Yang Lebih Penting dari Sengketa Logo HUT RI Mirip Salib

Yang Lebih Penting dari Sengketa Logo HUT RI Mirip Salib

Yang Lebih Penting dari Sengketa Logo HUT RI Mirip Salib

Untuk kesekian kalinya, meskipun sebentar lagi HUT RI ke-75, namun Indonesia masih dikelilingi oleh isu-isu yang sama sekali belum menunjukkan kedewasaan yang signifikan. Isu-isu ini merentang mulai dari hal yang simbolik seperti interpretasi desain: kasus Rahmat Baequni dan Masjid As-Safarnya Ridwan Kamil, dan baru-baru ini, kasus desain logo HUT RI ke-75 yang dianggap mengandung salib, hingga ke hal yang subtansial seperti persoalan konsistensi pemaknaan Pancasila dan persoalan komitmen terhadap rakyat yang akhir-akhir ini banyak mengundang kecurigaan.

Isu subtansial seperti yang telah disebutkan di atas minim mendapat sorotan dari kalangan umat Islam karena: (1) oligarki memanfaatkan antagonisme kelompok islamis dan kelompok nasionalis untuk membatasi mana yang Pancasila dan mana yang tidak, (2) bahkan secara daring pun pemahaman kita tentang apa itu Indonesia, Nasionalisme dan apa itu Pancasila terbelah menjadi kubu pemahaman islamis dan kubu paham nasionalisme chauvinistik. (3) dengan demikian, maka tidak ada kelompok ataupun paradigma yang secara lugas menempatkan kedewasaan beragama dan kritis terhadap pemerintah untuk mengurai isu-isu subtansial. Sebagian umat islam lebih suka menggeluti perkara dominasi simbolik dibanding perkara inti.

Isu simbolik seperti desain dan estetika, berulang kali menjadi sasaran bagi sebagian komunitas muslim yang minim wawasan tentang rumpun ilmu visual interpretatif seperti semiotika, hermeneutika, ataupun kaidah desain komunikasi visual, dan sejenisnya. Keterbatasan wawasan ini berpengaruh besar bagi kehidupan berbangsa.

Hal-hal yang memuat representasi identitas umum (ke-Indonesia-an) dipermasalahkan karena tidak sesuai dengan halusianasi konspiratif yang bercampur dengan keagamaan yang sempit. Pada lingkup yang lebih besar, sebagian umat islam akhirnya menjadi kelompok mayoritas yang impulsif, narsis simbol dan minim kontribusi yang subtantif.

Gugatan terhadap simbol/desain telah terjadi berulang-ulang dengan kadar sentimen yang bervariasi. Jika mempertimbangkan posisi umat Islam sebagai mayoritas, mempertimbangkan hubungan corak beragamanya dengan profil demografinya, dan mempertimbangkan selisih proporsi umat Islam yang belajar Islam lewat institusi yang kredibel dan umat islam yang belajar Islam  lewat Google. Maka, pertanyaan “umat Islam di Indonesia sedang mengarah pada karakter mayoritas yang hipokrit-konspiratif atau kritis-demokratis?” adalah PR kita bersama.

Konsekuensinya, di usia Indonesia yang menjelang 75 tahun, ada dua kemungkinan skenario. Pertama, jika umat islam di Indonesia menjadi mayoritas yang berkarakter hipokrit-konspiratif, maka dapat dikatakan bahwa selama 75 tahun merdeka, Indonesia masih membiarkan critical thinking menjadi piranti yang dinikmati oleh minoritas. Padahal tantangan zaman saat ini sangat sukar dijawab jika hanya mengandalkan agama semata.

Dalam kasus tuduhan bahwa logo HUT RI 75th mengandung salib misalnya: kasus ini bermula dari gugatan ormas Dewan Syariah Kota Surakarta. Namun, di Twitter, amplifikasinya bercampur antara akun persona, bot, dan fanpage kolektif yang satu ideologi. Artinya, bahkan perdebatan publik pun tidak kebal dari intervensi mesin dan anonimitas.

Dengan memandang bahwa semua konten digital yang selaras/bertentangan dengan Islam adalah mengandung muatan transeden, boleh jadi malah membawa kita pada kekacauan dalam menyikapi kenyataan. Yang ternyata, boleh jadi, ummah yang mayoritas itu imannya adalah hasil bentukan rekayasa algoritmik.

Di samping itu, sensitifnya umat Islam terhadap simbol yang terus terjadi berulang-ulang juga berkaitan erat dengan adanya perasaan termarjinalkan dan kecemburuan yang tidak lekas sembuh terhadap kue sosial-ekonomi yang sebagian besar dinikmati oleh agama Kristen dan etnis Cina. Sehingga memunculkan dorongan untuk mendominasi ranah simbolik sebagai penanda superioritas, yang sebenarnya hanya menutupi rasa insecure.

Perasaan ini seperti duri dalam daging, dan terus direproduksi dan dibagikan ke anak-anak muda lewat narasi-narasi antagonistik, perindu masa lalu kejayaan Islam, narsis simbol, dan selalu mengklaim kedaulatan ummah namun tidak diimbangi dengan kompetensi yang memadai untuk menyambut kedaulatan yang diimpikan.

Jika umat Islam ternyata komitmen untuk menjadi mayoritas yang hipokrit-konspiratif, maka, pertama, komitmen tersebut memperkuat keinginannya untuk menjadi bagian masyarakat yang merintangi kemaslahatan dan kepentingan umum yang lebih luas. Kedua,  menjadi batu sandungan bagi demokrasi di Indonesia. Karena syarat minimal sehatnya demokrasi adalah: mampu mengolah informasi, mampu menyampaikan pendapat secara teliti, mau mendengar dan memperlakukan orang lain dengan egaliter. Ketiga, umat Islam akhirnya menjadi buih. Banyak massa-nya, namun impulsif sekaligus hobi berkerumun namun enggan mengikuti tata proses demokrasi.

Sementara itu, skenario yang kedua. Jika umat Islam memilih menjadi mayoritas yang berkarakter kritis-demokratis, maka minimalnya, Indonesia tidak perlu lagi direpotkan isu sejenis hantu PKI, sentimen terhadap Cina, demagogi berkedok ulama/ustadz, ataupun masalah dominasi simbolik yang tidak ada kaitannya dengan kemajuan Indonesia dan kepentingan umum. Dan yang paling utama adalah, umat Islam bisa menyembuhkan rasa insecure-nya dengan pengembangan kompetensi diri ataupun kelompok yang memadai sekaligus relevan dengan tantangan zaman.

Pada lingkup yang lebih luas, Islam di Indonesia dapat terbebas dari penjual emosi, pemelintir ayat, dan ustadz alumni Google yang mengeksploitasi agama untuk menciptakan kerumunan yang mudah berhalusinasi karena urusan simbol, sehingga bisa fokus ikut berkontribusi mengurai masalah yang subtansial. Misalnya seperti, mengawal demokrasi, mengawasi kebebasan berpendapat, menemani kelompok minoritas, menjaga kelestarian alam, sadar akan ketimpangan sosial-ekonomi yang membelit ras/etnis/suku/agama tertentu dan yang tidak kalah penting adalah, memprediksi masa depan.

Dengan demikian, dibanding menjadikan logo HUT RI ke-75th sebagai ladang isu partisan atau sekedar sebagai selebrasi yang berhenti pada tagline, akan lebih berfaedah sekaligus lebih sakral jika HUT RI yang usianya tidak muda lagi ini dijadikan momen koreksi diri: apa yang masih kurang? Siapa yang belum diucapkan maaf? Apa yang masih timpang? Bagian mana yang belum sesuai? Mana yang belum adil?

Wa ba’du, mengutip salah satu karakter di Film Meteng Ulu (2020), bapaknya Irul pernah berkata: sing wis bagus dirawati, sing durung bagus dibagusi. (AK)