Pesantren, Anak Pe-Ka-I, dan Okky Asokawati

Pesantren, Anak Pe-Ka-I, dan Okky Asokawati

Pesantren, Anak Pe-Ka-I, dan Okky Asokawati

Tahun 1959, KH. Muslim Rifai Imampuro alias Mbah Liem menetap di sebuah kampung ‘abangan’ di daerah Klaten. Selama bertahun-tahun, ia adalah satu-satunya orang di desa itu yang melaksanakan shalat. Maklum, mayoritas penduduk adalah orang awam, sebagian besar simpatisan PKI yang suka menyaksikan pertunjukan drama parodikal dan wayang tentang “kematian Tuhan”.

Yang ia lakukan tidak menentang drama tradisional yang menghina agama tersebut, melainkan mendirikan masjid sederhana. Anak-anak kecil ia ajari Islam. Target antaranya ialah menyiapkan anak-anak itu menjadi generasi Islam masa depan. Sedangkan target utamanya adalah melunakkan hati orangtua mereka dan membuat kampung itu menjadi desa santri.

Maka, tatkala pembantaian kaum komunis terjadi, ia pasang badan melindungi penduduk desa sembari mengatakan dengan lantang di hadapan pasukan pembunuh: “Lho, siapa yang nanti akan shalat di masjidku jika kalian membunuh mereka?”

Setelah berhasil melindungi penduduk desa dari pembantaian massal, Mbah Liem masih harus menghadapi gempuran kekuatan hitam dari alam lain. Alhamdulillah, dengan riyadlohnya, Mbah Liem berhasil menetralisir kekuatan negatif tersebut.

Kisah tersebut saya nukil dari “Urban Sufism”, yang ditulis oleh Martin Van Bruinessen dkk., (hal. 184).

Cara Mbah Liem melindungi umatnya dengan cara yang khas saya kira juga saya dengan yang dilakukan Mbah Kakung saya. Kiai Syafawi, mbah kakung saya, kabarnya, menjadi target bunuh PKI. Bahkan, pusat aktivitas Gerwani lokasinya tidak jauh dari pesantren yang dirintis kakek saya.

Ketika tentara datang ke desa “melakukan pembersihan” di akhir 1966, ibu ibu yang pernah terlibat dalam kegiatan Gerwani merapat ketakutan dan meminta perlindungan ke kakek. Oleh mbah putri saya, ibu ibu ini langsung diminta memakai kerudung (meminjam santriwati) dan diminta mengaku sebagai anggota Muslimat NU agar lolos dari target tangkap TNI AD. Para pemuda dan pengurus PNI juga merapat ke simbah kakung karena khawatir ditangkap karena disangka PKI. Aksi penyelamatan ini kemudian memiliki efek: anak-anak dari perempuan yang disangka Gerwani dan PKI dipondokkan di pesantren simbah. Pakde saya, Pak Matrai, yang pernah aktif di Hizbullah kemudian berdinas di TNI AD bahkan pernah menyebutkan nama-nama mata-mata KNIL di desa kami sekaligus membisikkan nama-nama eks “Anggota Pe-Ka-I” yang anak-anaknya dipondokkan di pesantren simbah.

Selain Mbah Liem dan Kiai Syafawi, kiai pesantren lain juga banyak yang melakukan hal yang sama. Melakukan “penyelamatan” dengan caranya masing-masing. Mereka sadar betul, kalaupun orangtua bersalah, menghukum dan menstigma anaknya bukan tindakan tepat.

####

Mesin skrining Orde Baru sangat kejam. Litsus bergerak mencari anggota PKI maupun yang terlibat kegiatan PKI, sebagaimana Gestapo-nya Nazi mencari jejak-jejak Yahudi untuk dimusnahkan, sebagaimana polisi rahasia Stalin mencari pengikut Trotski untuk dieksekusi. Di era Orde Baru, Sukarnois dan simpatisan PNI juga ikut digulung, sengaja maupun tidak, berdasarkan data maupun hanya berdasarkan asumsi dan fitnah belaka. Sedangkan stigma “anak Pe-Ka-I” dengan kejam menempel kepada siapapun yang ayah, pakde, paklik, bude, kakak, atau siapapun kerabat yang digilas mesin politik Orba. Stigma sosial-kultural ini sangat menyiksa dan menghambat perkembangan psikis dan karier sebagian dari mereka yang dituduh “anak Pe-Ka-I”. Stigma ini telah mengharamkan mereka menjadi birokrat, tentara, hingga politisi.

Dari sekian banyak anak yang terstigma, tersebutlah Okky Asokawati. AKBP Anwas Tanuamijaya, ayah Okky, adalah perwira polisi yang didakwa terlibat G-30S/PKI. Okky masih balita saat ayahnya dipenjara. Ketika masih SD hingga SMA dia kerap dirisak karena status ayahnya. Tapi dia tetap berusaha tegar dan bisa melepaskan masalah tersebut dengan cara fokus pengembangan dirinya pada aspek modelling. Kelak, dia dikenal sebagai model papan atas dan pasca reformasi dia menjadi anggota DPR dari Fraksi PPP, hingga saat ini.

Okky memang tidak sefrontal gaya Ribka Tjiptaning Proletariati, sesama anggota dewan (dari PDI-P), yang dengan berani memilih judul bukunya, “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Namun, kalau boleh dipertautkan, keduanya berjuang melawan stigma masa lalu.

Keduanya masih kecil saat peristiwa G30-S/PKI terjadi, sebagaimana Prabowo Subianto masih menjelang akil balig saat ayahnya didakwa terlibat PRRI/Permesta, sebagaimana pula saat Danu Muhammad Hasan, ayah Hilmi Aminuddin (eks Majelis Syuro PKS), ditengarai sebagai Panglima DI/TII, maupun Andi Muzakkar alias Andi Cakka dan Aziz Qahar Muzakkar berhasil menjadi pejabat di Luwu dan anggota DPD RI meskipun keduanya adalah putra Kahar Muzakkar.

Mereka adalah anak-anak yang belum memahami sepenuhnya peristiwa yang menimpa ayahnya, dan belum mengerti stigma sebagai “anak pemberontak” saat ayahnya terlibat dalam peristiwa dan intrik politik yang membuat keluarganya terstigma negatif.

Mereka bertahan dan bangkit dengan caranya masing-masing sembari tetap berusaha menjadi warga negara yang baik dan tidak mengulang “kesalahan” ayahnya.

Wallahu A’lam Bisshawab

*) Rijal Mumazziq Z, aktivis muda NU Surabaya