Pekerja Berat Wajib Puasa

Pekerja Berat Wajib Puasa

Bagi orang Islam yang mempunyai keyakinan akan adanya kehidupan di akhirat, maka kehidupan di dunia ini, bukanlah tujuan akhir dari perjalanan sejarah kehidupan manusia, tetapi lebih sebagai wahan untuk mencari bekal bagi kehidupan selanjutnya, yaitu akhirat.

Pekerja Berat Wajib Puasa
ilustrasi

Bagi orang Islam yang mempunyai keyakinan akan adanya kehidupan di akhirat, maka kehidupan di dunia ini, bukanlah tujuan akhir dari perjalanan sejarah kehidupan manusia, tetapi lebih sebagai wahan untuk mencari bekal bagi kehidupan selanjutnya, yaitu akhirat.

Dunia, dalam sebuah hadits, diistilahkan sebagai mazra’ah al-akhirat, sawah ladang atau tempat penanaman bekal untuk di akhirat. Dalam menanam bekal inilah manusia membutuhkan makan dan minum untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, sebagai sumber energi untuk menjalankan amal ibadah sesuai tuntunan-Nya.

Dengan demikian, sebenarnya bekerja adalah amal ibadah. JIka bekerja dimaksudkan sebagai pelaksanaan tanggungjawab nafkah (kepada keluarga), maka ia menjadi ibadah yang wajib. Masalahnya, bagaimana jika keharusan bekerja sebagai ibadah wajib tidak bisa ditunaikan bersama dengan ibadah lain yang juga wajib, dalam hal ini puasa?.

Dalam kitab Fiqh Al-Islam wa Adillauhu (III, 1702) dijelaskan bahwa seorang pekerja diperbolehkan meninggalkan puasa dengan beberapa catatan.

Pertama, apa yang dilakukan adalah kerja sangat berat, sehingga puasa akan mengancam kelangsungan fungsi-fungsi anggota badan (talaf).

Atau kerja berat itu diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidupnya pada hari itu. Dengan kata lain, pekerjaan itu tidak bisa ditinggalkan sama sekali sehingga menjadi sesuatu yang dharurat karena telah menjadi kebutuhan bagi ke;langsungan hidupnya saat itu. Dalam situasi semacam ini, orang bukan hanya boleh berbuka tetapi wajib berbuka.

Kedua, pekerjaan itu tidak bisa dilakukan di luar waktu puasa (malam hari atau hari-hari di luar bulan Ramadhan). Apabila masih mungkin ditunda, maka penundaan itu wajib dilakukan untuk melaksanakan kewajiban berpuasa, yang nota bene sudah ditentukan waktunya.

Jika kenyataan pekerjaan seseorang memenuhi kedua kriteria di atas, tentu seseorang tersebut boleh berbuka. Toh, Allah Swt. tidak menghendaki suatu kesulitan dalam agama.

Hal ini seperti dalam ayat berikut ini, yang artinya sebagai berikut:

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. AL-Hajj: 78).

Tetapi keringanan untuk berbuka dalam kasus ini berbeda dengan kasus musafir (Orang bepergian), misalnya. Selama masa perjalanan, seorang musafir boleh tidak berpuasa meskipun sebenarnya ia mampu berpuasa dalam perjalanannya itu.

Dalam kasus pekerja berat, kewajiban berpuasa itu tetap ada, hanya saja ia boleh dibatalkan jika memang kondisinya mengharuskan demikian. Artinya, setiap hari seseorang harus niat dan melakukan puasa sampai kondisi menuntut orang tersebut makan atau minum. Jika misalnya sehari itu tidak ada pekerjaan berat yang menuntut suplai energi baru, maka puasa orang tersebut harus terus.

Terhadap puasa batal seperti ini diberlakukan kewajiban menggantinya pada hari lain atau qadha‘. Segala kewajiban harus dilaksanakan jika waktunya telah tiba, begitu juga qadha puasa ini. Secara praktis, waktu qadha’ dalam kasus seseorang (pekerja berat) adalah jika seseorang tersebut tidak sedang bekerja (libur atau nganggur), atau tidak harus bekerja.

Maksudnya tidak harus bekerja adalah kebutuhan nafkah keluarga orang tersebut hari itu sudah tercukupi tanpa harus bekerja pada hari itu. Misalnya, jika hari ini seseorang mendapatkan rizki lumayan besar, maka besok orang tersebut harus libur untuk melaksanakan kewajiban puasanya.

Sumber: K.H. M.A. Sahal Machfudz, Dialog Problematika Umat, hal. 132-133, Khalista, Surabaya, 2013.