Salah satu potongan menarik yang terdapat dalam ayat kewajiban puasa (Al Baqarah: 183) berbunyi,“… sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” Memberi petunjuk kepada kita bahwa ibadah puasa sudah pernah diwajibkan sebelum Islam dibawa oleh baginda Rasulullah Saw.
Syeikh Al-Tanthawi dalam Al-Tafsir Al-Wasith berpendapat bahwa penyebutan soal ada kewajiban puasa atas umat terdahulu setidaknya memiliki tiga tujuan: (1) supaya ibadah puasa mendapat perhatian lebih, (2) supaya ada nuansa kemudahan dalam perintah puasa, (3) supaya ada motivasi kepada umat Muhammad Saw agar lebih giat dalam berpuasa melebihi umat terdahulu.
Manfaat-manfaat tersebut dapat diresapi lebih optimal ketika puasa umat terdahulu mampu kita ungkap. Kita dapat membandingkan kadar kesulitan antara puasa Ramadhan dan puasa mereka sehingga manfaat-manfaat menjadi relevan. Lebih dari itu, mengetahui puasa umat terdahulu akan membuka ruang dialog antar umat beragama karena memungkinkan ditemukannya sejumlah kesamaan.
Lantas, bagaimana sebenarnya bentuk puasa umat terdahulu?
Puasa sudah dikenal oleh kalangan Yahudi, Katolik, Hindu, Budha, dan agama-agama lain. Puasa masing-masing agama memiliki tata cara dan aturan yang khas. Intinya hampir sama yaitu menahan dari hal-hal tertentu kendati dengan karakteristik, waktu, dan durasi yang berbeda-beda.
Suku Quraisy juga sudah mengenal puasa Asyura’. Berdasarkan riwayat dari Aisyah, Rasulullah Saw turut memerintahkan puasa tersebut sebelum terbitnya perintah puasa Ramadhan. Saat perintah puasa Ramadhan sudah ada, puasa Asyura berubah status menjadi “hanya” sunnah.
Abu Al Fida’ mengemukakan fakta sejarah yang cukup menarik. Menurutnya puasa kaum Sabiah di Hira memiliki karakteristik yang nyaris sama dengan puasa Ramadhan umat Islam. Kaum Sa>biah berpuasa 30 atau 29 hari tergantung pada ada tidaknya hilal. Durasi puasanya juga nyaris sama yaitu sejak seperempat malam terakhir hingga tenggelam matahari. (Lihat: Al Mukhtashar fi Tarikh al Basyar, Jilid I, hal 65).
Ibnu Nadim bahkan menyebut bahwa setelah berpuasa selama 30 atau 29 hari mereka mengakhirinya dengan perayaan yang juga memiliki kesamaan nama : Idul Fitri (Lihat: Al Fhrsat,hal 319). Kedua pendapat tersebut kembali dikukuhkan oleh Jawad Ali dalam bukunya Al Mufashhal Fi Tarikh al Jazirah al ‘Arabiyah Qabla Al Islam dan Muhammad Abdul Hamid al Hamd dalam Sabiah Hiran wa Ikhwan Al Shofa. Sayang semua pendapat tersebut tidak menyebut secara gamblang pada bulan apa mereka berpuasa.
Lantas bagaimana dengan bulan Ramadhan itu sendiri?
Muhammad Khudri Bik dalam buku Tarikh Al Tasyri’ al Islami menukil catatan Ibnu Ishaq bahwa kaum Quraisy terbiasa bertahannuts (ibadah dengan menyendiri) selama bulan Ramadhan. Tidaklah mengherankan jika Muhammad Saw juga melakukan hal yang sama di bulan tersebut. Saat bertahannuts itulah beliau kemudian mendapatkan wahyu pertama.
Abdul Mutholib dan Amr bin Nafil (paman Umar Ra) yang menurut riwayat beragama Hanif (ajaran Ibrahim As) juga mengagungkan bulan Ramadhan dengan memperbanyak sedekah dan tahannuts. Artinya selain puasa itu sendiri, masyarakat Arab juga sudah memiliki pengetahuan mengenai bulan Ramadhan.
Dengan fakta di atas berarti ketika ada ayat perintah puasa Ramadhan, sudah ada semacam presuposisi atau pra-anggapan yang cukup memadai dari masyarakat Arab. Masyarakat Arab sudah memiliki pengetahuan mengenai puasa dan bulan Ramadhan. Meski sekali lagi, dengan bentuk dan karakter yang tidak sama persis.
Itulah sekelumit mengenai puasa dan Ramadhan versi umat-umat terdahulu. Tentu banyak hal yang belum terungkap. Di sinilah relevansi penggalan ayat “…sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu”. Pada hakikatnya ayat tersebut seolah memberi “kode” bagi kita untuk berkenan menelisik dan berkenalan dengan umat beragama lain. Dengan kata lain, ada semangat untuk membangun ruang dialog.
Dialog akan mempertemukan nilai-nilai universal puasa pada masing-masing agama. Sangat mungkin ada kesamaan tujuan, kendati dimungkinkan juga perbedaan tata cara. Bagi masyarakat umum hal ini dapat memperkaya nilai-nilai positif dalam kehidupan. Belum ditambah iklim toleransi yang semakin terpupuk.
Dengan demikian, apresiasi patut kita berikan kepada tokoh-tokoh masyarakat yang menggagas forum dialog umat beragama dalam moment Ramadhan ini. Bentuknya bisa bermacam-macam sesuai kreatifitas masing-masing. Usaha-usaha seperti harus didukung bukan malah dihalangi.
Sungguh kecewa ketika mendengar beberapa hari lalu ada ormas mengatasnamakan Islam menghalangi acara buka bersama umat beragama. Menganggap acara tersebut fasiq, bid’ah, atau alasan klise lainnya. Menurut saya, kelompok seperti ini adalah salah satu golongan yang oleh Mushtofa Al Ghulayaini dalam ‘Idzot an Na>syi’in dianggap berbahaya bagi agama. Kelompok yang gemar menganggap kafir, bid’ah, fasiq terhadap sesama muslim. Beliau memperingatkan kita (umat beragama) agar tidak memberi peluang lebih pada golongan semacam ini. Wallahu A’lam. []
Miftakhur Risal, Antusias terhadap kajian Islam, bahasa Arab, bola, dan film.