Politik di Pinggir Jalan, Siapa yang Berkuasa?

Politik di Pinggir Jalan, Siapa yang Berkuasa?

Ini politik di jalanan, siapa yang akan berkuasa nantinya?

Politik di Pinggir Jalan, Siapa yang Berkuasa?
Politisasi identitas kita menguat dan apakah ini karena militer yang mencengkeram kita satu dekade ini? Pict by Toto Prastowo

Beberapa bulan terakhir di sepanjang pinggir jalan protokol dari Banjarmasin, Banjarbaru hingga Martapura, ada fenomena beberapa spanduk dan baliho promosi beberapa bakal calon (balon) yang akan berlaga di pemilihan kepala daerah (Pilkada) beberapa bulan ke depan. Tahun lalu, keadaan yang serupa juga terjadi namun saati itu diramaikan oleh calon anggota DPR berbagai tingkat dan para calon senator.

Pinggir jalan sudah bukan lagi hal yang aneh jika disesaki iklan politik, namun sekarang kita juga melihat iklan dari para pejabat publik, gubernur, walikota, hingga kepala-kepala dinas, yang muncul di ruang publik lewat berbagai format spanduk atau baliho.

Sekilas saya beranggapan bahwa seluruh iklan tersebut hanya menyiratkan eksistensi dari pemesan lewat sehelai kain berwarna tersebut. Namun apakah iklan tersebut hanya berhenti pada soal eksistensi yang disisipkan lewat medium spanduk atau baliho tersebut?

Sebelum menjawab, kita perlu mengetahui bahwa jumlah uang yang tidak sedikit harus dirogoh oleh pemasang jika ingin menampilkan iklannya di pinggir jalan. Hal ini jarang sekali diperhatikan, sebab saat seseorang atau organisasi ingin memasang sebentang kain berbagai ukuran tersebut di pinggir jalan, maka pertimbangan antara uang yang dikeluarkan dan benefit yang didapatkan, tentu bukan hal yang tidak mungkin diabaikan begitu saja.

Pengalaman saya pernah membantu teman yang bergelut di bisnis pemasangan spanduk dan baliho, harga sebuah iklan di pinggir jalan itu sangat tergantung pada lokasi pemasangan, biasanya semakin strategis dan potensi ramai yang tinggi maka harga yang harus dibayar akan semakin mahal.

Kondisi ini menegaskan bahwa kemampuan ekonomi yang kuat harus dimiliki siapa saja yang ingin ikut bertarung di ruang visual publik ini, baik di ranah politik, ekonomi hingga sosial.

Kita sering memandang tolak ukur keberhasilan pembangunan pemerintah adalah pembangunan dan penataan jalan, selain berbagai infrastruktur yang lain. Padahal di sisi lain, pinggir jalan akhirnya juga dilihat sebagai ruang atau arena pertarungan kehadiran dan perebutan penafsiran, sekaligus menjadi komoditas ekonomi, sosial dan politik, bagi pihak yang menguasainya.

Bicara soal penguasaan ruang, kita bisa menelisik penjelasan David Harvey yang menyebutkan bahwa relasi antara ruang dan modal (baca:uang) adalah hubungan yang tak terhindarkan dalam kapitalisme. Akumulasi modal selalu menjadi urusan geografis (baca:ruang), di mana saat uang melekat dalam ekspansi geografis, reorganisasi spasial, dan mengakibatkan perkembangan geografis yang tidak merata, oleh sebab itu kapitalisme tidak akan berfungsi sebagai sistem ekonomi politik yang adil.

Mungkin tidak sedikit berita yang pernah kita baca di berbagai media massa, tentang penertiban pedagang asongan dan kaki lima di pinggir jalan dengan alasan memberikan ruang dan akses “setara” pada semua kelompok masyarakat.

Padahal di saat yang bersamaan, kita sering mengabaikan sesuatu yang penting, yaitu penguasaan ruang kosong yang tersedia pasca penertiban, dijadikan sebagai komoditas, baik politik atau ekonomi oleh sekelompok orang, yang tidak pas dengan para pedagang sebelumnya.

Kita sering terbuai dengan pemandangan jalan yang bersih dan rapi, sehingga lupa bahwa secuil dari ruang tersebut kemudian dijadikan titik strategis yang bisa dijual atau dimanfaatkan untuk papan iklan (baca: spanduk atau baliho).

Komoditas politik atau ekonomi, acapkali tampil acak dan saling berkelindan untuk merebut perhatian kita sebagai pemakai aktif jalanan, dan mempengaruhi logika hingga cara berpikir dalam menentukan pilihan, baik produk ekonomi dan pilihan politik.

Oleh karena itu, politik pertarungan makna atau tafsir di pinggir jalan sekarang banyak dikuasai oleh pemilik modal besar dan negara, akhirnya kehadiran kita sebagai masyarakat di sana hanya dipandang sebagai objek sasaran, dan kehadiran sebagai subjek yang merdeka hanya sebuah khayalan belaka.

Masyarakat kecil seperti kita masih sering mencoba merebut ruang-ruang tersebut baik secara politik atau ekonomi dalam beberapa kesempatan. Tentu masih segar dalam ingatan kita, poster dan pamflet lucu sekaligus sarkastik dari mahasiswa yang berdemo di depan komplek DPR RI, bulan Mei kemarin, adalah anomali kehadiran masyarakat sipil di jalanan, karena mereka hadir dalam subjek pengendali makna.

Selain itu, tak banyak contoh yang bisa diajukan karena jalanan sebagai ruang politik visual sudah lebih banyak dikuasai atau dinormalisasi oleh Negara, sebagai otoritas.

Walau secara ekonomi, kita sering sekali melihat iklan dengan medium kertas yang ditempel di berbagai dinding atau median jalan, bahkan ada yang berukuran kecil sekali. Iklan yang ditempel tersebut menawarkan beragam hal dan produk dari sabun mandi, pengobatan alternatif hingga pemanjang alat vital.

Perlawanan masyarakat terhadap ruang tersebut memang sering sekali kalah, seakan takdir kemenangan penguasa, baik modal dan politik, sudah bisa diramal sebelumnya.

Oleh sebab itu, kehadiran sosok calon atau aparat pemangku amanah rakyat di selembar kain spanduk atau baliho, tidak bisa dilihat sekedar eksistensi belaka, sebab ada nilai ekonomi dan politik yang terselip di dalamnya.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin