
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah menyaksikan fenomena cancel culture, sebuah mekanisme sosial ketika individu atau kelompok dihukum secara publik karena pernyataan atau tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai dominan. Fenomena ini memiliki kemiripan dengan konsep takfir dalam Islam, di mana seseorang dinyatakan keluar dari lingkup keimanan karena dianggap menyimpang dari ajaran yang benar. Namun, yang menarik adalah munculnya apa yang dapat disebut sebagai takfir sekuler, sebuah bentuk penghakiman sosial yang terjadi di masyarakat non-religius dengan pola yang serupa dengan takfir dalam konteks keagamaan.
Tulisan ini terinspirasi dari sebuah episode podcast The Authority yang menampilkan perbincangan antara Gus Ulil dan Budi Arie mengenai takfir sekuler. Dalam diskusi tersebut, Gus Ulil mengatakan:
“Kalau reformasi itu dianggap enggak penyesatan, yang sekarang atau yang sekarang disebut dengan pengkafiran, ya takfir itu kan. Takfir yang kalau dalam bahasa di Barat ya cancel culture lah itu. Menurut saya, bentuknya sekarang lebih serius, lebih intens, dan lebih bernuansa sekuler.”
Budi dan Arie kemudian menimpali: “Berarti sekarang ada takfir sekuler ya, Gus?” yang kemudian dijawab oleh Gus Ulil, “Iya… iya, takfir sekuler… ya cancel culture itu…” (The Authority- 6 Februari 2025)
Cancel Culture: Sensor Sosial di Era Digital
Cancel culture muncul dari keinginan masyarakat untuk menuntut akuntabilitas terhadap individu atau institusi yang dianggap melakukan kesalahan etis atau moral. Dalam beberapa kasus, fenomena ini dapat menjadi alat keadilan sosial yang efektif, terutama dalam menangani isu pelecehan, diskriminasi, dan ketidakadilan. Namun, dalam praktiknya, cancel culture sering kali berubah menjadi alat persekusi massal yang menghilangkan ruang dialog serta membatasi kebebasan berbicara.
Dengan dukungan media sosial, individu yang dapat menjadi sasaran kritik dalam hitungan menit, sering kali tanpa kesempatan untuk membela diri. Ketika satu individu dikritik, tekanan sosial mendorong lebih banyak orang untuk ikut serta dalam serangan, menciptakan efek bola salju. Akibatnya, individu yang menjadi sasaran sering kali kehilangan pekerjaan, dikucilkan dari komunitas, atau kehilangan platform publik tanpa adanya mekanisme pemulihan yang adil (Ng, Eve. 2022. Cancel Culture: A Critical Analysis. Palgrave Macmillan.).
Takfir Sekuler: Otoritarianisme Baru?
Konsep takfir sekuler muncul sebagai respons terhadap cara kelompok dominan di ruang publik—terutama dalam lingkungan progresif atau liberal—menggunakan strategi pengucilan yang serupa dengan takfir dalam dunia Islam. Individu yang dianggap tidak cukup progresif atau yang menentang norma-norma baru akan langsung dikucilkan dari komunitas intelektual dan sosial mereka. Baik dalam takfir klasik maupun takfir sekuler, terdapat klaim bahwa hanya ada satu kebenaran absolut, dan siapa pun yang menyimpang dari norma tersebut dianggap salah.
Selain itu, dalam kedua fenomena ini terdapat fanatisme ideologis yang menyebabkan minimnya toleransi terhadap perbedaan pandangan. Seseorang yang dituduh menyimpang tidak hanya dikritik, tetapi juga kehilangan hak untuk berpartisipasi secara adil dalam ruang publik. Seperti dalam takfir keagamaan, di mana seseorang yang dianggap murtad sulit diterima kembali, dalam takfir sekuler pun individu yang telah “di-cancel” jarang mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki reputasinya (Daub, Adrian. 2024. The Cancel Culture Panic: How an American Obsession Went Global. Stanford University Press).
Studi Kasus: Dari Dunia Islam hingga Barat
Fenomena ini dapat ditemukan dalam berbagai kasus di dunia Islam maupun di Barat, menunjukkan bahwa pengucilan sosial tidak terbatas pada satu budaya atau ideologi tertentu. Nurcholish Madjid (Cak Nur), misalnya, pernah menghadapi kritik keras karena gagasannya tentang “Islam Yes, Partai Islam No,” yang membuatnya dianggap menyimpang oleh kelompok Islam konservatif. Kasus ini mencerminkan bagaimana takfir digunakan dalam konteks Islam untuk menyingkirkan pemikiran yang berbeda dari arus utama.
Di Barat, J.K. Rowling menjadi sasaran cancel culture setelah mengkritik konsep identitas gender, yang membuatnya kehilangan banyak pendukung meskipun memiliki kontribusi besar dalam dunia sastra. Kasus lain adalah Elon Musk, yang dulunya dihormati dalam industri teknologi tetapi kini menghadapi serangan karena kritiknya terhadap woke culture. Fenomena ini menunjukkan bahwa cancel culture dan takfir sekuler dapat terjadi di berbagai belahan dunia dengan pola yang serupa.
Dampak Sosial dan Politik
Cancel culture dan takfir sekuler tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada kebebasan berpendapat serta dinamika politik global. Banyak individu menjadi enggan menyuarakan pandangan mereka karena takut diserang secara publik, sehingga menghambat diskusi yang sehat. Alih-alih menciptakan ruang dialog, cancel culture justru memperdalam polarisasi antara kelompok dengan pandangan yang berbeda.
Selain itu, di banyak negara Barat, perlawanan terhadap cancel culture telah menjadi alat mobilisasi politik, terutama bagi kelompok konservatif yang merasa dikecualikan dari wacana publik. Ketika kelompok tertentu merasa terus-menerus diserang, mereka cenderung menguatkan identitas serta membangun batasan yang lebih tegas terhadap pihak lain. Hal ini menyebabkan meningkatnya ketegangan sosial dan politik yang semakin sulit dijembatani melalui dialog yang terbuka (Ainy, Siti Dzurrotul, dan Fathoniz Zakka. 2024. “Hadith Perspective on Cancel Culture and the Tendency to Judge on Social Media.” Jurnal Ilmu Agama 25(2):191-208; Ng, 2022).
Mencari Jalan Tengah
Cancel culture dan takfir sekuler menunjukkan kecenderungan manusia untuk menciptakan “musuh bersama” sebagai bentuk kontrol sosial. Tantangan utama adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan akuntabilitas tanpa jatuh ke dalam bentuk otoritarianisme baru. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk membangun budaya dialog yang sehat berbasis argumen, bukan sekadar serangan emosional.
Selain itu, memberikan ruang rehabilitasi bagi individu yang pernah di-cancel sangatlah penting agar mereka memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Masyarakat juga perlu membedakan antara kritik yang membangun dan persekusi sosial yang merugikan kebebasan berbicara. Dengan memahami mekanisme di balik cancel culture dan takfir sekuler, kita dapat lebih bijak dalam menyikapi perbedaan serta menciptakan ruang diskusi yang lebih inklusif dan sehat.
(AN)