Belajar Tidak Menghakimi dari Syair Indah Jalaluddin Rumi

Belajar Tidak Menghakimi dari Syair Indah Jalaluddin Rumi

Lebih baik kita keliru memaafkan dia ketimbang kita keliru menghukum orang yang tak bersalah.

Belajar Tidak Menghakimi dari Syair Indah Jalaluddin Rumi

Maulana Jalaluddin Rumi, membuat perumpamaan yang sangat menarik sekaligus indah tentang hakikat pikiran dan keyakinan.

Katanya;

الفِكَرُ مِثْلُ الطَّير فِى الهَوَاء وَغَزْلانِ البَرِّ الَّتى قَبْلَ اَنْ تُمَسِّكَهَا وَتَضَعَها فِى الاَقْفَاصِ لَا يَحِلُّ لَكَ بَيْعُها فِى الشَّرْعِ. فَاِنَّهُ لَيْسَ فِى مَقْدُورِكَ بَيْعُ طَائِرٍ فِى الهَوَاءِ لِاَنَّهُ فِى البَيْعِ التَّسْلِيمُ شَرْطٌ. وَعِنْدَ مَا لَا يَكُونُ ذَلِك فَى مَقْدُورِكَ كَيْفَ تُسَلِّمُه. وهكذا فَالفِكَرُ مَا دَامَتْ فِى البَاطِنِ تَكُونُ دُونَ اِسْمٍ ودُونَ عَلَامَةٍ لَا يُمْكِنُ الحُكْمُ عَلَيهَا لَا بِكفْرٍ وَلَا بِإِسْلَامٍ .

“Pikiran itu bagaikan burung yang terbang lepas di udara atau bagaikan rusa liar di sebuah hutan antah berantah. Sebelum kau menangkap dan memasukkannya ke dalam sangkar kau tak boleh menjualnya. Tak ada pula kuasamu menangkap burung yang terbang di udara. Penyerahan barang adalah syarat jual beli. Bagaimana mungkin kau bisa menyerahkan barang yang tak ada dalam genggamanmu. Begitulah pikiran. Sepanjang ia ada di dalam tempat tersembunyi ia tak memilik nama dan bentuk. Pikiran tak bisa dinilai kafir atau Islam”.

Meminjam catatan KH. Husein Muhammad, teks, apapun itu, sakral atau profan, dihadirkan ke dalam sebuah realitas manusia yang telah terbentuk dalam sebuah sistem sosial, ekonomi, budaya dan politiknya masing-masing. Peristiwa dalam relasi antar manusia telah mendahului teks. Teks hadir untuk mendialogkannya.

Dengan begitu teks-teks tersebut sejatinya tengah berdialog dengan realitas yang bergerak dalam dinamikanya sendiri-sendiri. Lalu teks-teks itu menawarkan alternatif usulan atau respon untuk menyelesaikan beragam problematika, beragam kecenderungan dan sikap yang dianggap lebih relevan dengan konteks kini-di sini yang temporal.

Oleh karena itu makna dari sebuah teks partikular itu tidak bisa dimapankan, dibakukan atau diuniversalkan. Pembakuan atasnya bisa menimbulkan pengabaian atas teks itu dan secara diam-diam akan ditinggalkan. Perubahan itu niscaya dan tak bisa dihentikan apalagi dilawan.

Dalam pengertian lain, manusia memiliki konteks lingkungannya masing-masing. Oleh karena itu, seseorang akan bergantung pada latar budaya yang melingkupinya ketika menafsirkan sebuah teks. Apapun itu.

Ambil contoh teks-teks keagamaan. Dalam sudut pandang ulumul qur’an, ayat-ayat Al-Qur’an turun mengikuti konteks budaya di zaman itu. Ketika masyarakat Arab lekat dengan tradisi perang, maka Al-Qur’an juga membincang peperangan. Namun, konteks masyarakat Indonesia modern yang berada dalam kondisi damai, bisa saja memahami teks peperangan itu melalui sudut pandang perdamaian.

Hadis tentang larangan memajang poto makhluk bernyawa, misalnya, akan ditafsirkan oleh seorang seniman modern sebagai dalih pembunuhan seni. Seperti yang dikatakan KH. Husein Muhammad, makna dari sebuah teks tidak boleh dibakukan. Dengan demikian, seniman itu tidak salah jika memang begitu penafsirannya.

Mari masuk ke beberapa hal yang lebih praktis. Merujuk pada Laporan Setara Institute 2022, disebutkan bahwa telah terjadi 175 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama & Berkeyakinan (KBB) dengan 333 tindakan di Indonesia. Setara Institute memaparkan tiga tren pelanggaran KBB pada 2022, yakni gangguan tempat ibadah, penggunaan delik penodaan agama, dan penolakan ceramah. Syera menyebut kasus gangguan tempat ibadah terus mengalami kenaikan yang signifikan dalam 6 tahun terakhir.

Salah satu faktor yang bertanggungjawab atas pelanggaran KBB adalah kecenderungan masyarakat kita yang gemar menghakimi buah pikiran orang lain. Penolakan ceramah Hanan Attaki di Pamekasan beberapa bulan lalu misalnya. Bahkan sebelum Hanan Attaki memulai forumnya, ia sudah diusir terlebih dahulu dibarengi dengan segala macam pelabelan negatif.

Di luar kasus itu, sepertinya masyarakat kita memang mudah “memvonis” sesuatu hanya berdasarkan apa yang ada di kepalanya. Merujuk pada ilustrasi indah Rumi, kebiasaan itu harusnya dihilangkan. Vonis “kafir” atau “Islam” memang mudah mudah terucap di lisan, namun sejatinya menyimpan konsekuensi yang sangat berat, baik konsekuensi sosial maupun teologis.

Peringatan ini bahkan terucap dari lisan mulia Rasulullah dalam hadisnya,

‎وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh” (HR Bukhari-Muslim).

Dalam masalah pidana yang tidak punya konsekuensi mengeluarkan orang dari keimanannya saja perlu dicarikan alasan agar pelakunya terbebas dari hukuman, apalagi mengkafirkan orang yang jika salah memvonisnya, maka konsekuensi di dunia sangatlah berat seperti hilangnya hak waris, fasakh pernikahannya, apalagi konsekuensi di akhirat.

Syair Rumi tersebut sejalan dengan adab para ulama. Meskipun ada sekian banyak bukti yang mengarah pada kekafiran, namun jikalau masih terlihat satu saja alasan untuk menetapkan keislamannya, para ulama memilih satu alasan tersebut dan menahan diri untuk mengkafirkan orang tersebut.

Lebih baik kita keliru menyatakan dia tetap Islam ketimbang kita keliru mengatakan dia kafir. Lebih baik kita keliru memaafkan dia ketimbang kita keliru menghukum orang yang tak bersalah.