Sepulang makan malam di daerah Kalibata, saya memesan ojek online untuk pulang. Malam itu agak gerimis. Sialnya, saya dan si tukang ojek sama-sama kesulitan menyepakati titik penjemputan karena kami berdua bukan orang Jakarta. Setelah bergelut dengan kebingungan, akhirnya kami bertemu juga.
Di jalan, tukang ojek yang mengantar saya membuka obrolan. Dia bertanya sembari memastikan seluk-beluk penumpang yang diangkutnya.
“Habis merayakan Natal ya, Mas?” tanyanya. Saya jawab tidak, tanpa berpikir panjang. “Agamanya apa mas?” ia melanjutkan.
Sampai pertanyaan kedua ini sebenarnya saya agak risih. Tapi akhirnya saya jawab juga setelah sempat terjeda. “Islam, Pak,” kata saya.
Ternyata jawaban itu mulai meruntuhkan anggapan awalnya terhadap saya. “Oh Islam. Tapi memang asli Tionghoa ya?” Saya refleks tertawa mendengar pertanyaan lanjutannya. Sambil menahan tawa yang mulai surut, saya jawab kalau saya adalah orang Jawa.
“Saya dari Kediri, Pak. Jawa Timur. Orangtua saya dua-duanya orang Jawa.”
Tukang ojek itu mulai bingung. Anggapannya pada saya kali ini sudah benar-benar runtuh.
“Oh, orang Jawa Timur. Tadi pas saya lihat sampean kok ada sipit-sipitnya ya, Mas. Saya kira orang Tionghoa-Manado,” ungkapnya berterus terang.
Rasanya saya ingin tertawa lagi, tapi saya urungkan. Anggapan ini bukan pertama kalinya saya terima. Banyak orang ‘menuduh’ saya orang Tionghoa. Saya juga pernah dikira orang Thailand saat kuliah dan dikira keturunan Jepang baru-baru ini. Mungkin karena mata saya agak sipit dan punya kulit yang cenderung putih.
Dulu saya pernah iseng menelusuri garis keturunan mbah-mbah saya. Kakek-nenek saya tak ada yang kawin dengan orang Tionghoa atau warga Asia Timur lainnya. Semuanya asli Jawa.
Tapi bagi saya, tak ada bedanya dianggap Jawa atau dianggap Tionghoa. Toh, identitas primordial tidak berbanding lurus dengan anggapan orang lain. Lagipula, bukankah nenek moyang kita ini memang sama-sama dari dataran Asia Timur?
Setidaknya begitulah yang disebutkan Tan Malaka dalam bukunya, Madilog. Pendahulu kita adalah orang Mongolia yang bermigrasi ke selatan. Mungkin karena itulah kita disebut ras Mongoloid. Berbeda dengan saudara kita di Timur yang disebut Melanesia. Bahkan kalau mau ditarik lebih jauh, leluhur kita adalah sekelompok imigran dari Afrika. Saya ingat, majalah National Geographic pernah menulis liputan panjang tentang sejarah migrasi manusia itu.
Makanya saya heran ketika banyak orang meributkan soal pribumi dan non-pribumi saat pilgub atau musim politik lainnya. Sungguh sebuah perdebatan yang sia-sia dilakukan, mengingat bagaimanapun nenek moyang kita ini pada dasarnya sama-sama pendatang.
Pengalaman-pengalaman ‘salah identifikasi identitas’ seperti kisah di atas akhirnya sekedar menjadi hiburan yang datang dan berlalu saja bagi saya. Tak ada masalah. Bahkan kalau ada yang menyematkan cap-cap lain pun saya tak pernah keberatan.
Katakanlah, saya tak masalah dikira orang Muhammadiyah karena memakai celana di acara shalawatan Nahdlatul Ulama (NU). Saya juga tak akan mengeluh jika dikira orang NU ketika memakai sarung di acara diskusi Muhammadiyah (meski sebenarnya saya memang dibesarkan di lingkungan keluarga NU kultural). Selama nyaman dan sopan, bagi saya penampilan bukan hal yang esensial.
Saya kira soal memandang identitas ini, setiap orang memang seharusnya cair dan terbuka. Bukan cuma persoalan ‘anggap-dianggap’ saja, tapi juga penerimaan pada latar belakang seseorang. Entah itu identitas primordial: sesuatu yang dibawa sejak lahir, atau identitas yang baru disandang seseorang dalam proses kehidupannya.
“Tidak penting apa pun agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu,” kata Gus Dur suatu ketika. Kata-kata ini selalu saya pegang. Karena menurut saya, Gus Dur adalah satu dari sedikit tokoh yang konsisten mengedepankan substansi di atas semuanya.
Saya pernah berada di titik sangat mengagungkan identitas. Saya merawat stigma dan kepercayaan pada seseorang atau kelompok tertentu. Saya pernah menjadi orang yang pilih-pilih, mudah mencurigai, dan serba-anti pada banyak hal. Nyatanya sikap seperti itu tak pernah menguntungkan: entah menjadikan saya manusia yang lebih bermartabat, apalagi mendapat jaminan masuk surga.
Beruntung, cara pandang itu bisa berubah. Harus diakui, bertemu bacaan dan buku-buku yang tepat sangatlah membantu. Tapi lebih penting lagi, kita sebetulnya butuh perjumpaan dan dialog. Ya, tinggal di Jogja selama bertahun-tahun memaksa saya ‘meraba-raba rupa’ segala macam manusia melalui pertemuan, yang kadang disengaja kadang tidak.
Misal saja, mempunyai kesempatan duduk bersama dan saling melontarkan humor di sela-sela obrolan yang panjang bersama beberapa transpuan (waria) adalah adegan yang tak pernah saya bayangkan dulu. Mengingat stigma saya pada transgender tak pernah baik sejak masa sekolah. Atau berelasi baik dengan teman-teman Bugis, Madura, Tionghoa, Papua, hingga Ahmadiyah, dan Syiah tanpa kecurigaan stigmatik adalah anugerah yang tak bisa saya nikmati di lingkungan homogen saya dulu.
Bayangkan saja kalau orang seperti saya di masa lalu mempunyai massa dan kuasa. Orang yang mengagungkan identitas, eksklusif, mudah mencurigai, merawat banyak stigma sembari menampik nilai-nilai kemanusiaan. Apa yang terjadi? Ya, konflik yang pertama, dan perang pada level selanjutnya.
Amin Maalouf pernah menulis panjang-lebar mengenai konflik-konflik berbasis identitas ini. Jenis konflik yang paling banyak menjadi pemicu perang umat manusia sepanjang sejarah. Judulnya In the Name of Identity (1998), salah satu buku yang membuka mata saya agar menurunkan ego identitas dan menelisik segala sesuatu dari substansinya.
Maalouf adalah orang Lebanon. Orangtuanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Ia memahami bagaimana identitas yang dibehalakan akan berakhir seperti apa. Ia menyaksikan sendiri saat Lebanon dipecah-pecah oleh perang saudara (1975) yang berakar dari konflik identitas, hingga membuatnya harus hijrah ke Prancis.
Dalam bukunya, Maalouf juga bercerita tentang Perang Bosnia yang membenturkan antara dua etnis dan agama. Berbagai kekerasan berbasis identitas dalam skala mengerikan seperti itu sebenernya mudah kita jumpai sepanjang sejarah: konflik antara suku Tutsi dan Hutu di Rwanda, holocaust di Jerman yang dibakar oleh semangat kemurnian ras, pembantaian massal 1965-1966 di Indonesia karena urusan ideologi, dan lain sebagainya. Semua ini belum dihitung konflik-konflik kecil yang terjadi di berbagai belahan dunia setiap harinya.
Di Eropa, gelombang imigran yang mulai pasang sejak berbagai perang di Timur Tengah pecah, membuat masyarakat di sana menjadi semakin xenofobik. Kekuatan politik sayap kanan meningkat. Masyarakat yang sebelumnya sudah konservatif memiliki alasan untuk melakukan kekerasan di jalanan atas nama sesuatu yang bisa mereka karang sendiri.
Dalam dua dasawarsa belakangan, masyarakat Amerika Serikat juga mulai terpolarisasi oleh sentimen ras dan agama dalam berpolitik.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya How Democracies Die (2018) mengungkap bahwa ketika Obama menjabat sebagai presiden, muncul wacana-wacana (di luar logika konstitusional) yang meragukan otoritasnya karena dianggap Islam, keturunan kulit hitam, dan sangat-tidak-Amerika.
Saat Trump menjabat kemudian, islamofobia dan xenofobia (terutama pada imigran Amerika Latin) semakin menjadi-jadi.
Tragedi demi tragedi kemanusiaan, baik skala besar atau kecil, saya kira sejak awal memang sulit dilepaskan dari urusan politik. Bahkan relasi antarindividu pun bisa sangat politis. Identitas bak air yang begitu mudah diubah menjadi lumpur oleh tanah-politik. Ketika dua hal tersebut bertemu, setidaknya akan menghasilkan air keruh. Kita tak akan bisa melihat apa pun dengan jernih dalam kekeruhan itu.
Tragedi demi tragedi itu pula yang membuat saya berpikir untuk tidak menuhankan identitas. Tak ada untungnya dan tak ada baiknya bagi saya dan orang lain. Karena hidup ini cuma sekali, saya tak mau menyia-nyiakannya. Sejarah umat manusia telah menjadi guru yang mengajari kita banyak hal. Tergantung kita mau mendengar atau tidak. Pilihan ada di tangan kita sendiri.