Aturan pengeras suara masjid kembali menuai kontroversi. Perdebatan soal aturan ini sebetulnya sudah sejak lama. Sebelum surat edaran (SE) nomor 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala dipermasalahkan, beberapa tahun lalu Jusuf Kalla juga pernah meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa tentang hukum memutar kaset pengajian dengan pengeras suara di masjid.
Permintaan ini berawal dari pengalaman pribadi JK sendiri yang merasa terganggu dengan banyaknya masjid yang memutar kaset ngaji dengan volume tinggi di waktu menjelang subuh. Selain menganggu dan menimbulkan “polusi suara”, mendengarkan lantunan al-Qur’an dari kaset juga bermasalah secara teologis, apakah orang yang mendengarkannya dapat pahala atau tidak?
Seperti halnya Menteri Agama Yaqut Qalil Qoumas, Pernyataan Jusuf Kalla pada waktu itu disebarluaskan banyak media, baik cetak ataupun elektronik, sehingga memicu perdebatan dan polemik di kalangan masyarakat. Respon mereka terhadap hal ini bisa dipilah menjadi dua: ada yang mendukung dan ada yang menolak. Orang yang mendukung berasalan bahwa memutar kaset ngaji itu bisa menganggu orang yang sedang istrahat, beraktifitas, ataupun salat. Selain itu, berkaca kepada tradisi yang dilakukan Nabi SAW, perbuatan semacam ini tidak pernah ada, alias bid’ah. Oleh karenanya, di sebagian daerah kita masih menemukan masyarakat ataupun masjid yang hingga saat ini masih enggan untuk menggunakan pengeras suara.
Sementara, orang yang kontra dengan pernyataan JK, mengkategorikan hal semacam ini sebagai bagian dari syiar Islam. Dengan diputarnya kaset pengajian atau lantunan ayat suci al-Qur’an diharapkan bisa memotivasi orang untuk mendengar Al-Qur’an dan sekaligus pengingat bahwa waktu solat akan masuk. Sehingga wajar bila kelompok ini menilai negatif dan sinis terhadap pernyataan JK tersebut. Mereka beranggapan bahwa ketika JK mengkritik pemutaran kaset ngaji, itu sama saja menunjukan sikap ketidaksukaan JK terhadap ayat suci al-Qur’an: Lah, orang mengadakan pesta musik dengan suara keras ngak pernah dilarang, kok memutar kaset ngaji malah dilarang.
Ternyata, wacana ini tidak hanya marak di Indonesia. Di negara lain pun, persoalan ini juga sempat menjadi perbincangan. Seperti yang diberitakan salah satu media international, pemerintah mesir sudah mengeluarkan regulasi tentang pembatasan penggunaan pengeras suara. Pengeras suara hanya boleh digunakan ketika azan dan khutbah jum’ah. Sedangkan, untuk kegiatan keagamaan lainnya, semisal pengajian dan lain-lain, tidak diperbolehkan menggunakannya kecuali dengan volume yang kecil dan suara dalam. Begitu pula di Arab Saudi, pemerintah meminta pengurus masjid agar memperkecil volume pengeras suara. Karena, bila dikeraskan, dikahawatirkan akan menganggu kekhusyukan orang yang beribadah di mesjid lain ataupun di rumah.
Meskipun kasus yang muncul di Indonesia, Mesir, dan Arab Saudi, berbeda, akan tetapi pada dasarnya, persoalan yang dihadapi relatif sama: yaitu bagaimana mengatur penggunaan pengeras suara masjid dalam konteks saat ini. Apakah pengeras suara itu akan digunakan untuk kepentingan kaset pengajian, ceramah agama, salat taraweh, tadarus al-Qur’an, salat berjamaah, dan kegiatan keagamaan lainnya.
Kode Etik Penggunaan Pengeras Suara
Sejak masuknya arus modernisasi ke dalam Islam, pengeras suara (microfont, speaker, toa, dan lain-lain) merupakan instrument terpenting dalam pembangunan masjid. Kurang afdal rasanya, apabila suatu masjid tidak memiliki pengeras suara. Pada awalnya, pengeras suara tidak langsung diterima dan digunakan oleh umat Islam, khususnya di Indonesia. Kehadirannya menuai perdebatan di kalangan ulama, karena ini dianggap sebagai sesuatu yang baru alias bid’ah. Bahkan, hingga saat ini masih ditemukan beberapa masjid yang enggan menggunakan pengeras suara.
Pada bulan ramadhan, penggunaan pengeras suara biasanya lebih masif ketimbang hari lainnya. Hampir semua kegiatan keagamaan membutuhkan pengeras suara, terutama bagi masjid-masjid yang menampung ribuan jamaah. Apabila penggunaan pengeras suara tidak diatur, dikhawatirkan akan memicu konflik, protes, dan ketegangan di masyarakat.
Penggunaan pengeras suara untuk kepentingan adzan, salat jama’ah, dan khutbah jum’at, tidak terlalu menuai protes dari masyarakat dan masih bisa dimaklumi. Meskipun sebagian orang juga protes dengan penggunaan pengeras suara ketika adzan. Namun yang perlu diperhatikan adalah untuk kegiatan-kegiatan semisal salat taraweh, tadarus al-Qur’an, memutar kaset pengajian, perlu dibuat semacam aturan yang dapat memberikan kemaslahatan bersama antara masjid dan masyarakat sekitarnya.
Permasalahannya bukan saja pada level hubungan masjid dengan masyarakat, tetapi juga antara satu masjid dengan masjid lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya ketika ada beberapa masjid yang berdekatan, kemudian masing-masing masjid meninggikan volume pengeras suaranya. Tindakan semacam ini tentu bisa menganggu ketenangan orang yang sedang beribadah. Oleh karenanya, di Arab Saudi, pemerintah mengeluarkan aturan agar masing-masing masjid tidak meninggikan volume pengeras suara, supaya orang yang salat di masjid lain tidak terganggu.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dijelaskan bahwa bacaan Nabi SAW ketika salat hanya sekedar terdengar oleh orang-orang yang ada di ruangannya (rumahnya), (HR: Abu Daud). Abu Daud menjelaskan bahwa hadis ini menunjukan kebolehan seseorang untuk mengeraskan bacaannya (dalam konteks salat malam) apabila hal itu tidak menganggu orang lain yang sedang tidur. Namun, jika bacaan tersebut dikhawatirkan akan menganggu, maka dianjurkan untuk merendahkan suara bacaan. Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap dari kalian sedang bermunajat kepada rabbnya, maka janganlah sebagian kalian menganggu yang lainnya. (HR Ahmad dan Abu Daud )
Kedua hadis di atas menunjukan bahwa seyogyanya seseorang menghindari perbuatan atau aktifitas yang dapat menganggu ketenangan orang lain. Aktifitas tersebut bisa dalam bentuk ibadah (ritual) ataupun non-ibadah. Artinya, jangan sampai ibadah yang kita lakukan menganggu kenyamanan orang lain dan jangan sampai pula perbuatan yang kita lakukan menganggu kekhusyukan orang yang sedang beribadah. Konsep ini bisa dijadikan sebagai pedoman utama untuk menciptakan masjid yang ramah lingkungan.
Di samping itu, untuk menghindari konflik, alangkah baiknya pengurus masjid mengajak masyarakat sekitarnya untuk berdialog. Pengurus bisa menanyakan langsung, bagaimana pendapat warga tentang kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di masjid. Apakah menganggu mereka atau tidak. Bisa jadi, maksud dari pengurus masjid baik, akan tetapi belum tentu masyarakat sekitarnya merespon dengan baik pula. Sehingga perlu adanya dialog yang bisa menjembati keluh-kesah warga dengan pengurus masjid.
Demikian pula dengan warga, perlu dikedepankan sikap saling menghargai dan memahami. Masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan, tentu mau tidak mau butuh kepada pengeras suara, untuk sosialiasasi, menyebarluaskan syiar Islam, dan lain-lain. Masyarakat juga tidak adil ketika meminta pengurus masjid untuk tidak menggunakan pengeras suara, termasuk untuk kepentingan adzan. Dengan mengedapankan sikap terbuka, dialog, saling menghargai dan memahami, diharapkan ke depannya hubungan masjid dengan masyarakat sekitarnya menjadi lebih baik dan aman.