politisi memanfaatkan ketulusan seseorang untuk kepentingan bisnis dan reputasi politiknya.

Swagger bersama sohibnya, Donnie, ditugaskan di pedalaman Afrika sebagai penembak jitu yang mengamankan jalur penting. Semua dilakukan agar tentara yang mengawal pebisnis Amrik bisa melewati jalur dengan aman sentosa. Mereka berbisnis di tanah milik suku terpencil yang sudah diusir dan sebagian dibunuh. Mereka, para suku yang sudah ratusan tahun mendiami tanah leluhurnya, dipaksa pindah atas alasan “pembangunan” dan bisnis. Di atas kuburan massal di perbatasan Eritrea, pipa-pipa minyak sambung menyambung hingga Ethiopia. Di situlah Swagger bertugas sebagai penembak jitu dengan tugas mengamankan jalan yang dilewati para kontraktor.

Swagger baru tahu tujuan misi busuk tersebut setelah dimanfaatkan untuk kedua kalinya oleh politisi, senator Meachum dan Kolonel Johnson, dua kompatriot yang suka memanfaatkan prajurit yang terluka untuk mengamankan bisnisnya.

Silahkan nonton salah satu film terbaik soal penembak jitu ini agar bisa lebih memahami bahwa keserakahan tidak ada batasnya, dan penderitaan justru seringkali berasal dari anugerah.

Rakhine, contohnya. Di sini, tempat etnis Rohingya bertempat tinggal selama ratusan tahun, militer dan milisi sipil melakukan tugas pembersihan etnis. Arahnya ke genosida. Di permukaan, unsur agama dipertontonkan. Muslim vs Buddhis. Padahal tidak sesederhana itu. Aroma bisnis menguar di sini. Sebab di wilayah Rakhine, ada kekayaan alam luar biasa. Di manapun ada sumber daya alam, di situ ada kutukan bernama keserakahan pendatang dan penderitaan penduduk.

Di negara itu, militerlah pemilik negara, bukan sebaliknya. Kalau sudah ketemu klik antara pebisnis dan tentara, maka tinggal menunggu waktu buldoser bergerak. Kali ini Rohingya menjadi korban. Sebelumnya ada etnis Karen. Semua menjadi obyek penindasan junta militer.

Dan, sebagaimana film “Shooter” di atas, militer memainkan peranan penting dalam merancang karpet merah bagi bisnis yang dijalankan di atas genangan darah. Dengan kekuasaan yang masih mencengkeram kuat di parlemen, mustahil mengharapkan Liga Nasional Demokrasi (LND) dan Aung San Suu Kyi bersuara untuk Rohingya.

Para perwira militer memanfaatkan sentimen etnik dan agama untuk menggerakkam kerusuhan dengan “harga murah”. Kaum Budhis ekstremis digodog terlebih dulu dan diagitasi oleh Ashin Wirathu, biksu garis keras, sebelum melakukan aksi mengerikan terhadap kaum muslim Rohingya.

Junta militer menjadi beking aksi ini, dan Ma Ba Tha, sebuah organisasi garis keras kaum Budhis sejak lama mendukungnya. Tak hanya itu, kongkalikong para jenderal di ladang perpolitikan dengan para biksu ultranasionalis mendukung adanya undang-undang yang dipandang diskriminatif terhadap kaum muslim dan kaum perempuan. Siapa yang diuntungkan? Para politisi yang sengaja menggunakan kebencian untuk meraih simpati publik. Meski NLD alias Partai Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Aung San Suukyi berhasil mengantarkan wakilnya di tampuk kekuasaan, 2015, namun mereka belum berdaya.

Bahkan, pengacara muslim Myanmar yang juga aktivis NLD, Ko Ni, 29 Januari 2017, ditembak mati saat tiba di Bandara Yangoon, sesaat setelah mendarat dari perjalananannya di Indonesia. Pembunuhnya? Anda bisa menebak siapa yang berada di balik aksi ini! Ko Ni adalah muslim yang gigih memperjuangkan hak-hak kaumnya sejak dia bergabung dalam NLD-nya Suu Kyi. Dia bahkan mengkritik Suu Kyi yang berkomentar rasialis setelah diwawancarai jurnalis muslimah, Mishal Husein.
****
Semakin lama, masalah Rohingya bertambah runyam. Suu Kyi membisu dan tidak berdaya. Jenderal Senior Ming Aung Hlaine semakin berkuasa. Dan, militer dengan leluasa meminjam tangan ekstremis Budhis maupun membantu kaum ultranasionalis Burma mengusir penduduk Rohingya dengan sentimen agama dan etnis. Pelatuk masalah yang menyebabkan meledaknya pelanggaran hak asasi manusia.

Dibutuhkan tekanan internasional agar masalah ini segera teratasi dan ada solusi terbaik mengenai Rohingya. Baik melalui ASEAN, OKI, maupun PBB. Indonesia, melalui Menlu Retno Marsudi juga sudah menjalin kontak dengan berbagai pihak perwakilan internasional agar masalah ini bisa diselesaikan melalui lobi diplomatik.

Sedangkan umat Islam bisa membantunya melalui donasi via lembaga yang kredibel, termasuk LAZISNU yang bersama 10 organisasi nirlaba lainnya membentuk jaringan penyelenggara bantuan kemanusiaan untuk Rohingya. Ayo, kita bantu!

Wallahu A’lam Bisshawab