Protes Zaskia Mecca Soal TOA Waktu Sahur itu Tidak Berlebihan kok, Harusnya Jadi Bahan Instropeksi Kita Sebagai Muslim

Protes Zaskia Mecca Soal TOA Waktu Sahur itu Tidak Berlebihan kok, Harusnya Jadi Bahan Instropeksi Kita Sebagai Muslim

Soal TOA Masjid yang diprotes oleh Zaskia Mecca adalah problem serius yang harus disikapi sebagai muslim, biar agama kita tetap relevan dan memberi kenyamanan

Protes Zaskia Mecca Soal TOA Waktu Sahur itu Tidak Berlebihan kok, Harusnya Jadi Bahan Instropeksi Kita Sebagai Muslim
Pasangan Zaskia Mecca dan Sutradara Hanung Bramantyo sedang berbincang, Pillow Talk. Source by Youtbe The Bramantyo

Aktris Zaskia Mecca  mengeluhkan metode membangunkan sahur yang menurutnya sangat mengganggu. Hal ini tentu menjadi masukan yang berharga agar TOA masjid/musholla harus diatur sedemikian rupa. Kritik itu bertujuan baik dan sebagai intropeksi ktia sebagai muslim sekaligus mengurai debat lawas: toa masjid emang harus diatur banget ya atau justru enggak?

Di kampung saya ada seorang takmir masjid bernama Man (paman) Darum. Perawakannya kecil, namun punya suara lantang yang menggelegar. Setiap bulan Ramadhan, Man Darum adalah orang yang sangat giat membangunkan warga menggunakan pengeras suara masjid.

“Sahuuurrrrrrrrr”. Suara ‘r’ yang panjangnya seperti komentator sepak bola membuatnya begitu unik.

Ketika Man Darum tidak ke masjid, selalu ada yang bertanya, apakah ia sakit? Kok sampai tidak ada suaranya? Orang tua saya juga bertanya-tanya jika sampai setengah jam sebelum imsak belum ada panggilan sahur dari masjid yang jaraknya hanya seratus meter dari rumah.

“Kok tumben jam segini belum sahur-sahur.”

Man Darum mulai membangunkan warga satu jam sebelum imsak. Terkadang, ia menyebut satu persatu warga sekeliling masjid.

“Pah Jon, sahur. Bu Satiran, sahur. Pak Tarib, sahur. Ayo semua kita sahurrrrrr.”

Pernah satu waktu keluarga saya telat sahur. Beberapa menit menjelang imsak baru bangun. Kami kompak ‘menyalahkan’ Man Darum karena kebetulan pada hari itu ia tidak membangunkan warga.

Man Darum akan membaca ayat-ayat Al-Qur’an sembari menunggu saat dia akan berteriak-teriak lagi. Bacaannya cukup merdu di usia yang sudah menginjak kepala enam. Ia akan membaca dengan suara yang ‘ngegas’ sehingga di hari kesepuluh suaranya mulai serak.

Begitulah Man Darum. Ia bertilawah setiap lima waktu beberapa menit sebelum azan. Ia selalu adzan Magrib, Isya, dan Subuh. Terkadang ia juga adzan waktu Dzuhur dan Ashar. Ia juga akan mengimami waktu-waktu salat tersebut. Termasuk hari raya Idul Fitri dan Idul Adha di saat suaranya sudah nyaris hilang dari kerongkongan. Ibaratnya pita suaranya sudah ngelokrok.

Suasana demikian saya rindukan ketika saya merantau ke luar daerah. Terlebih ketika saya sedang menginap di rumah teman.

Pernah ada yang Ramadhannya sangat sunyi, lalu tiba-tiba terdengar suara kresek-kresek dari masjid. Diputarlah lagu nasyid. Terkadang tilawah yang suaranya tidak ngebas sama sekali. Dan itu dilakukan jauh dari waktu imsak!

Jujur. Saya yang biasa dan bahkan merindukan teriakan Man Darum tiba-tiba merasa jengkel. Apaan sih tengah malam memutar nasyid dan kaset yang sudah kemeresek seperti itu? Mengapa tidak takmirnya saja yang membangunkan? Dan mengapa secepat ini?

Pernah pula bertamu ke teman yang lain. Suara membangunkan sahurnya nyaris tanpa adab. Sesekali ada suara cekikikan. Ada pula yang menyanyikan lagu sahur dengan aransemen lagu-lagu dangdut yang salah nada sehingga saya yang suka dangdut semakin pegal dibuatnya.

Perbandingan Man Darum dengan beberapa tempat yang saya kunjungi itu ibarat mendengarkan komentator sepak bola Peter Drury dengan komentator lokal yang diksi-diksinya entah bagaimana itu. Alih-alih ingin menyimak, aksi sebagian pengurus masjid itu justru membuat saya ingin berkata ‘menengo!

Tentu saja setiap orang punya caranya sendiri. Namun cara apapun seharusnya tetap mempertimbangkan kenyamanan warga.

Pada sepertiga malam ada banyak orang-orang yang masih beristirahat. Banyak pula yang sedang menunaikan ibadah salat sunnah. Jika sebagian orang menggunakan pengeras suara namun tidak ‘beradab’ seperti itu tentu mengganggu.

Jusuf Kalla pernah mengutarakan keberatan ini pada 2018 silam. Ia meminta agar suara pengeras masjid digunakan secara bijak. Begitu juga dengan kegiatan-kegiatan lain yang menggunakan pengeras suara. Termasuk membangunkan sahur.

Seruan ini sangat wajar melihat beberapa faktor. Pertama, ada banyak orang yang secara syar’i tidak membutuhkan suara-suara itu, mulai orang jompo, orang yang sakit, orang yang tidak beragama Islam, dan lain sebagainya. Kedua, suara TOA di banyak masjid masih sangat berlebihan dengan kualitas yang seringkali menyakitkan gendang telinga. Bunyi ‘nging’ dan gangguan lain tentu sangat mengganggu.

Pada tahun 1982 KH. Abdurrahman Wahid pun pernah mengkritik suara dari masjid ini, lebih-lebih yang disuarakan hanya menggunakan kaset, sementara takmir masjidnya kembali tertidur pulas. Agaknya, pemangku kepentingan harus mulai mengatur penggunaan pengeras suara agar seruan ibadah tidak justru menjadi musibah.

Maka, yang dilakukan aktris Zaskia Mecca ketika mengeluhkan metode membangunkan sahur yang menurutnya sangat mengganggu. Hal ini tentu menjadi masukan yang berharga agar TOA masjid harus diatur sedemikian rupa. Yang dikritik Zaskia Mecca adalah caranya, bukan tujuan yang baik itu sebagai pengingat sahur. Merisak Zaskia Mecca tentu membuat kita jadi buruk. Muslim kok anti kritik

Tradisi membangunkan sahur di Indonesia memang sangat beragam. Di kampung-kampung Yogyakarta saban jam 3 dini hari puluhan pemuda keliling kampung dengan drum band dan kentongan. Di Gorontalo ada tradisi Koko’i Sahur di mana warga berkeliling membunyikan kentongan dan alat dapur. Di daerah lain selalu memiliki cara masing-masing.

Namun perlu dipastikan bahwa tradisi-tradisi tersebut sudah menjadi konsensus sehingga semua pihak memahami bahkan bisa merayakan.  Sosialisasi ke warga sekitar menjadi hal yang harus dilakukan jauh hari sebelum puasa. Sementara sikap arogan yang mengatasnamakan ibadah hanya membuat kita jauh dari substansi berpuasa untuk menjadi orang yang bertakwa.

Wallahua’lam.