Pembiasaan Jilbab Bagi Anak-Anak= Eksklusivisme?

Pembiasaan Jilbab Bagi Anak-Anak= Eksklusivisme?

Jilbab untuk anak-anak tidak lagi bisa dipandang hanya sebagai bentuk pembiasaan beragama, tapi juga bisa dilihat dari teori identitas

Pembiasaan Jilbab Bagi Anak-Anak= Eksklusivisme?

Pemakaian Jilbab untuk anak-anak memang jadi perdebatan lama, apalagi di tengah meningkatnya politik identitas belakangan ini. Liputan DW Indonesia beberapa waktu lalu memantik kembali polemik terkait jilbab dan identitas muslim di tengah publik

Salah satu film paling menarik bagi saya yang dibintangi Donny Damara adalah “Lovely Man.” Film tersebut bercerita tentang seorang perempuan bernaman Cahaya (Raihaanun), gadis pesantren, pergi ke Jakarta untuk mencari bapaknya, Syaiful (Donny Damara). Sesampainya di ibu kota, Cahaya menemukan bahwa bapaknya jauh dari harapannya. Syaiful ternyata setiap malam bekerja sebagai waria dengan nama Ipuy.

Singkatnya, setiap manusia memiliki masalahnya sendiri-sendiri adalah pesan yang terselip dalam film tersebut. Tidak hanya kehidupan transpuan penuh permasalahan yang dialami Ipuy atau Syaiful, Cahaya yang digambarkan sebagai sosok perempuan berjilbab dan lulusan pesantren itu ternyata sedang memikul masalah yang tak kalah berat, yakni tidak siap menghadapi kehamilan di luar pernikahan yang telah berjalan 8 minggu tersebut.

Kenangan menonton film tersebut kembali terlintas dalam pikiran saya saat membaca postingan di akun @ismailfahmi. Dia mengkritik video unggahan Deutsche Welle (DW) Indonesia, sebuah media daring yang berasal dari Jerman, yang berjudul Anak-anak, Dunianya dan Hijab. Dalam video tersebut, tim DW mempertanyakan perihal pembiasaan pemakaian jilbab pada anak kecil perempuan atau jilbabisasi untuk anak-anak.

baca juga: jilbabasi untuk balita, perlu apa tidak? ?

Ketidaksetujuan Ismail Fahmi sepertinya didasarkan pada pernyataan Neng Darol Mahmada, feminis muslim, di dalam video tersebut. Neng Darol Mahmada mengatakan bahwa bahwa pembiasaan jilbab pada anak kecil berpotensi pada ekslusivisme.

“Sebenarnya wajar-wajar saja si anak mengikuti keinginan atau arahan dari orang tua atau misalnya dari pihak guru atau orang dewasa. Tetapi kekhawatiran saya sebenarnya lebih kepada membawa pola pikir si anak itu menjadi eksklusif, karena dari sejak kecil ia ditanamkan untuk misalnya dalam tanda kutip berbeda dengan yang lain” sebut Neng Darol Mahmada.

Berbagai komentar negatif berjejal di kolom komentar di akun DW, termasuk Ismail Fahmi, sepertinya berpangkal dari pernyataan ini. Bahkan, saya mendengar akun media sosial Nong Darol diserbu oleh para warganet karena pernyataannya di video tersebut.

baca: jilbab itu eksklusif? Tanggapan untuk DW Indonesia

Padahal, dalam video tersebut ada dua sosok yang diwawancari oleh dw.com yakni Rahajeng Ika dan Nong Darol Mahmada. Keduanya berpendapat yang senada dan seiras terkait pembiasaan jilbab di kalangan anak-anak, yakni menekankan pada persoalan identitas.

Adapun pandangan Rahajeng berfokus pada kebingungan identitas, sedangkan pendapat Nong Darol terkonsentrasi pada dampak eksklusivitas dalam diri anak-anak. Benarkah demikian?

***

Dalam video yang viral tersebut, Nong Darol dan Rahajeng Ika menekankan pada titik identitas. Keduanya menjelaskan, dalam prespektif masing-masing, bahwa jilbab tidak hanya berarti penutup kepala tapi juga ajaran agama sekaligus identitas yang dapat berdampak secara psikologis dan sosiologis.

Banyak warganet yang menilai pernyataan keduanya terkesan terburu-buru dan menyederhanakan permasalahan. Saya sendiri menilai video tersebut terjebak pada asumsi bahwa pakaian dapat menyeret pada permasalahan ideologis. Ada beberapa kata kunci dalam video tersebut yang bisa kita gunakan untuk mengulik kesimpulan tersebut, yakni pembiasaan dan penanaman.

Pembiasaan adalah salah satu alat untuk mendisiplinkan seseorang. Michael Foucault, filsuf asal Perancis, menyebutkan dengan “anatomi politis” yang baru. Tubuh manusia tidak lagi disiksa untuk menjadi patuh dan disiplin, tapi dilatih, diatur, dan dibiasakan. Dalam setiap masyarakat tubuh senantiasa menjadi objek kuasa. Tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi, menjadi patuh, bertanggungjawab, menjadi terampil dan meningkat kekuatannya, sehingga bisa berguna bagi yang kuasa.

Selain itu, Foucault juga menyebutkan bagaimana pendisiplinan lewat penciptaan sikap tubuh, seperti cara makan hingga sikap dan cara berpakaian. Bertolak dari teori di atas, imaji soal kepatuhan di atas dapat dihubungkan dengan pembiasaan pemakaian jilbab di kalangan anak-anak. Dan mungkin ini dapat menjadi pleidoi DW atas berbagai komentar negatif warganet.

Tapi, ada yang terlewati dari pemahaman dalam video tersebut, yakni posisi orang tua diasumsikan sebagai pihak penanam sikap eksklusivisme. Asumsi “orang tua” ini cukup mendapatkan porsi perhatian cukup besar dari warganet, karena dalam pandangan mereka adalah hal yang wajar jika orang tua mengajarkan ajaran agama pada anaknya. Pendapat ini diperkuat dalam tradisi agama Islam yang menyebutkan bahwa orang tua sebagai madrasah pertama dan utama.

Di sisi lain, kita semua juga perlu merenungi kata-kata Syekh Al-Azhar, Ahmad Tayyeb, dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun televisi, menyebutkan bahwa membiasakan hijab (baca:jilbab) bagi anak-anak bukan bagian dari syariat. Beliau menyebutkan bahwa “tidaklah seseorang keterlaluan dalam beragama, kecuali dia akan dikalahkan olehnya.” Menurut beliau, alangkah lebih baiknya kita membiasakan kejujuran, tanggungjawab, mengemban amanah dan perbuatan baik lainnya.

Jadi, kesimpulan “orang tua” dalam video mungkin benar jika orang tua dapat dicurigai sebagai aktor yang menanamkan ideologi eksklusivisme kepada anaknya. Namun, terdapat lobang besar dalam asumsi ini, karena melihat manusia hanya dalam kerangka satu afiliasi tunggal, yakni agamanya. Padahal, terdapat perbedaan besar antara ideologi eksklusif dengan ketaatan dalam beragama. Orang sering menyederhanakan ketaatan atau kesalehan dalam agama berkorelasi dengan ideologi eksklusivisme.

Dalam pandangan Amartya Sen, penulis asal India, kita seharusnya memahami bahwa seorang muslim dapat memilih di antara beberapa sikap yang berbeda berkenaan dengan persoalan-persoalan yang melibatkan pertimbangan politik, moral, dan sosial, tanpa harus menanggalkan identitas keIslamannya.

Jadi, kita seharusnya bijak melihat pembiasaan jilbab, sebab mencurigainya sebagai faktor utama yang menyebabkan sikap eksklusivisme di kalangan anak-anak adalah keputusan yang terburu-buru. Pembiasaan jilbab adalah bagian dari upaya orang tua menanamkan dan mendalami ajaran agama, kalaupun ada anak-anak yang bersikap eksklusivisme itu artinya kita dapat mencurigai ada hal lain yang menjadi pertimbangannya, sebagaimana dijelaskan Amartya di atas.

***

Perbincangan terkait tutup kepala perempuan di Indonesia bukan kali ini saja yang memancing banyak respon dari publik. Video yang diunggah DW kemarin hanya sebagian dari sebagaimana dijelaskan di atas, persoalan jilbab di dunia Islam lainnya sangatlah kompleks. Ada banyak penafsiran, diskusi hingga esai dan opini terkait kain penutup kepala tersebut.

Seperti, Fadwa el-Guindi, antropolog Mesir-Amerika, menuliskan dalam bukunya, “Veil: Modesty, Privacy and Resistance” dalam tutup kepala perempuan terdapat gagasan tentang pemisahan suci antara kepatuhan dari ketidaktaatan, Allah dari Setan, abadi dari fana, surga dari bumi. Jadi, ada relasi yang dibuat antara pakaian, privasi, dan ruang sakral.

Kehadiran video tersebut telah menjadi bagian dari diskursus tentang penutup kepala perempuan di luar sakralitas ajaran agama. Selain itu, dari tafsiran atas pembiasaan jilbab= menanamkan sikap eksklusivisme, kita bisa belajar dengan memperkaya dan memperluas pandangan kita dengan mendengar kritik terhadap keberagamaan kita sendiri.

Sebagaimana yang digambarkan dalam film Lovely Man di atas, seseorang yang dianggap menjalankan agama dengan baik masih dapat terjerumus pada kesalahan. Oleh sebab itu, kita perlu membiasakan perbuatan baik yang ada dalam agama. Hal ini tentu lebih diutamakan agar ketika kita membiasakan ajaran formal kepada anak-anak dalam beragama, mereka  tetap menjadikan manusia yang Rahmatan lil Alamin.

Terakhir, saya menolak keras segala aksi ad hominem warganet termasuk yang dialami Nong Darol. Dengan alasan apapun, termasuk perbedaan pendapat terkait ajaran agama. Kita harus mulai membangun pola hubungan yang damai dan menghormati segala perbedaan di ranah dunia maya.

 

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin