Penunjukkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Simbol Kebhinekaan dalam Bernegara?

Penunjukkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Simbol Kebhinekaan dalam Bernegara?

Penunjukkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Simbol Kebhinekaan dalam Bernegara?
sumber: Tempo

Indonesia sepertinya punya kabar baik, yaitu penunjukkan Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden beberapa hari lalu. Ya, Listyo ditetapkan sebagai calon tunggal kapolri yang dipilih Presiden Joko Widodo dan namanya telah diserahkan kepada DPR untuk proses penilaian lebih lanjut.

Tentu kapasitas dan integritas Listyo sebagai polisi tidak perlu dipertanyakan lagi, rangkaian jabatan dan prestasi telah ia peroleh termasuk dalam kasus penangkapan buronan Djoko Candra tahun lalu. Namun yang lebih penting untung dikaji dalam konteks hidup kebangsaan dan keberagaman adalah bahwa Listyo Sigit Prabowo adalah seorang pemeluk agama Katolik. Itulah mengapa ini menjadi angin segar bagi Indonesia yang sedang berada dalam bayang-bayang radikalisme.

Di samping mendapatkan dukungan, penunjukan Listyo Sigit juga dihujani penolakan. Gelagat ketidaksetujuan ini, misalnya, ditunjukkan oleh wakil ketua MUI, Anwar Abbas. Ia mengatakan bahwa pemilihan Listyo Sigit jangan hanya didasarkan pada pendekatan, kedekatan, dan profesionalitas saja, melainkan penunjukkan kapolri harus didasarkan pada asas kemaslahatan.

Anwar Abbas menambahkan bahwa belakangan ini hubungan pemerintah dengan umat Islam agak terganggu lantaran tuduhan bahwa pemerintah yang dianggap mengkriminalisasi ulama. Tentu argumen tersebut bisa dimengerti sebagai pesan, bahwa Jokowi hendaknya jangan menunjuk Kapolri non-Muslim karena hal itu akan mengingkari maslahat dan memperburuk citra pemerintah.

Di luar Anwar Abbas, masih banyak respon negatif di media sosial dari para kelompok Islamis yang tidak sepakat dengan penunjukkan Listyo Sigit. Mereka menunjukkan kemarahan dan kekecewaan atas penunjukkan Sigit. Dengan tuduhan praktik kriminalisasi ulama karena membubarkan HTI dan FPI, ditambah dengan penunjukkan non-Muslim sebagai Kapolri, mereka mengkonfirmasi bahwa Jokowi telah berubah menjadi musuh yang menzalimi umat Islam. Narasinya tetap, Islam sedang berada di bawah ancaman rezim.

Joko Widodo menunjuk Listyo Sigit tentu dengan beberapa misi khusus, yaitu memberantas korupsi dan radikalisme. Dalam konteks menghapus Islamis radikal, seseorang tidak serta merta memusuhi Islam secara utuh. Hal itu sebagaimana yang ditunjukkan Sigit ketika menjadi Kapolda Banten.

Pada 2016, ia pernah menjabat sebagai Kapolda Banten yang notabene wilayah kesultanan Islam dengan mayoritas penduduk baragama Islam. Bahkan di awal sebelum ia menjabat di Banten, ia ditolak oleh MUI Banten atas dasar agama. Penolakan tersebut ditandatangani oleh sejumlah ulama dalam sebuah petisi. Namun, seiring berjalanannya waktu, Sigit berhasil meyakinkan MUI Banten bahwa ia bisa menjadi sahabat umat Islam di sana, misalnya ketika ia, sebagai Kapolda Banten, mengirim tim Brimob non-senjata untuk mengawal aksi demo 414 dan 212. Tim yang dikirim Sigit adalah Tim Brimob Asmaul Husna, yang jika lihat ada sejumlah polisi yang berdzikir ketika menghadapi demonstran 414.

Di sisi lain, tentu lebih banyak dukungan masuk dalam pencalonan ini. Salah satunya, Sekretaris Jenderal Jam’iyyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) Arif Marbun yang menilai bahwa penunjukkan jenderal bintang tiga itu mencerminkan semangat kebhinekaan di Indonesia. Arif menegaskan dalam keterangan tertulis, seperti yang dilansir nasional.okezone.com (16/1/2021), bahwa terpilihnya Komjen Listyo Sigit Prabowo menjadi calon tunggal Kapolri merupakan cerminan kebhinekaan di Indonesia.

Mungkin posisi kapolri tidak semegah posisi gubernur atau presiden, sehingga penolakannya tidak terdengar masif di tengah masarakat. Namun tetap saja, disinilah letak pemikiran keagamaan yang prematur, artinya bahwa agama bukan merupakan satu-satunya alasan seseorang ditolak untuk menjadi pemimpin, khususnya di Indonesia. Kapasitas, integritas, dan profesionalitas tentu juga menjadi tolak ukur utama.

Penetapan Listyo Sigit menjadi calon tunggal kapolri menjadi media pembelajaran bagi masyarakat Indonesia, sebagai negara demokrasi sekaligus sebagai negara dengan penduduk Muslim mayoritas, bahwa non-Muslim juga memiliki hak yang sama untuk memimpin di jabatan tertinggi.

Negara hendak meneruskan semangat untuk memerangi kelompok-kelompok Islam radikal sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tito Karnavian dan Idham Asiz ketika membubarkan HTI dan FPI. Dalam diri Listyo Sigit, negara juga hendak mengatakan bahwa masyarakat secara kolektif mempunyai keinginan untuk menghapus radikalisme, bukan saja dari Islam, namun juga agama-agama non-Islam sekalipun. Bersama dengan masyarakat sipil, penunjukkan Sigit juga diharapkan mampu melindungi kelompok-kelompok minoritas yang seringkali menjadi korban penindasan di negeri bhineka tunggal ika ini.

Jika Anwar Abbas mensyaratkan penunjukkan kapolri harus sesuai dengan maslahat masyarakat Indonesia, tentu pencalonan Listyo Sigit merupakan salah satu dari beberapa agenda untuk mewujudkan masyarakat tanah air yang harmonis, toleran, dan aman, bukankan itu kemaslahatan terbaik yang bisa dimiliki oleh sebuah bangsa?