Mengapa Aturan Volume Pengeras Suara Masjid Menjadi Penting di Negara Mayoritas Muslim

Mengapa Aturan Volume Pengeras Suara Masjid Menjadi Penting di Negara Mayoritas Muslim

Mengapa Aturan Volume Pengeras Suara Masjid Menjadi Penting di Negara Mayoritas Muslim

Menteri Agama Republik Indonesia Yaqut Cholil Qoumas membuat langkah yang cukup progresif. Gus Yaqut, begitu ia biasanya di sapa, menerbitkan surat edaran (SE) Nomor 05 tahun 2022 yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan mushola. Salah satu poin penting yang diatur dalam edaran itu adalah volume pengeras suara masjid dengan batas maksimal 100 dB (desibel) dengan suara yang tidak sumbang. Kebijakan tersebut tercantum dalam poin 2c dalam Surat Edaran Kemenag 2022.

Surat edaran itu juga mengatur pembacaan Al-Qur’an atau shalawat/tarhim sebelum azan shubuh yakni menggunakan pengeras suara luar dalam jangka waktu paling lama 10 menit. Lalu, pelaksanaan salat shubuh, zikir, doa, dan kuliah shubuh menggunakan pengeras suara dalam. Sementara sebelum azan shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shalat Jum’at, pembacaan Alquran atau shalawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar dalam jangka waktu paling lama 5 menit. Sesudah azan dikumandangkan, yang digunakan pengeras suara dalam.

Langkah reformis Menag ini merupakan respon terhadap berbagai komplain orang-orang yang terganggu terhadap suara azan yang kadang, saya tidak mengatakan semuanya, volumenya terlalu keras.

Saya, misalnya, sempat dicurhati oleh guru saya yang Katolik bahwa ia mengeluhkan suara toa masjid yang ada di sebelah tempat tinggalnya yang begitu mengganggu, terutama ketika menjelang shubuh. Saya sempat menyarankan untuk lapor kepada takmir masjid tersebut. Namun, melihat pernah ada kasus pemidanaan terkait pelaporan seperti ini ini, nyali guru saya keburu ciut sehingga mengurungkan niatnya.

Saya merasa bersalah akan hal ini. Betapa keegoisan umat Islam sangat berdampak pada psikologi umat non-Islam. Sikap eksklusivitas ini menyandera hak-hak suara minoritas yang harusnya bisa mereka ekspresikan. Maka, saya secara personal sangat mengapresiasi langkah Menag ini.

Pada dasarnya, menyampaikan keresahan seperti itu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Hanya saja, kedangkalan pikiran kita kadang langsung mengkaitkan itu dengan penghinaan terhadap Islam. Tentu kita ingat kasus Meiliana. Akibat kritiknya terhadap toa masjid, massa mengamuk dan membakar tiga wihara, delapan klenteng, dan satu balai pengobatan di Tanjung Balai. Sebagian umat Islam di kawasan sana rupanya tidak terima pada complain yang diajukan Meiliana. Masyarakat bahkan menggiringnya pada isu SARA yang berujung pidana.

Kebijakan Yaqut Cholil Qoumas itu, menurut  saya, bisa mengantisipasi dua hal tersebut. Yaitu umat  non-Islam yang terganggu, dan konflik mayoritas-minoritas yang terjadi akibat kasus toa masjid, seperti halnya perkara Meiliana. Mungkin ada yang berkata, “Mengapa peduli sekali dengan orang non-Islam, kan ini untuk urusan orang Muslim saja?” atau pernah ada seorang ustadz yang merespon, “Muslim yang baik pasti khusyuk mendengarkan.

Nah pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang justru semakin melekatkan Islam sebagai agama yang egois. Klaim-klaim tersebut yang justru semakin menjauhkan Islam dari kodratnya, yaitu agama kasih. Padahal, komplain yang datang bukan hanya dari umat non-Islam saja. Tidak sedikit umat Muslim sendiri yang mengeluhkan tentang volume azan yang kadang terlalu keras. Perlu dicatat, yang menjadi isu di sini bukanlah azannya, melainkan bagaimana penyampainnya.

Pada dasarnya kebisingan memang dilarang dalam agama. Jangankan pakai pengeras suara. Tadarus tanpa pengeras suara namun tetap mengacaukan konsenstrasi orang sembahyang saja dikecam dalam agama. Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan lebih lanjut, dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, bahwa tadarus Alquran, zikir, atau semacamnya hingga membuat polusi suara bukan saja dilarang karena dapat mengganggu orang yang sedang bersembahyang. Semua itu dilarang dan karenanya harus dihentikan atau dikurangi volume suaranya karena dapat mengganggu sebagian orang lain bahkan mengganggu orang istirahat.

Pandangan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi ini bukan tanpa dasar. Sebuah riwayat menceritakan bagaimana Rasulullah yang sedang beritikaf menegur orang yang membaca Al-Quran dengan suara lantang sehingga ibadah itikafnya terganggu sebagaimana hadis berikut ini:

  عن أبي سعيد قال اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ

“Dari Abu Said, ia bercerita bahwa Rasulullah SAW melakukan itikaf di masjid. Di tengah itikaf ia mendengar mereka (jamaah) membaca Al-Quran dengan lantang. Rasulullah kemudian menyingkap tirai dan berkata, ‘Ketahuilah, setiap kamu bermunajat kepada Tuhan. Jangan sebagian kamu menyakiti sebagian yang lain. Jangan juga sebagian kamu meninggikan atas sebagian lainnya dalam membaca.’ Atau ia berkata, ‘dalam shalat,’” (HR Abu Dawud).

Dalam pengertian ini, segala aktifitas syiar yang dilakukan di masjid, seperti memutar kaset kajian, memutar shalawat Nabi, tadarus Alqur’an tetap masih boleh dilakukan. Akan tetapi, pengurus masjid tentu perlu mempertimbangkan sebagian masyarakat yang sedang sakit, orang perlu istirahat, lansia yang membutuhkan ketenangan, pelajar yang membutuhkan konsentrasi untuk belajar, atau pekerja yang memerlukan suasana kondusif tanpa polusi suara.

Dalam hal ini, Menag sudah melakukan hal yang tepat. Meskipun Surat Edaran tersebut hanya mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan mushola, namun tentu saja prinsipnya tidak hanya berlaku untuk pengeras suara rumah ibadah. Melainkan juga anggota masyarakat, instansi negara maupun swasta yang ingin menggunakan pengeras untuk pelbagai kepentingan. Pada prinsipnya, boleh saja asal tidak mengganggu orang lain.