Idul Fitri berlalu dan kita diramaikan tiga perkara menarik. Selain protes soal model arsitektur Masjid di salah satu rest area di wilayah Jawa Barat, ada himbauan soal muhrim di salah satu rumah sakit dan peraturan syariah salah satu perumahan di Depok. Ketiga persoalan ini memang tidak terhubung dalam satu kejadian, tapi ada satu relasi dalam tiga persoalan di atas yaitu bagaimana sebuah “kebenaran” diproduksi bisa dipercaya dan didukung publik secara massif dan tidak ada tersisa ruang kritik di dalamnya. Ketiganya mengambil posisi yang sama yakni mengandalkan beberapa dalil beserta pemahaman yang sempit.
Kondisi ini yang membuat ruang kritik dan penjelasan apapun yang bertentangan cenderung ditolak, karena telah memiliki legitimasi agama.
Pro dan kontra terhadap tiga persoalan di atas tidak bisa dihindari. Namun, kerumitan permasalahan di atas justru terletak pada penggunaan dalil agama yang sempit dan pemahaman literal, sebagai penyokong utama dari argumentasi dari ketiga isu tersebut. sebab siapapun yang menolak, dengan alasan apapun, cenderung dicap sebagai penolak ajaran agama atau minimal dianggap terjangkiti virus “liberalisme” atau “pemikiran Barat”.
Kehadiran dua himbauan di atas lebih menarik perhatian saya sejak muncul di media sosial, ketimbang persoalan cucokologi aneh dari seorang penceramah. Dalam pandangan saya, Negara cenderung terlihat kikuk dan gamang dalam menghadapi kehadiran berbagai himbauan yang mengatur ruang privat seseorang.
Himbauan di atas hanya sedikit bukti dari sekian banyak himbauan yang mengatur bagaimana warga atau seseorang mengatur hidup yang sesuai dengan norma agama, yang dikeluarkan berbagai pihak seperti kelompok atau organisasi.
Di kota Banjarmasin muncul himbauan yang sama setiap bulan Ramadan, Walikota Banjarmasin selalu menghimbau setiap awal Ramadan soal larangan bagi siapapun untuk makan-minum di depan umum yang sudah diatur melalui peraturan daerah, dan khusus tahun ini ditambah dengan aturan jam tayang film di Bioskop selama bulan Ramadan yang harus diubah menyesuaikan ibadah di bulan puasa.
Apa yang terjadi di kota Banjarmasin adalah persoalan yang sama dengan himbauan di atas walau dalam dimensi yang berbeda, yaitu Negara hadir dalam persoalan privat warganya.
Kemunculan himbauan yang mengatur kehidupan privat warga memang masih diperdebatkan batasannya. Namun, kehadiran himbauan tersebut cenderung mengabaikan masalah atau efek sosial yang muncul di masa akan datang.
Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia memang tidak semua yang dari awal terbangun dari berbagai komposisi suku, ras dan agama. Ada beberapa wilayah yang didominasi salah satu suku, ras atau agama tertentu. Jika bangunan asumsi ini yang digunakan untuk mengeluarkan peraturan atau himbauan tersebut dan ditambahkan dasar dalil agama, maka memunculkan hak khusus pada satu kelompok mayoritas cenderung melanggar hak atas kota dari seluruh warga. Sebab, peraturan atau himbauan tersebut cenderung mengeksklusi atau menyingkirkan hak warga minoritas atas kota yang ramah kepada siapapun, tanpa harus membeda-bedakan.
Kembali ke persoalan kemunculan himbauan yang berbau syariah di atas, titik kerumitan paling besar dari permasalahan ini adalah penggunaan dalil agama sebagai penyokong argumen “kebenaran” asumsi tersebut. persoalan tersebut membuktikan bahwa ajaran Islam sekarang lebih digunakan untuk menanamkan ketakutan yang berlebihan pada kebanyakan umat.
Himbauan soal muhrim di Rumah Sakit dan beberapa aturan soal perumahan Islami di atas, menjelaskan bahwa berbagai ketakutan akan ancaman (tidak) nyata tersebut mampu membuat umat semakin defensif dalam pergaulan sesama manusia.
Dalam dua kasus di atas, agama Islam tidak lagi sekedar nama sebuah agama tapi menjadi lebih radikal karena digunakan sebagai identitas kelompok atau sebuah tribe (suku) yang tertutup, dan posisi perang yang berhadapan musuh yang sangat berbahaya. Ini menempatkan umat Islam di Indonesia dalam posisi ketakutan saat berhadapan dengan berbagai yang berbau “Barat”, “Komunis”, “Yahudi”, dan lain-lain yang belum jelas siapa atau apa.
Kondisi ini yang sering menjebak umat Islam di Indonesia dalam permasalahan politik.
Stevan Hoffbol dalam buku berjudul “Tribalism: The Evolutionary Origins of Fear Politics” menjelaskan bahwa keberadaan ancaman dari luar membuat manusia ketakutan dan menggerakkannya pada posisi yang sangat konservatif. Di mana manusia cenderung melakukan apa saja untuk melindungi diri, keluarga hingga kelompoknya dan kebenaran lebih banyak menderita. Karena, Hoffbol menjelaskan ketakutan bisa dimanipulasi di berbagai kelompok politik untuk memuluskan tujuan politiknya.
Dalam kondisi tersebut, posisi pendidikan harus bisa diberdayakan lebih baik lagi sebagai pertahanan terhadap pemelitiran kebenaran dan manipulasi politik ketakutan untuk kepentingan oligarki politik. Di mana para oligarki sadar bahwa narasi kondisi perang atau keterancaman memang paling efektif menggerakkan massa, khususnya di Indonesia. padahal yang tidak sadari adalah narasi tersebut hanya bagian dari marketing politik busuk mereka. Tidak berbeda jauh juga kita temukan di dua himbauan di atas, walau tidak gamblang.
Narasi ancaman zina dan beberapa perilaku tidak pantas seperti membunyikan musik yang dianggap haram, telah menjadi ancaman nyata bagi kehidupan sosial umat Islam di Indonesia.
Ketakutan-ketakutan tersebut terus diproduksi sebagai pembenaran untuk melakukan apa saja mengamankan kelompok (baca:umat), sehingga dalil bisa digunakan secara serampangan untuk memuluskan pemahaman sempit kelompok tersebut, walau harus mengorbankan hak minoritas.
Penjelasan dengan dalil, tafsiran berbeda, atau logika rasional tidak akan pernah digubris, jika tidak memuaskan hasrat kelompok tersebut pada solusi ketakutan yang melanda. Sementara, kebenaran “dalil agama” bagi mereka adalah satu-satunya jalan keluar yang dianggap paling efektif dari kondisi yang sangat mengancam umat sekarang.
Menjawab pertanyaan di atas, mengapa hal di atas bisa terjadi di Indonesia yang memiliki perbedaan suku, ras, dan agama yang sangat beragam seharusnya bisa membuat menjadi role model bagi masyarakat madani, di mana seluruh warga mendapatkan hak dan menjalankan kewajibannya tanpa harus dibeda-bedakan dalam bingkai primordial, seperti agama, ras, dan kelompok.
Di kondisi ini seharusnya umat Islam mengambil posisi terdepan sebagai pionir. Sayang, terlalu dominannya ajaran Islam yang diserukan kepada umat masih dengan model sebab-akibat atau alat tukar barang (hitungan dosa dan pahala) yang kaku, membuat banyak orang atau umat Islam rentan terjerumus dalam marketing politik ketakutan yang menggunakan agama sebagai alat jual politis. Sehingga, Islam yang damai yang menerima dan melihat perbedaan tidak sebagai sebuah ancaman pada umat cenderung tersingkir, karena dianggap terlalu longgar dalam penjagaan umat.
Inilah pekerjaaan rumah bagi seluruh elemen umat untuk memperbaiki kondisi keislaman di Indonesia sekarang