Nasionalisme Adalah Fitrah, Tidak Perlu Dibenturkan dengan Agama

Nasionalisme Adalah Fitrah, Tidak Perlu Dibenturkan dengan Agama

Nasionalisme Adalah Fitrah, Tidak Perlu Dibenturkan dengan Agama

Nasionalisme adalah fitrah manusia, dan tidak perlu dibenturkan dengan agama. Setidaknya demikian yang dikatakan oleh Prof. Quraish Shihab ketika merespon sebuah pertanyaan apakah mencintai negara adalah sebuah fitrah manusia. Pakar tafsir al-Qur’an Indonesia kontemporer ini menjawab, “ya, dia fitrah. Banyak sekali bukti-bukti bahwa dia fitrah.”

Rasulullah, ketika hijrah ke Madinah, beliau pergi ke perbatasan kota Makkah, dan berkata, “Wahai Makkah, engkau adalah negeri yang paling kucintai. Seandainya pendudukmu tidak mengusir aku, aku tidak akan tinggalkan engkau!”

Seorang penyair klasik, Abu Tammam, pernah menulis syair yang indah tentang cinta tanah air,

نقل فؤادك حيث شئت من الهوى # ما الحب إلا للحبيب الأول

كم منزل في الأرض يألفه الفتى # وحنينه أبدا لأول منزل

Pindahkanlah hatimu sesukamu untuk mencintai seseorang, akan tetapi tiada cinta yang hakiki kecuali hanyalah untuk sang kekasih pertama

Sekian banyak tempat tinggal yang telah ditinggali seseorang, akan tetapi rasa rindunya hanya kembali pada tempat tumpah darahnya

Sekian banyak saudara sebangsa kita yang tinggal lama di luar Indonesia. Mereka menangis karena menahan rindunya untuk kembali ke Indonesia. Mereka ingin meninggal, dikebumikan di tanah bumi pertiwi di Indonesia. Tidak ada sanggahan bahwa itu adalah fitrah manusia untuk cinta kepada tanah airnya. Oleh karena itu, kita memiliki peribahasa “Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.”

Kenapa kita mencintai bumi pertiwi? kenapa kita mencintai tanah air? Karena jasad kita terambil dan terbuat dari tanah negeri ini, dan itu mengalir dalam diri kita.

Itu sebabnya, al-Qur’an meletakkan antara agama dan tanah air secara terkait dalam surat al-Mumtahanah:

لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Karena itu Islam mengizinkan untuk membela diri ketika kezaliman menimpa diri. Bahkan, pada level penjajahan yang mengancam jiwa, umat Islam secara syar’i diperbolehkan untuk mengobarkan perang. Perang dalam konteks ini adalah untuk kepentingan mempertahankan diri (defensif) dan masyarakat, bukan perang dengan motif asal menyerang (ofensif).

Pertanyaan berikutnya, mengapa Allah membekali manusia fitrah untuk mencintai bumi negerinya masing-masing? Prof. Quraish Shihab menjawab, “Supaya kita membangun bumi itu, bukankah Allah menyuruh kita untuk menjadi khalifah di muka bumi?”.

Dalam konteks membangun tanah air, konsepnya terletak pada nilai-nilai nasionalisme yang terkandung dalam Pancasila. Semua elemen masyarakat harus bekerja sama dalam rangka mewujudkan perdamaian dan kebaikan di negeri ini. Maka, seorang warga negara harus memiliki paham kebangsaan. Orang yang sudah memiliki paham kebangsaan tidak akan melihat lagi orang lain dari suku mana, agama apa, maupun golongan mana.

Nabi Muhammad bahkan berupaya untuk mewujudkan kota Madinah sebagai negara damai dengan membuat Piagam Madinah. Piagam yang memiliki asas yang sama dengan Pancasila, yaitu asas persatuan berbagai elemen masyarakat berbeda suku dan agama. Upaya itu merupakan bagian dari bentuk manifestasi fitrah.

Maka jangan korbankan agama demi nasionalisme, dan jangan juga korbankan nasionalisme demi agama. Karena keduanya menyatu sebagai sebuah fitrah. Al-Ghazali, dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, menegaskan bahwa ada hubungan simbiosis yang tak terpisahkan antara agama dan negara. Alih-alih bertentangan, keduanya justru hadir dalam keadaan saling menopang. Negara membutuhkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam agama, sementara agama memperlukan “rumah” yang mampu merawat keberlangsungannya secara aman dan damai.

Persoalannya, tidak sedikit kelompok-kelompok “radikal” yang memperdebatkan konsep nasionalisme ini. Mereka menganggap bahwa kesetiaan terhadap negeri yang pemerintahannya tidak berasas hukum syariat Islam merupakan sebuah kesalahan fatal. Mereka menyebutnya dengan thaghut.

Nah saya justru bertanya-tanya, bagaimana cara mereka mengejawantahkan fitrah mencintai tanah air? Jika harus mencintai tanah air saja harus begini harus begitu sesuai kehendaknya sendiri. Itu bukan fitrah namanya. Wong cinta kok bersyarat.

Wallahu a’lam bisshawab …