Menakar Kedewasaan Beragama Kita: Dari Toa Masjid Hingga Analogi Gonggongan Anjing

Menakar Kedewasaan Beragama Kita: Dari Toa Masjid Hingga Analogi Gonggongan Anjing

Menakar Kedewasaan Beragama Kita: Dari Toa Masjid Hingga Analogi Gonggongan Anjing

Kebijakan Menteri Agama tentang pengaturan volume toa masjid dan mushola menjadi topik yang hangat dibicarakan sepekan  terakhir. Masyarakat saling bertukar info Surat Edaran Nomor SE 05 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara (toa) di masjid dan musala oleh Menag, Yaqut Cholil Qoumas.

Surat edaran tersebut menuai banyak respon dari berbagai pihak. Opini pro dan kontra turut mewarnai perjalanan Menag dalam mensosialisasikan aturannya. Salah satu yang mendukung beralasan bahwa hal itu demi kenyamanan dan keharmonisan antar-warga dan antar-umat beragama. Aturan Menag, dengan demikian, dilihat sebagai upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk.

Meski begitu, tidak sedikit juga yang menjadi antagonis. Mereka yang menentang berkata atas nama syiar dan dakwah Islam, agar kaum muslimin dapat beragama dengan lebih baik. Kritik itu, misalnya, datang dari komunitas Muslim tradisional komunal, yang relatif memiliki penerimaan positif terhadap tradisi melantunkan azan, zikir, atau pengajian dengan suara keras melalui speaker masjid.

Belakangan, topik yang mulanya hanya membahas seputar kebijakan pengaturan volume toa masjid, bergeser jadi tuduhan penistaan agama oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Hal itu bermula dari video penjelasan Yaqut saat ditanyai soal aturan azan di Gedung Daerah Provinsi Riau pada 23 Februari lalu. Menag Yaqut menjelaskan bahwa aturan tersebut dibuat untuk membuat masyarakat semakin harmonis, meningkatkan manfaat, dan mengurangi mafsadat.

Ia mencontohkan bahwa di daerah mayoritas Muslim, jarak seratus-duaratus meter terdapat musala-masjid, kemudian dalam waktu bersamaan menyalakan toa keras-keras. Yaqut kembali mengajak kita membayangkan jika seorang Muslim, hidup di lingkungan non-muslim, kemudian mendengar bunyi toa rumah ibadah mereka, sehari lima kali, dengan kencang secara bersamaan. Lebih lanjut, ia mengilustrasikan jika kita hidup di dalam satu kompleks yang kiri-kanan, depan-belakang, memelihara anjing dan menggonggong dalam waktu bersamaan. Apakah kita tidak terganggu?

Nahas, penjelasan Gus Yaqut yang diharap memberi pemahaman kepada khalayak itu justru menyentil saraf emosi publik yang kadung negatif. Dipikirnya, seorang Menag memadankan toa masjid dengan gonggongan anjing. Sebagian orang kemudian merasa tersinggung.

Topik toa masjid dan gonggongan anjing menjadi bahan gunjingan dan rundungan. Banyak meme dan berbagai macam komentar tak berdasar yang isinya menyudutkan Yaqut di dalam Twitter. Tagar ‘Tangkap Yaqut’ menjadi trending di Twitter dengan capaian dua puluh empat ribu lebih cuitan, beberapa hari lalu. Buntutnya adalah pelaporan kelompok masyarakat yang ada di Riau kepada Polda Riau untuk Yaqut atas delik aduan penistaan agama. Pertanyaan mendasar yang muncul dari sini, perlukah hiruk-pikuk ini muncul dalam menyikapi persoalan yang semula hanya berkisar tentang pengaturan volume toa masjid?

Sudah menjadi rahasia umum jika cara beragama masyarakat kita pada umumnya (khususnya umat muslim) lebih cenderung mengutamakan emosi ketimbang pemahaman menyeluruh, terutama tentang isu yang berkaitan dengan agama. Beberapa keywords yang muncul, seperti ‘toa masjid’ dan ‘gonggongan anjing’, langsung dikait-kaitkan tanpa mempedulikan konteks dan konotasi yang tertanam di dalam ungkapan utuhnya. Masyarakat kita terkesan sangat sensitif terhadap setitik noktah yang berhubungan dengan agama, salah sedikit, melayanglah pengaduan penistaan agama.

Seperti yang terjadi pada tahun 2021 kemarin, ketika artis Zaskia Adya Mecca dihujat oleh warganet lantaran berkomentar, lewat Instagram pribadinya, tentang kerasnya suara toa masjid saat membangunkan sahur. Yang memprihatinkan adalah kasus yang menimpa Meiliana pada 2016, warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara yang terkena vonis penistaan agama atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya. Padahal dalam kronologinya, ia hanya mengeluhkan pengeras suara azan dari masjid kepada tetangganya, dan meminta untuk menyampaikan keluhan tersebut kepada BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) yang berjarak tujuh meter dari rumahnya itu agar mengecilkan volume azan.

Padahal, sejatinya aturan penggunaan pengeras suara masjid telah lama diatur oleh Kementerian Agama (Kemenag) dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor KEP/D/101/1978. Selain itu, Kemenag juga beberapa kali mengeluarkan surat edaran yang isinya kurang lebih tentang pengaturan volume toa masjid, seperti Surat Edaran Nomor B.3940/DJ.III/Hk.007/08/2018 dan Surat Edaran Nomor SE 05 Tahun 2022. Beberapa tokoh politik kita pun pernah membahas hal serupa. Katakanlah Gus Dur yang mengkritik kebisingan suara toa masjid melalui esai berjudul Islam Kaset dan Kebisingannya yang diterbitkan oleh Tempo pada 1982. Ada pula mantan wakil presiden, Jusuf Kalla, yang secara lugas meminta agar suara azan masjid jangan terlalu keras saat dimintai respons tentang kasus toa masjid Meiliana. Selain itu, Jusuf Kalla yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) juga mengungkapkan fakta bahwa 75% sound system masjid di Indonesia memiliki suara jelek dan bising, bisa didengar tapi tidak dimengerti.

Dari beberapa contoh kasus tersebut, banyak orang masih berada dalam level emosional dalam pengambilan keputusan yang mereka lakukan. Pembacaan persoalan yang masih cacat lantaran tidak lengkap, tidak menyeluruh, dan terbawa arus emosi, tanpa sadar membuat mereka abai dengan fakta-fakta yang terhampar di depan mata. Padahal dalam Islam, kita diajarkan untuk tidak gegabah dalam merespon suatu hal.

Al-Quran, mengenai hal ini, menjelaskan dalam ayat pertama surah al-A’laq,

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ

Kata pembuka اِقْرَأْ secara harafiah dimaknai sebagai ‘bacalah’. Hal yang harus dicermati adalah, Allah menurunkan ayat itu di saat Nabi Muhammad ada dalam posisi tidak bisa membaca (ummy). Dari sinilah terbentuk bahwa pemaknaan اِقْرَأْ tidak semata diartikan membaca objek ‘tulisan’ saja.

Menurut Quraish Shihab, kata اِقْرَأْ mempunyai arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya. Karena objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik bacaan suci yang bersumber dari Tuhan, maupun bukan, yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Melalui ayat ini, Allah memandu kita untuk mengetahui kebenaran melalui pembacaan terhadap ayat-ayat tentang-Nya, yang tidak hanya termaktub di dalam Al-Quran, tapi juga yang tersebar di seluruh alam semesta. Untuk dapat memahami hal ini, kita diminta untuk membaca, tidak hanya kepada yang kasat mata, tapi lebih pada yang lebih esensial.

Dalam pengertian lain, kita memiliki kewajiban memfungsikan akal yang sudah diberkahi oleh Tuhan, untuk mengurai informasi dan pengetahuan. Keterampilan ‘membaca’ di zaman teknologi informasi dan komunikasi saat ini merupakan hal yang urgen dan mendasar. Pembacaan yang tak hanya pada tulisan, melainkan juga pembacaan fenomena, pembacaan kasus, pembacaan terhadap diri sendiri, dan pembacaan fakta-fakta yang terhampar di depan pelupuk mata. Karena segala hal yang ada di dunia ini adalah teks yang harus dibaca dan dimengerti.

Diakui memang tidak mudah menjadi manusia yang mampu melihat dan membaca segala hal secara holistik di tengah lingkungan peredaran informasi yang membanjir, sepotong-sepotong, dan penuh pembingkaian. Adanya buble filter algoritma internet, tren membagikan, dan produksi video singkat di platform Tiktok, short Youtube, dan reels Instagram, agaknya membuat perputaran informasi jadi semakin riuh dan keruh. Menjadi manusia yang mampu melihat fenomena dan membacanya secara utuh dan menyeluruh, ibarat jihad memerangi kebodohan yang ada di dalam diri sendiri. Tidak mudah, tetapi bukan hal yang tidak mungkin dilakukan.

Andaikan kita telah mampu mengedukasi diri dan menaikkan pemahaman kita ke level yang lebih tinggi dari sebelumnya, tentu kita akan menjadi dewasa dan mampu memutuskan sesuatu hal dengan bijaksana. Tentang cara beragama dan bagaimana kita bersikap, tentunya, bahasan kita tidak lagi berputar pada topik tinggi-rendah volume toa masjid. Emosi kita tidak akan mudah terpancing dengan hal receh seperti analogi gonggongan anjing. Apakah kita sudah dewasa dalam beragama? Mari berkaca.