Orang-orang Berjubah

Orang-orang Berjubah

Buat mereka, Bibel harus dibaca, sebab dunia ini rusak karena orang tak lagi membaca Bibel.

Orang-orang Berjubah

Pintu flat saya diketuk. Dan, saya  membukanya.  Tiga  orang berjubah  hitam tampak di depan pintu. Saya kaget. Apa salah saya, sampai orang-orang dari pengadilan datang kemari?

Bukan. Ternyata, mereka orang-orang gereja. Yang  di  tangan mereka bukan kitab undang-undang, melainkan kitab suci. Ayem saya.

“Are you Christian?” tanya salah seorang berjubah itu

“No, mate, I’m a Moslem.”

Tak jadi soal. Mereka tetap mendakwahi saya. Disuruhnya saya membaca  Bibel.  Saya  merasa  ditodong.  Buat mereka, Bibel harus dibaca, sebab dunia ini rusak karena  orang  tak  lagi membaca Bibel.

“Alangkah sepele sebab kerusakan dunia,” pikir saya.

“Di  dalam  kitab  ini,  kunci  keselamatan ditemukan,” kata Christ  yang  brewok   itu.   Saya   jadi   takut.   Keadaan kelihatannya  genting.  Namun,  saya akui, uraiannya terlalu simplistik. Saya jadi  mengerti,  mengapa  teman  lain  yang punya  pengalaman  serupa  menggerutu. Tahulah saya, mengapa banyak orang menutup pintu bagi mereka.

Malam hari, saya suka datang ke Mesjid Noble  Park.  Semula, mesjid  itu  sebuah  gereja. Karena sudah “bangkrut”, gereja dijual. Orang-orang Polandia  membelinya  dan  menjadikannya mesjid.  Di  mesjid itu, orang Polandia juga berjubah hitam. Mereka mengenakan  sepatu  waktu  salat.  Biasanya,  selesai salat,  tiap jemaah dilempari tasbih. Tampaknya, ada petugas yang khusus melempar-lempar.

Suasananya enak. Tenang sekali buat berzikir.  Suatu  malam, di tengah kenikmatan zikir itu, seorang berjubah menjawil.

“My brother, where are you from?” tanyanya.

“Indonesia.”

Diajaknya  saya  bicara  Semangat brotherhood nya besar. Dia bertanya alamat di Indonesia.  Juga,  alamat  di  Australia. Bagi  brother dari Mesir ini, dunia juga rusak, karena orang terlalu mementingkan materi.

Di  Australia,  misi  yang   dibawanya   adalah   “berjuang” mewujudkan   tatanan   Islami.   Ia  mengatakan,  Islam  itu sempurna. Paling sempurna. Dan, mudah. Sejauh orang menuruti jejak  Kanjeng Nabi, hidup sudah beres. Tidak lupa pula, dia mengundang saya ke mesjid Preston, di mana saya bisa bertemu para brother muslim dari berbagai penjuru dunia.

Saya  ingat,  di  Monash,  banyak  saya  jumpai brother dari Malaysia yang punya semangat seperti itu. Mereka ini anggota Jami’atul  Tabligh.  Semangat  mereka  hebat  dalam mengajak orang Islam untuk menjadi lebih Islam. Mereka fundamentalis.

Pandangan mereka juga  simplistik.  Kata-kata  kunci  mereka mudah   diingat:   dunia  sudah  rusak,  muslim  lain  hanya sekumpulan domba yang sesat, dan  tidak  sempurna  keislaman kita kalau kita tak berjenggot seperti mereka. Jadi, jenggot merupakan ukuran puritansi.

Sebaliknya, kalau sudah  seperti  mereka,  hidup  akan  amat mudah.  Salah seorang brother dari Malaysia ini meninggalkan istrinya di Malaysia. Saya tanya, apa tak “payah” hidup jauh dari istri. Dia tegar menjawab: “Allah will provide.”

Maksudnya,  Allah akan menyediakan istri. Mereka membolehkan nikah mut’ah. Ketika itu, saya masih tinggal  di  hall  yang mahal. Tapi, saya bilang, sulit mencari flat yang murah.

“Allah will provide,” katanya lagi.

Tiap soal dijawab: “Allah will provide.”

Pintu  flat  saya  diketuk.  Dan,  saya membukanya. Di depan pintu, tampak orang-orang berjubah. Mereka bukan orang-orang dari  gereja,  melainkan dari mesjid. Satu orang saya kenal, karena pernah bertemu di Mesjid Noble  Park.  Mereka  datang bersilaturahmi. Saya lega.

Namun,  ketika  mereka  bicara bahwa dunia sudah rusak, saya gelisah.  Saya  khawatir  “khotbah”  mereka  berkepanjangan. Syukurlah, mereka segera tancap gas.

Di  Pamulang, saya bertemu dengan orang-orang berjubah juga. Mereka jemaah Darul Arqam.  Sambil  meneliti,  saya  mengaji bersama  mereka. Bagi mereka, dunia juga sudah rusak, karena kita kena penyakit “cinta dunia”.

Menurut  mereka,  sakit  itu  bisa  diobati  dengan  tatanan Islami. Macam apa? Seperti contoh Kanjeng Nabi. Bagi mereka, jenggot dan jubah juga simbol keislaman.

Di mana-mana, orang bicara bahwa  “dunia  sudah  rusak”.  Di mana-mana,  orang  bicara  puritansi. Kritik saya sederhana: mereka lupa membedakan agama dari kebudayaan Arab dan  Islam dicampur-aduk.  Dikiranya,  baru  sah  Islam kita kalau kita sudah “Arab”. Mereka menolak iman yang  tidak  tampil  dalam “wajah” Arab.

Pintu  flat  saya diketuk. Dan, saya membukanya. Orang-orang berjubah dari gereja dan dari mesjid hari Minggu itu  datang bersama.  Flat  saya yang kecil itu menjadi gereja sekaligus mesjid.

Saya tak setuju dengan  pandangan  keagamaan  mereka.  Tapi, bagaimanapun,  melihat  semangat  dan ketulusan mereka, saya menaruh rasa hormat. Saya tetap bersikap baik. Sebab,  siapa tahu  –kalau  benar  mereka  ini “penyelamat” dunia, seperti Kanjeng Nabi Nuh AS– saya bisa menumpang selamat  di  perahu mereka.

—————
Sumber: Editor, No.30/Thn.IV/6 April 1991