Mengapa Tiga Hari Setelah Idul Adha Dilarang Puasa?

Mengapa Tiga Hari Setelah Idul Adha Dilarang Puasa?

Mengapa Tiga Hari Setelah Idul Adha Dilarang Puasa?
makan

Syaikh Abu Suja’ dalam Matan al-Ghayah wa al-Taqrib menyebutkan lima hari yang terlarang untuk berpuasa, yaitu idul fithri, idul adha, dan tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.

Untuk tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah ulama menyebutnya dengan hari tasyriq. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

أيام منى أيام أكل وشرب وذكر لله.  رواه مسلم

Hari-hari Mina adalah hari-hari makan, minum dan berdzikir kepada Allah (HR. Muslim)

Mengomentari hadis ini, Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa yang dimaksud hari-hari Mina adalah tiga hari setelah Idul Adha, yaitu hari Tasyriq. Disebut hari tasyriq karena daging-daging kurban didendeng atau dijemur di bawah terik matahari.

Sementara Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menyebutkan pendapat lain bahwa disebut tasyriq karena selain tanggal 10 Dzulhijjah orang-orang Islam menyembelih kurban pada waktu syuruq (setelah matahari terbit).

Allah jadikan hari tasyriq sebagai hari istimewa untuk berdzikir. Karena itulah, Allah perintahkan umat Islam untuk memperbanyak berdzikir pada hari itu. Rasulullah saw. bersabda:

أَعْظَمُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمُ النَّحْرِ، ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ. رواه أبو داود

Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari kurban, kemudian hari al-qarr. (HR. Abu Daud)

Ibnu Khuzaimah mengatakan bahwa yang dimaksud yaum al-qarr adalah hari setelah idul kurban.

Adapun mengenai puasa pada hari tasyriq, Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini dalam Kifayat al-Akhyar menjelaskan bahwa menurut pendapat terdahulu (qoul qadim) Imam Syafi’i puasa pada hari tasyriq diperbolehkan bagi orang yang berhaji tamattu’ dan tidak memiliki hewan untuk disembelih. Sedangkan pendapat terbaru (qaul jadiid) imam Syafi’i, berpuasa pada hari tasyriq tetap terlarang secara mutlak. Jika perpedoman pada qaul qodim, maka menurut pendapat yang valid orang yang selain haji tamattu’ tetap diharamkan untuk puasa saat itu.

Ibnu Rajab dalam bukunya Lathaif al-Ma’arif menjelaskan alasan keharaman berpuasa pada hari tasyriq sebagai berikut:

إنما نهي عن صيام أيام التشريق لانها أعياد للمسلمين مع يوم النحر، فلا تصام بمنى ولا غيرها عند جمهور العلماء خلافا لعطاء في قوله: إن النهي يختص بأهل منى.

Larangan berpuasa pada hari tasyriq karena hari tasyriq adalah hari raya umat Islam, disamping hari raya kurban. Oleh sebab itu, menurut mayoritas ulama, tidak diperbolehkan berpuasa di Mina maupun di tempat lain. Berbeda dengan pendapat Atha yang mengatakan bahwa larangan berpuasa di hari tasyriq, terkhusus bagi orang yang tinggal di Mina.

Ibnu Rajab melanjutkan:

لما علم ما يلاقي الوافدون إلى بيته من مشاق السفر وتعب الإحرام وجهاد النفوس على قضاء المناسك شرع لهم الاستراحة عقيب ذلك بالإقامة بمنى يوم النحر وثلاثة أيام بعده وأمرهم بالاكل فيها من لحوم نسكهم لطفا من الله بهم ورأفة ورحمة.

Ketika orang-orang yang bertamu di rumah Allah merasa capek, karena perjalanan yang begitu berat, lelah setelah menjalankan ihram dan kesungguhan untuk melaksanakan manasik-manasik haji dan umrah, maka Allah mensyariatkan kepada mereka untuk beristirahat di Mina pada hari kurban dan tiga hari setelahnya. Allah memerintahkan mereka untuk menyantap daging sembelihan mereka, karena kasih sayang Allah kepada mereka.

Jika kita berpuasa pada hari kurban (10 Dzulhijjah) dan tiga hari setelahnya (11, 12 dan 13 Dzulhijjah), berarti kita telah menyia-nyiakan kasih sayang Allah.