Mukmin Tapi Kafir?

Mukmin Tapi Kafir?

Mukmin Tapi Kafir?

Sebagian umat Islam percaya bahwa orang Islam dapat menjadi beriman dan kafir, atau bertauhid dan sekaligus musyrik. Istilahnya muslim musyrik. Dalam keyakinan mereka, ada perilaku kemusyrikan yang dilakukan umat Islam yang menyebabkannya berhak mendapatkan status Muslim musyrik. Muslim yang melakukan perbuatan kemusyrikan.

Perbuatan yang dinilai bentuk kemusyrikan adalah ziarah kubur dan pembuatan aturan pemerintahan. Masalah pertama mereka namakan syirkul qubur (menyembah kuburan). Sedang masalah kedua syirkul qushur (kemusyrikan politik). Keduanya merupakan bentuk kemusyrikan.

Mengapa sampai ada umat Islam yang meyakini ada Muslim musyrik sebab ziarah kubur dan membuat aturan pemerintahan? Salah satu dasar mereka adalah Qs. Yusuf: 106. Allah swt. berfirman,

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Kebanyakan manusia tidak beriman kepada Allah kecuali mereka menyekutukan.” (Qs. Yusuf: 106)

Secara tekstual, ayat ini seakan mengatakan ada banyak umat yang beriman kepada Allah sambil menyekutukan-Nya. Muhammad bin Ali Al-Syaukani (w. 1250 H.), seorang ulama Syiah Zaidiyah, bisa jadi merupakan penulis kitab tafsir pertama yang menggunakan ayat tersebut untuk menghakimi umat Islam. Dia mengatakan dalam tafsirnya, “Mirip dengan kaum musyrik yang menjadikan ulama dan pendetanya sebagai Tuhan selain Allah adalah orang-orang yang meyakini benda mati memiliki kemampuan yang hanya dimiliki Allah swt. seperti yang dilakukan banyak penyembah kubur (kama yaf’aluhu katsirun min ‘ubbad al-qubur). Pemahaman ini tidak bertentangan dengan pendapat yang menyatakan ayat ini turun menjelaskan kelompok tertentu. Yang dipegangi adalah keumuman teks, bukan dibatasi pada sebab khususnya (Fath al-Qadir, jilid 3, hlm. 70).

Istilah ‘Ubbadul Qubur pertama kali digunakan Ibnu Taimiah (w. 728 H.) dalam kitab Al-Radd Ala Al-Manthiqiyyin, lalu diikuti Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H.) dalam kitab Ighatsat Al-Lahfan min Mashaid al-Syaithan. Keduanya merujuk kepada perilaku umat Islam yang menghormati makam para wali dan orang saleh. Mencari berkah dan menjadikannya sebagai wasilah mewujudkan keinginan. Kedua tokoh tersebut gencar menyerang praktik ziarah yang dilakukan umat Islam, khususnya para sufi dan kaum Syiah. Namun keduanya belum menghubungkan dengan Qs. Yusuf: 106. Al-Syaukani bisa jadi adalah orang pertama yang memasukkan peziarah makam dalam cakuptan ayat Qs. Yusuf: 106, sekalipun pengkafiran terhadap peziarah sudah muncul dalam pemikiran Ibnu Taimiah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah.

Logika ketiga tokoh di atas dibangun di atas asumsi bahwa para peziarah makam auliya’ dan orang saleh melakukan praktik penyembahan mayit, mendoakan mayit, berdoa dengan wasilah mayit, meminta terpenuhi kebutuhan kepada mayit, mengharap turunnya berkah mayit, dan meminta pertolongan pada mayit untuk mengalahkan musuhnya (Ighatsat Al-Lahfan Min Mashaid Al-Syaithan, jilid 1, hlm. 198). Ketiga tokoh di atas memahami bahwa praktik semacam itu adalah penyembahan kepada selain Allah dan merupakan kemusyrikan. Praktik ini bertentangan konsep tauhid uluhiyah, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah.

Belakangan, selain para peziarah makam, tuduhan muslim musyrik diarahkan kepada orang-orang Muslim yang membuat peraturan dalam pemerintahan yang dianggap bukan bersumber dari Allah. Berdasarkan konsep tauhid uluhiyah yang mengharuskan manusia memurnikan ibadah hanya kepada Allah, mereka meyakini bahwa membuat peraturan (syariat) di luar aturan Allah adalah perbuatan yang menyalahi hak khusus Allah.

Pembuat peraturan telah memposisikan dirinya setara dengan Allah sehingga menempatkan dirinya sebagai Tuhan yang dipatuhi. Ini juga bentuk kemusyrikan. Mereka menyebutnya syirkul qushur. Syekh Amin Al-Sinqithi (w. 1393 H.) mengatakan orang-orang yang mengikuti hukum positif buatan setan bertentangan dengan syariat Allah yang disampaikan para rasul-Nya. Tidak ragu pada kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang dibutakan mata hatinya oleh Allah (Adhwa’ Al-Bayan Fi Idhah Al-Quran Bi Al-Quran, jilid 3, hlm. 259). Berdasarkan penjelasan Al-Sinqithi, sebagian pengikutnya mengembangkan pandangan bahwa bentuk kemusyrikan ini telah mengeluarkan seseorang dari Islam (murtad dan musyrik). Muslim yang membuat peraturan selain peraturan Allah adalah Muslim yang musyrik. Muslim taat pada hukum positif adalah muslim yang musyrik karena ia telah melakukan kemusyrikan.

Lalu apa kata para ahli tafsir tentang Qs. Yusuf: 106? Benarkah pemahaman yang menyatakan bahwa kaum beriman dapat menjadi musyrik sekaligus? Benarkah ayat di atas turun menjelaskan perilaku seorang Muslim?

Sepertinya, jika merujuk kepada asbabun nuzulnya, Qs. Yusuf: 106 turun menjelaskan perilaku orang-orang kafir. Menurut Abu Al-Saud (w. 982 H.), ayat ini diturunkan untuk menjelaskan orang-orang kafir; penduduk Mekah, kaum munafikin, atau ahli kitab (Tafsir Abi Al-Saud, jilid 4, hlm. 305). Ibnu Asyur (w. 1393 H.) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “kebanyakan manusia” adalah orang-orang musyrik Arab (ahl al-syirk min al-‘arab).

Ayat ini membantah klaim kaum musyrik Arab yang mengaku beriman kepada Allah sebagai pencipta. Selain itu, ayat ini juga menegaskan bahwa keimanan mereka kepada Allah seperti tidak ada karena mereka mengimani Allah bersama dengan penyekutuan terhadapnya dalam ketuhanan. Ayat ini bermaksud menunjukkan keburukan mereka (Tafsir Al-Tahrir Wa Al-Tanwir, jilid 13, hlm. 63).

Syekh Wahbah Al-Zuhaili (w. 2015 M.) mengatakan kebanyakan kaum musyrikin membenarkan wujudnya Allah, tetapi mereka masih terus mempertahankan perilaku musyriknya seperti menyembah berhala. Ayat ini turun disebabkan ucapan kaum Quraisy ketika melakukan tawaf dan membaca talbiyah; labbaik la syarika laka illa syarikun huwa laka tamlikuhu wa ma malak (kami penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu milik-Mu, Engkau memilikinya dan ia tidak memiliki-Mu). Ayat ini diakhiri dengan ancaman. Hal ini menunjukkan adanya peringatan dan kecaman kepada mereka (Tafsir Al-Wasith, jilid 2, hlm. 1140).

Ketiga ahli tafsir di atas sepakat bahwa ayat tersebut merupakan kecaman terhadap kaum Musyrik. Bukan umat Islam. Maksud beriman dan menyekutukan adalah mereka beriman akan adanya Allah, tetapi mereka masih mempertahankan perilaku syirik yaitu menyembah berhala. Inilah bentuk kemusyrikan yang nyata. Menyembah berhala. Apakah orang yang berziarah, menghormati makam orang saleh, mendoakan dan berdoa kepada mereka, meminta berkah dan syafaat kepada mereka adalah kemusyrikan? Ini adalah masalah khilafiyah di antara sesama umat Islam. Sebagian ulama membolehkan dan sebagian lain melarang. Mengapa perlu mengkafirkan perbuatan yang masih diperdebatkan?

Pengkafiran orang-orang yang mengikuti hukum positif juga berada dalam ranah masalah yang diperselisihkan para ulama. Klaim kafir dan musyrik orang yang taat pada hukum positif adalah pendapat seorang penulis kitab tafsir di era modern. Penafsiran Qs. Yusuf: 106 semacam ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab tafsir terpercaya ratusan tahun sebelumnya. Rasulullah saw. sahabat, tabiin, para imam mazhab, para ahli hadis dan fukaha, tidak pernah menafsirkan semacam itu. Namun, semangat pengkafiran rupanya telah mengakar sehingga dicari celah agar ayat untuk orang kafir itu mengarah kepada umat Islam.

Penggunaan Qs. Yusuf: 106 untuk mengecam umat Islam adalah penafsiran sebagian orang yang mengabaikan asbabun nuzul sehingga muncul pemahaman yang campur baur, bahwa kaum mukmin hari ini adalah sekaligus musyrik. Mukmin tapi musyrik. Istilah baru yang belum muncul pada masa Rasulullah saw., sahabat, dan generasi salaf. Cara memahami semacam ini ternyata membawa dampak buruk, karena orang-orang awam kemudian mudah mengkafirkan sesama umat Islam. Bahkan, sebagian di antaranya sudah bertindak ekstrim kepada sesama muslim karena meyakini mereka sudah murtad-musyrik. Halal darah dan hartanya. Apakah tafsir penuh bencana ini masih layak dipertahankan?