Polusi Suara dari Toa Masjid: Antara Dominasi Islam dan Intoleransi Beragama

Polusi Suara dari Toa Masjid: Antara Dominasi Islam dan Intoleransi Beragama

Di Arab Saudi, negara dengan mayoritas muslim itu turut membatasi penggunaan toa masjid. Pengeras suara ke luar hanya dibolehkan untuk azan, salat Jumat, salat Ied, dan salat minta hujan.

Polusi Suara dari Toa Masjid: Antara Dominasi Islam dan Intoleransi Beragama

Kritik dari artis Zaskia Adya Mecca terhadap penggunaan pengeras suara masjid untuk membangunkan sahur pada bulan Ramadhan 1443 H/2021 patut menjadi teguran bagi pengelola masjid. Jika tidak digunakan semestinya, kebisingan akibat toa masjid dapat menjadi polusi suara, mengganggu ketentraman masyarakat, serta mengaburkan poin kecil dari toleransi keagamaan.

Keresahan Zaskia terhadap toa masjid sebenarnya bukan perkara baru di Indonesia. Pada 2016, perempuan keturunan Tionghoa bernama Meiliana juga pernah mengkritik toa masjid di Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Berbeda dari Zakia Mecca, kasus Meiliana lebih dramatis, pasalnya, ia merupakan perempuan keturunan Tionghoa yang merupakan warga minoritas di Indonesia. Akibat kritiknya, ia dilaporkan telah melanggar pasal penistaan agama, yang berujung pidana penjara selama 1,5 tahun.

Saya membayangkan, bagaimana jika yang mengkritik toa masjid di Ramadan kali ini bukan Zaskia Mecca, bukan artis, bukan pula perempuan muslimah. Bagaimana jika yang mengkritiknya adalah warga non-muslim di Indonesia, akan seperti apa respons umat Islam?

Bagaimanapun juga, sebagaimana disampaikan Zaskia Mecca, bukan hanya umat Islam yang mendengar [atau terganggu karena] imbauan sahur itu, melainkan juga seluruh penduduk yang berada di sekitar masjid, termasuk warga non-muslim.

Apabila menengok lagi perkara Meiliana, akibat todongan penistaan agama itu, massa mengamuk dan membakar tiga wihara, delapan klenteng, dan satu balai pengobatan di Tanjung Balai. Sebagian umat Islam di kawasan sana rupanya tidak terima pada kritik toa masjid, kemudian mengggiringnya pada isu SARA.

Padahal, pada 1978 Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama sudah mengeluarkan aturan mengenai penggunaan toa di masjid. Di antara poin aturan itu, disebutkan bahwa pengeras suara ke luar masjid digunakan untuk azan. Sementara, jika ingin berdoa, digunakan pengeras suara dalam masjid, tanpa meninggikan suara.

Dalam kasus pengeras suara juga, baik ke luar masjid atau dalam masjid, yang diutamakan adalah suara yang merdu, fasih, dan enak didengar. Sementara itu, di pos Instagram Zaskia Mecca, jelas sekali (dalam selera saya) bahwa suara yang muncul tidak ramah di telinga.

Aturan pengeras suara itu kemudian diperbaharui lagi dengan Surat Edaran (SE) No. B.3940 Tahun 2018 dari Dirjen Bimas Islam mengenai penggunaan pengeras suara di masjid. Salah satu poin itu di SE itu menyatakan bahwa pengelola masjid mesti sadar mengenai etika bertetangga sesuai teladan Rasulullah Saw. untuk menghormati jiran. Polusi suara akibat pelantang masjid yang ngawur dapat mengganggu keutuhan hidup bertetangga.

Patut diingat, salah satu tujuan pelantang suara adalah untuk menimbulkan kecintaan dan simpati pada kegiatan ibadah Islam, bukannya mengesankan ketidaktertiban, atau malah menjengkelkan.

Lalu, bagaimana dengan tradisi unik di beberapa daerah di Indonesia untuk membangunkan sahur, apakah juga mengganggu ketenangan? Sebagai misal, tradisi berkeliling dengan memukul kentungan di waktu sahur, ngarak beduk, membawa alat musik berkeliling kampung sembari meneriakkan kata-kata sahur untuk membangunkan penduduk.

Tentunya, tradisi itu lahir dari kesepakatan penduduk di masa lalu. Asumsinya, di masa silam, pekerjaan tidak terikat jadwal secara ketat. Meskipun waktu tidur dan istirahat terganggu, tidak akan berpengaruh besar pada produktivitas kerja.

Namun, seiring perkembangan zaman, cara kerja penduduk juga bergeser, tidak hanya bersandar pada pekerjaan agraris dan dagang saja. Karena itulah, tradisi membangunkan sahur itu patut dipertimbangkan ulang.

Kini, di daerah perkotaan, orang-orang semakin disiplin dan banyak yang harus bangun pagi secara teratur, belum lagi yang memiliki bayi kecil, seperti Zaskia Mecca, menjadi terganggu dengan imbauan sahur yang terlampau nyaring dari masjid.

Selain itu, beberapa masjid juga sudah melantangkan suaranya sejak pukul 03.00 pagi. Padahal, sebagian muslim ada yang ingin mengakhirkan sahur hingga mendekati imsak. Waktu istirahat mereka pun terusik. Tidak jarang, dapat berimbas penurunan produktivitas kerja keesokan harinya karena tidak nyenyak tidur di malam hari.

Sebenarnya, perhatian terhadap perkara toa masjid bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Di Mesir, bahkan pelantang suara masjid ke luar tidak boleh digunakan untuk salat Tarawih sepanjang Ramadan.

Di negara lain, di kawasan Lagos, Nigeria, pemerintah tidak segan menutup 70 gereja, 20 masjid, 10 hotel, pub, dan kelab malam karena sudah menyebabkan polusi udara. Kebisingan itu disebabkan nyanyian gereja, pemutaran lagu, dan lantunan azan dari masjid.

Bahkan, di Arab Saudi, negara dengan mayoritas muslim itu turut membatasi penggunaan toa masjid. Pengeras suara ke luar hanya dibolehkan untuk azan, salat Jumat, salat Ied, dan salat minta hujan. Selain untuk perkara-perkara tadi, penggunaan pengeras suara hanya diizinkan di dalam masjid saja.

 

*) Artikel ini adalah hasil kerja sama islami.co  dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.