Abu Dzar berdiskusi tentang cinta sahabat yang mungkin tidak pernah kaudengar, cinta dari mereka yang berakhir dengan pengkhianatan dan berakhir dengan penemuan jati diri cinta
”Pernahkah Anda melihat orang yang berbuat jahat terhadap orang yang amat dicintainya?” seseorang bertanya pada Abu Dzar al-Ghiffari, sahabat Rasulullah SAW.
”Pernah, bahkan sering,” jawab Abu Dzar.
Lo kok bisa? ”Dirimu sendiri itu adalah orang yang paling kamu cintai. Dan kamu berbuat jahat terhadap dirimu bila durhaka kepada Allah,” jelas Abu Dzar. Itulah pengkhianatan cinta yang sesungguhnya, tambahnya.
Dengan mengacu pada pendapat Abu Dzar tadi, sebenarnya banyak di antara kita yang tega berbuat jahat terhadap ‘orang’ yang amat dicintainya. Tapi anehnya, kita — yang gemar berbuat dosa — lupa bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya merupakan perwujudan kebencian terhadap diri sendiri.
Cinta adalah fitrah yang diberikan Allah untuk semua makhluk guna mempertahankan eksistensinya. Manusia berkembang biak karena cinta. Kelestarian lingkungan menjadi kepedulian manusia karena cinta. Dan yang lebih penting, cinta — ini yang perlu kita sadari — merupakan refleksi keberadaan alam malakut yang abadi.
Itulah sebabnya, bila dua sejoli sedang dimabuk cinta, maka apa yang terbayangkan dan diangankannya, cinta mereka akan abadi. Ya, karena keabadian adalah hakikat cinta.
Tapi sayang, keabadian cinta yang diangankannya hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat duniawi, yang justru menghambat cinta malakuti. Salah satu unsur penting yang menghambat perjalanan cinta malakuti adalah cinta dunia (hubb al-dunya). Cinta dunia, dilukiskan oleh Sayyidina Ali, sebagai biang dari segala bencana. Bila hati manusia sudah terperosok dalam cinta dunia, maka logika-logika aneh pun muncul dari pikirannya.
Dalam pengajian sorogan “Al Munkiz Minad Dholal” karya Imam Ghazali tadi malam (24/9/020) di Zoom, Mursyid Ulil Abshar Abdallah menyatakan, ilmu atau logika apa pun yang ujugnya tidak mendekatkan manusia kepada Allah, adalah batil atau palsu. Ilmu hakiki atau ilmu yang sebenarnya, pasti berujung pada ‘kecintaan” terhadap Allah.
Salah satu logika batil, kata Abu Dzar, manusia amat berharap mendapat rahmat (cinta sejati) dan ampunan dari Allah. Padahal dalam hidup sehari-hari, ia amat jauh denganNya.
”Rahmat dan ampunan Allah,” tegas Abu Dzar, ”tak dihambur-hamburkan begitu saja hingga setiap orang akan mendapatkannya tanpa usaha.”
Kata Abu Dzar, setan punya senjata pamungkas, berupa godaan pada manusia untuk mengharap rahmat Allah, sementara ia terus berusaha menjauhkannya dari ibadah dan amal saleh. Korban senjata pamungkas setan ini paling suka memaafkan dirinya sendiri. Ia suka berkata: ”Rahmat Allah Mahaluas. Dosaku pasti dimaafkanNya.” Dan ia terus melakukan ma’siyat dan dosa.
Orang yang berbuat dosa, tulis Imam Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din, bukan hanya mencelakakan dirinya, tapi juga menghina Allah, karena ia menyelewengkan amanah yang telah diberikan kepadanya. Lidah dan tangan yang Allah berikan kepada manusia untuk dipakai berzikir serta beramal saleh, misalnya, ia selewengkan untuk mengumpat dan mengambil hak orang lain.
Orang macam ini, jelas mengkhianati amanat yang diberikan Allah kepadanya. Itu pengkhiantan besar kepada Sang Pencipta, kata Abu Dzar.
Tapi, jangan putus asa jika anda sampai detik ini masih mengkhianati Allah. Bertobatlah secara konsisten dan bertanggungjawab. Pasti Allah menerima tobat anda. Ampunan Allah lebih luas dari murkanya, bila manusia benar-benar taubat nasuha.
Tuhan berfirman: wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39] : 53). Subhanallah!